Kala Malam Tiba, Badai Seroja Menggila
Di perjalanan kami menyaksikan wajah-wajah lesu warga yang duduk di pinggir jalan. Mereka tampak sedih, muram, dan tak banyak bicara menyaksikan rumahnya roboh, rata dengan tanah. Semua karena badai Seroja yang menggila.
Hari Sabtu (3/4/2021) pukul 09.00 Wita, datang informasi peringatan dini dari BMKG mengenai badai siklon tropis Seroja di telepon seluler saya. Terlihat titik pusaran berwarna merah di Laut Sawu. Laut ini dikelilingi ratusan pulau di Nusa Tenggara Timur, termasuk tiga pulau besar, yakni Flores, Sumba, dan Pulau Timor.
Meskipun muncul peringatan dini, rasanya tidak seorang pun warga NTT, termasuk para pejabat daerahnya, paham akan ancaman kedahsyatan badai itu. Akibatnya, kerusakan pun tak terhindarkan.
Selama ini, belum pernah terjadi badai sedahsyat Seroja di NTT. Warga mengira badai ini hanya akan seperti siklon Lili 2019 yang berlangsung 3 menit dan kemudian berlalu. Saat itu, tidak terjadi kerusakan rumah dan fasilitas umum.
Selama ini, belum pernah terjadi badai sedahsyat Seroja di NTT.
Tidak begitu dengan badai Seroja yang melanda NTT 3-5 April 2021. Sejam setelah menerima informasi peringatan dini, saya berangkat meliput kunjungan kerja Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo di Polda NTT dan di Gereja Santo Yoseph Naikoten, Kupang.
Kunjungan ini untuk memastikan pelaksanaan vaksinasi Covid-19 di NTT dan kegiatan peribadatan umat Kristen menjelang hari raya Paskah 2021. Serangan bom di Gereja Katedral Makassar pada 28 Maret 2021 mendorong Kapolri ke Kupang untuk menjamin keamanan warga beribadah.
Keberangkatan saya ke Polda NTT diiringi hujan deras yang disertai gemuruh guntur, angin, dan kabut. Hujan sudah berlangsung sejak pukul 02.00 Wita. Di beberapa wilayah, seperti Adonara, Lembata, dan Alor, hujan bahkan sudah berlangsung sejak Jumat 2 April 2021.
Baca juga : Rumah Rusak akibat Badai Seroja di NTT Mencapai 52.793 Unit
Ketika saya tiba di sana, sudah hadir sekitar 200 warga yang hendak mengikuti vaksinasi Covid-19. Saya kemudian berdiri bersama 12 wartawan lainnya di tempat yang telah ditentukan Humas Polda. Kami hanya membawa kamera karena insan pers dilarang membawa tas apa pun. Tas kerja kami titipkan di stan Ketua PMI NTT dr Samson Terong yang saat itu bertindak sebagai penanggung jawab vaksin.
Kami bertahan di bawah tenda menanti kedatangan Kapolri. Hujan deras, guntur, dan petir terus berlangsung. Atap terpal lama-lama berubah seperti tempat penampungan air hujan. Di banyak lokasi, air mulai merembes dan menetes deras. Akibatnya, sebagian besar pengunjung basah kuyup.
Baru sekitar pukul 13.30 Wita, Kapolri tiba di tempat vaksinasi. Ia memantau proses vaksinasi sambil berbincang sebentar dengan warga. Kapolri juga mendengarkan penjelasan singkat tentang kegiatan vaksinasi dan pencegahan Covid-19 oleh Polda NTT.
Baca juga : Badai Seroja di NTT Peringatan Jemaah Kembali ke Fitrah
Kepada media yang telah menunggunya sejak pukul 10.00 Wita, Kapolri berbicara sekitar 3 menit tentang tujuan kedatangannya. Ia ingin memastikan kegiatan vaksinasi lancar. Begitu pula dengan ibadat malam Paskah dan hari raya Paskah di Kupang.
Dari Mapolda, Kapolri mengunjungi Gereja Santo Yoseph Naikoten yang berlokasi sekitar 200 meter dari Mapolda. Rombongan tiba di sana pukul 15.50. Saya pun mengikuti pergi ke gereja untuk meliput kegiatan Kapolri di sana.
Hujan badai masih terus berlangsung. Di jalan, jarak pandang hanya sekitar 100 meter. Kapolri dan rombongan lantas masuk ke dalam gereja untuk berbincang dengan umat. Sementara, wartawan dan aparat keamanan hanya diperbolehkan di halaman gereja, berlindung di bawah tenda.
Baca juga : Banyak yang Belum Terungkap, Kerusuhan Mei 1998 Serasa Mimpi
Kapolri kemudian memberi keterangan singkat bahwa pihaknya menjamin kegiatan peribadahan malam Paskah akan berlangsung aman. Pihaknya tidak memberi kesempatan wartawan bertanya.
Pukul 16.30 Wita, saya pulang ke rumah yang berjarak sekitar 20 km dari gereja itu. Di sepanjang ruas jalan yang saya lewati, air mengalir deras. Kendaraan yang saya tumpangi menerjang batu dan kayu yang dibawa banjir berketinggian sekitar 40 sentimeter. Maklum, hampir semua ruas jalan di Kota Kupang tidak memiliki got atau sistem drainase. Air hujan (banjir) mengalir mengikuti badan jalan.
Sabtu sore itu, sebenarnya saya berencana ke gereja untuk mengikuti ibadah malam Paskah. Namun karena harus mengirim laporan kunjungan Kapolri, saya putuskan akan menggantinya dengan ibadah pagi keesokan harinya, Minggu 4 April 2021.
Baca juga : Badai Seroja Makin Menurunkan Mutu Pendidikan di NTT
Pada Minggu pagi, kembali datang informasi dari BMKG tentang ancaman badai Seroja yang saat itu berada di Laut Sawu. Berbagai grup Whatsapp juga ramai memperbincangkan badai Seroja.
Rata-rata tentang peringatan kewaspadaan terkait badai Seroja yang telah di depan mata. Salah satunya datang dari Ketua Komisi V DPRD NTT Yunus Takandewa yang mengingatkan warga NTT bahwa ancaman badai siklon tropis Seroja sangat serius.
Saya kembali membatalkan rencana ke gereja untuk misa Paskah pukul 08.00 Wita karena ingin segera memberitakan soal ancaman badai Seroja itu. Laporan saya lengkapi dengan foto berbagai kejadian bencana, seperti ambruknya Jembatan Benanai di Malaka, longsor di Pulau Adonara, dan banjir di sejumlah ruas jalan Kota Kupang.
Baca juga : Liputan Ledakan Balongan: Cepat tapi Jangan Ikut Meledak
Pukul 09.00 Wita saat mencoba mengakses internet melalui Wi-Fi, tiba-tiba listrik padam. Akibatnya, koneksi internet mati. Saya pindah mengakses internet lewat ponsel. Sayangnya, baterai ponsel hanya tersisa 15 persen karena semalam lupa saya isi catu dayanya.
Harapan saya listrik PLN segera menyala kembali, kandas. Meskipun sudah dua kali melapor, hingga malam hari listrik tak kunjung menyala. Informasi di grup Whatsapp mengabarkan terjadinya bencana di Adonara dan Lembata. Sayangnya, baterai ponsel sudah tidak mampu bertahan lalu mati total. Demikian pula dengan laptop.
Hanya tinggal ponsel kecil, orang NTT menyebutnya ”hape senter”, dengan baterai terisi 70 persen. Selain membantu menerangi ruangan, ponsel itu juga membantu saya mengirim berita melalui SMS kepada Kepala Biro Kompas Jawa Timur Agnes Swetta Pandia. Entahlah pesannya sampai atau tidak karena jaringan telekomunikasi di Kupang mulai terganggu.
Baca juga : Kerugian Sementara akibat Badai Siklon Tropis Seroja di NTT Mencapai Rp 3,4 Triliun
Minggu (4/5/2021) malam, seluruh Kota Kupang sunyi. Bunyi riuh kendaraan di Jalan Taebenu yang biasanya sampai larut malam masih terdengar, kali itu sepi. Suasana sekitar gelap. Semua warga Kelurahan Liliba, Kupang, berdiam di rumah.
Warga mengandalkan senter ponsel dan lilin untuk penerangan. Entah mengapa, tak ada yang bersiap dengan genset. Barangkali masih berharap listrik akan segera menyala. Hendak menelepon tetangga, jaringan komunikasi sudah tak ada lagi.
Tidak ada yang berani keluar malam itu. Warga berdiam dalam gelap di rumah masing-masing. Makin larut malam, badai yang datang dari arah Laut Sawu semakin menggila.
Baca juga : Nyaris Terjengkang Tersengat Sodokan Jurus Ip Man
Saat itu, tidak satu pun pejabat pemerintah, termasuk dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah, yang berkeliling untuk menyapa atau menenangkan warga. Hanya pada Minggu siang, Wakil Wali Kota Kupang dr Herman Man sempat mengambil foto hujan badai di lingkungan kediamannya lalu membagikannya ke grup Whatsapp sejumlah kelurahan.
Foto itu memperlihatkan hujan angin telah membuat pepohonan meliuk-liuk dan ”bengkok” hingga daun dan rantingnya menyentuh atap rumah warga. ”Warga Kota Kupang, waspadalah. Jangan keluar rumah, tetap di dalam rumah sambil menyiapkan segala sesuatu yang perlu dalam menghadapi badai ini”, tulis dr Man yang viral di grup Whatsapp Kelurahan Liliba.
Baca juga : Penerapan Aturan Mudik yang Berbeda di NTT
Rumah penduduk di Kota Kupang berjauhan satu sama lain sehingga dalam kondisi seperti itu tidak ada yang berani mengunjungi tetangganya untuk menanyakan kondisi.
Malam makin larut. Hujan badai tak juga berhenti. Demikian pula dengan angin kencang yang bunyinya bak pesawat Boeing terbang rendah di atas rumah. Malam itu, seluruh rumah warga gelap gulita. Rupanya PLN sengaja memadamkan listrik sejak pukul 09.00 Wita, sebelum puncak badai datang.
Pada pukul 02.00 Wita, puncak badai Seroja menerjang Kupang, kota yang luas wilayahnya 180,3 kilometer persegi dan penduduknya berjumlah 434.972 jiwa pada tahun 2019. Seroja benar-benar ganas, tidak kenal ampun dan belas kasihan.
Selama kurun waktu itu, saya berjaga penuh, tidak tidur sama sekali. Dalam kegelapan, saya mendengar atap seng di sudut kiri rumah berderik. Tidak lama, bunyi serupa muncul di banyak titik, makin lama makin keras.
Air hujan mulai menembus plafon, kondisi yang selama ini tidak pernah terjadi. Air bahkan bercucuran membasahi ruangan. Setelah diperiksa keesokan harinya, ternyata air masuk melalui lubang ”mata angin” yang dipasang tukang melewati plafon rumah. Selama 11 tahun bangunan itu berdiri, baru kali ini air hujan masuk melalui lubang mata angin.
Kondisi lebih parah terjadi di kamar tidur. Atap seng robek lebar, mulai dari pinggir hingga ke bagian tengah. Akibatnya, air hujan masuk menyusuri dinding kemudian merembes ke plafon.
Saya hanya bisa terdiam di sudut kamar, menanti perkembangan situasi. Apakah kekuatan angin akan berlanjut atau cukup sampai di situ.
Baca juga : Pemulihan Kelistrikan Mendorong Peningkatan UMKM di NTT
Atap seng yang robek hanya bisa saya dengar bunyinya. Namun, tidak bisa saya amati karena terhalang plafon rumah. Bunyinya makin ramai karena semakin banyak lembar seng yang robek dan saling beradu satu sama lain akibat empasan angin.
Terdengar pula benda-benda berjatuhan di luar rumah. Saya tidak berani keluar karena suasana di luar rumah gelap gulita.
Ternyata, keesokan harinya baru ketahuan, suara jatuh itu berasal dari plafon di bagian pinggir rumah yang rontok. Sementara, plafon bagian dalam rumah tetap utuh.
Di halaman, semua pohon yang selama ini saya pelihara di tengah keterbatasan persediaan air, kondisinya patah, tercabut, atau jatuh menimpa dinding rumah. Pohon manggis, jambu air, dan pepaya hasil cangkokan yang tengah berbuah hancur berantakan. Tak satu buah pun tersisa di pohon.
Badai baru mereda pada Senin (5/4/2021) pukul 06.00 Wita karena bergerak menuju Pulau Sabu. Ganti, pulau itu yang diobrak-abrik, kemudian badai bergeser menuju Australia.
Baca juga : Wakil Ketua DPR Dorong Badai Seroja di NTT Jadi Bencana Nasional
Tetangga berdatangan ke rumah untuk melihat kondisi. Salah satunya Agus Manafe (82) yang mengungkapkan, seumur hidupnya tinggal di Kupang, belum pernah mengalami badai sedahsyat malam itu.
Mereka kemudian membantu merapikan pohon dan tanaman yang tumbang di halaman rumah. Saya kemudian bergegas ke rumah Emu Lusi (27), warga yang biasa dimintai tolong memperbaiki atap yang rusak.
Dalam perjalanan, sekitar 5 km dari rumah, kendaraan sulit melintas akibat pohon dan kabel listrik melintang di jalan. Saya memutar balik, mencari jalan lain dan akhirnya tiba di kediaman Emu.
Ia terlihat sibuk memperbaiki atap seng rumah tetangganya sehingga saya harus menunggu sekitar 30 menit.
Baca juga : NTT Mulai Proses Rekonstruksi dan Rehabilitasi Bencana
Di perjalanan menuju rumah saya, kami menyaksikan wajah-wajah lesu warga yang duduk di pinggir jalan. Mereka tampak sedih, muram, dan tak banyak bicara menyaksikan rumahnya roboh, rata dengan tanah. Ada pula yang rumahnya miring, atapnya rusak terempas ke tanah, atau terlempar hingga 15 meter dari rumah.
Warga lainnya terlihat mengumpulkan seng dan kayu yang berserakan di halaman rumah masing-masing. Hari itu juga, warga mulai berbenah dan memperbaiki rumah. Saya bersyukur, meski sama-sama mengalami badai yang buruk, kondisi saya masih lebih baik. Semoga bencana serupa tidak terjadi lagi.