Banyak yang Belum Terungkap, Kerusuhan Mei 1998 Serasa Mimpi
Sampai sekarang, kerusuhan Mei 1998 masih terasa bak mimpi karena berbagai pertanyaan dalam benak yang tak pernah terjawab, ”Itu apa sih? Kok bisa terjadi?” Salah satunya, 100 orang terbakar saat penjarahan Mal Yogya.
Bagi saya, peristiwa Mei 1998 adalah potongan sejarah Indonesia yang sangat mengejutkan. Saya ikut merasakan prosesnya, mengamati kondisi sesudahnya, dan bahkan masih memikirkannya sampai sekarang.
Saat kejadian itu berlangsung, saya tengah menjabat Redaktur Fotografi Harian Kompas sehingga sungguh saya ingat banyak titik penting kejadian itu karena mau tidak mau saya terlibat dalam pembagian tugas peliputannya.
Walau begitu, sampai sekarang, peristiwa Mei 1998 itu masih terasa bak mimpi bagi saya karena berbagai pertanyaan dalam benak yang tidak pernah terjawab, ”Itu apa sih? Kok bisa terjadi?”
Namun, sesungguhnya, peristiwa Mei 1998 punya banyak peristiwa pendahuluan yang menurut saya sangat terkait.
Sejak saat itu, hampir setiap bulan Mei, saya harus mengulas peristiwa tersebut untuk berbagai liputan, termasuk di media non-Kompas, sehingga saya cukup hafal dengan beberapa detailnya.
Yang pasti, untuk pemuatan di harian Kompas saat itu, rangkaian peristiwa Mei 1998 dimulai dengan terbitan tanggal 10 Mei 1998 saat Presiden Soeharto berangkat ke Mesir, lalu diakhiri dengan terbitan 31 Mei 1998 saat Iwan Fals menggelar Konser Reformasi. Di era pemerintahan Soeharto, Iwan Fals sering dilarang manggung.
Namun, sesungguhnya, peristiwa Mei 1998 punya banyak peristiwa pendahuluan yang menurut saya sangat terkait. Dimulai dengan peristiwa 27 Juli 1996 saat terjadi penyerbuan ke kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
Penyerbuan yang selalu dianggap dilakukan oleh pemerintah dengan berbagai detail yang ”tidak jelas” itu, lalu disambung dengan beberapa kerusuhan yang sebelum itu tidak banyak terjadi. Kalaupun ada, skalanya relatif kecil. Misalnya, kerusuhan Rengasdengklok pada awal 1997.
Memasuki tahun 1998, prolog kerusuhan Mei dimulai dengan dilepaskannya beberapa korban penculikan, seperti termuat dalam harian Kompas edisi 8 April 1998. Pada 20 April 1998, harian Kompas memberitakan, Haryanto Taslam telah kembali ke keluarganya. Saat itu, Haryanto menjabat Wakil Sekjen PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri, yang sebelumnya dikabarkan hilang.
Lalu pada 27 April 1998, diberitakan Pius Lustrilanang sudah tidak di Jakarta. Dan pada 29 April 1998, foto utama halaman 1 Kompas yang saya buat menampilkan Pius Lustrilanang yang menangis saat memaparkan peristiwa penculikan yang dialaminya.
Baca juga: Bau Gosong yang Sulit Kulupakan
Pasca-pengakuan Pius itu, berbagai gerakan muncul di kampus-kampus. Di sekitar kampus Universitas Trisakti, panggung orasi muncul sejak awal Mei. Oratornya adalah para pembicara dari berbagai pihak atau perguruan tinggi. Inti berbagai orasinya adalah ketidakpuasan terhadap Presiden Soeharto.
Saat orasi di sekitar kampus Trisakti yang terkadang digelar di tepi jalan itu semakin panas, pada 9 Mei 1998 Presiden Soeharto melakukan perjalanan ke Mesir. Berita ini termuat di headline (HL) Kompas edisi 10 Mei 1998.
Saat itu, fotografer Kompas, Eddy Hasby, meninggalkan Jakarta untuk meliput peringatan hari raya Waisak di Borobudur yang jatuh keesokan harinya. Karena pada 11 Mei 1998 Kompas tidak terbit, terus terang pada 10 Mei 1998 kegiatan di sekitar kampus Trisakti tidak diliput terlalu ”dalam” karena toh tidak ada halaman untuk memuatnya mengingat koran tidak terbit.
Maka, ketika edisi 12 Mei 1998 terbit dengan memasang foto Waisak sebagai headline serta pengakuan Desmond Mahesa sebagai korban penculikan, orasi di kampus Trisakti semakin panas.
Bahkan, pagi-pagi saya sudah ikut meliputnya karena saya menginap di kantor di Palmerah sehingga cukup dekat dengan lokasi. Sekitar pukul 11.00, Eddy Hasby yang baru pulang dari Borobudur menggantikan saya. Selepas makan siang, Julian Sihombing menggantikan Eddy Hasby.
Saat itulah terjadi penembakan pada kerumunan mahasiswa yang mengikuti orasi demi orasi saat itu. Enam mahasiswa menjadi korban tewas dengan luka tembak peluru tajam.
Baca juga: Kerusuhan Mei 1998 di Solo, Kenangan yang Ingin Kulupakan
Saat itu, Julian Sihombing hanya mendengar suara tembakan dan ikut berlari bersama chaos yang terjadi, tanpa tahu persis apa yang terjadi. Di sela-sela berlari, Julian Sihombing memotret adegan seorang mahasiswa yang tergeletak. ”Saya tidak tahu dia hidup atau mati,” kata Julian setibanya di kantor menjelang hari gelap.
Mendengar penembakan yang mematikan itu, saya yang sedang berjaga di kantor bersama (almarhum) Kartono Ryadi segera berunding dengan pimpinan Kompas. Lalu diputuskan, saya melakukan liputan sambungan ke kampus Trisakti malam itu juga.
Suasana tegang
Suasana kampus Trisakti saat itu sangat menegangkan. Mahasiswa dengan raut marah membatasi siapa saja yang akan masuk kampus. Saya sempat ditolak walaupun akhirnya bisa juga masuk ke dalam halaman kampus. Saat itu, jenazah para korban penembakan sudah dibawa ke kamar mayat Rumah Sakit Sumber Waras yang berlokasi di dekat kampus Trisakti.
Saya bergegas ke RS Sumber Waras, berusaha masuk ke kamar mayat. Suasana sangat menegangkan karena konon beberapa saat sebelumnya ada pihak militer yang akan mengambil jenazah para korban penembakan tersebut. Di depan pintu kamar mayat, saya bersama wartawan BBC, Jonathan Mark Head, membujuk agar diizinkan masuk.
Jonathan langsung bisa masuk, tetapi saya justru tertahan karena dikira aparat keamanan (intel). Saya bahkan didorong-dorong. Beruntung ada seorang mahasiswa yang mengenali saya karena pernah ikut seminar fotografi yang saya lakukan di Trisakti beberapa bulan sebelumnya.
Baca juga: Nyaris Terjengkang Tersengat Sodokan Jurus Ip Man
Negatif film terbuang
Saya akhirnya bisa masuk ke kamar mayat. Segera saya memotret banyak-banyak lalu bergegas ke ruang perawatan. Kemudian tersiar kabar, Dekan Fakultas Hukum Trisakti Andi Andoyo menjenguk korban penembakan yang selamat. Setelah itu, saya bergegas kembali ke kampus Trisakti karena Rektor Trisakti Moedanton Moertedjo akan memberikan keterangan pers.
Saat memberikan keterangan pers itu, Moedanton disertai Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin serta Kapolda Metro Jaya Mayjen Hamami Nata.
Saya kembali ke kantor. Mas Kartono Ryadi kemudian menjelaskan, foto HL adalah foto mahasiswa yang selamat, sedangkan foto HL kedua adalah keterangan pers oleh Rektor Trisakti. Foto karya Julian Sihombing yang secara visual sangat menarik dipasang di dalam agar tidak menimbulkan keresahan.
Baca juga: Hari-hari Mencekam Kerusuhan Mei 1998: Kronologi Peristiwa
Mas Kartono kemudian meminta saya menyembunyikan semua film negatif dari kamar mayat RS Sumber Waras. Pengalaman sebelumnya pada tahun 1978, aparat keamanan menyita beberapa film negatif dari banyak surat kabar untuk mencegah tersebarnya foto ”membahayakan”.
Saya menyembunyikan belasan lembar film negatif hasil potretan saya di beberapa buku di ruang fotografi Kompas. Fatalnya, kejadian itu kemudian terlupakan sehingga saat terjadi perombakan ruang foto Kompas dan pembuangan buku-buku yang diangggap sudah tidak berguna, negatif-negatif film saya itu ikut terbuang.
Hanya enam buah foto kamar mayat RS Sumber Waras yang terselamatkan karena selembar film negatifnya saya temukan secara tidak sengaja pada 2008.
Baca juga: Terharu Saat Berbuka Puasa Bersama Korban Gempa
Pemicu
Pada hari Rabu, 13 Mei 1998, foto karya Julian Sihombing yang menampilkan mahasiswi tersungkur difotokopi besar-besar dan dipasang di banyak titik di sekitar kampus Trisakti. Dari titik inilah kerusuhan Mei dimulai.
Saya memotret Megawati dielu-elukan saat melakukan orasi di kampus, sementara Ketua PDI Suryadi diusir bahkan dilempari batu saat memasuki halaman kampus. Terasa sekali pemihakan mahasiswa kepada PDI Megawati yang ”didepak” PDI Suryadi.
Orasi-orasi panas makin menggema. Tak lama kemudian, perusakan dimulai di sekitar Trisakti. Aneka pot dan pagar dirusak serta sebuah truk sampah dibakar.
Baca juga: Bertaruh Nyawa di Antara Terjangan Peluru Mei 1998
Kerusuhan dan penjarahan meluas
Pada saat yang sama di Tanah Kusir, para mahasiswa yang menghadiri pemakaman Elang Mulia Lesmana dan Heri Hartanto (dua dari empat mahasiswa yang menjadi korban gugur tragedi Trisakti) meninggalkan lokasi dengan teriakan-teriakan kemarahan. Di rute yang dilalui para mahasiswa terjadi perusakan dan pembakaran. Entah siapa yang melakukannya.
Setelah itu, kerusuhan, penjarahan, dan aneka tindak kekerasan terjadi di seluruh penjuru Jakarta. Setiap hari saya bersama Julian Sihombing memotret berbagai penjarahan.
Di Tanah Abang, penjarahan sungguh dahsyat. Orang bisa dengan santai membawa lemari es curian. Di sana, saya juga melihat orang membakar kantor Bank BCA sambil berusaha mengambil mesin ATM-nya.
Pada hari Kamis, 14 Mei 1998, itu, Kompas memberitakan Presiden Soeharto siap mundur berdasarkan berita yang dikirim wartawan Kompas, J Osdar, yang mengikuti lawatan presiden ke Mesir.
Di Jakarta, penjarahan besar terjadi di Mal Yogya di Klender, Jakarta Timur. Yang agak mengherankan, lebih dari 100 orang terduga penjarah kemudian terkunci di dalam Mal Yogya yang lalu terbakar.
Keesokan harinya, pagi sekali saya berusaha memotret evakuasi para jenazah dalam peristiwa Mal Yogya tetapi dilarang mendekat. Saya lihat di depan mal berjejer beberapa ambulans. Secara bertahap, jenazah-jenazah yang hangus itu dibawa ke kamar mayat RSCM. Saya segera menuju RSCM untuk memotretnya.
Baca juga: Semua Tertidur Kala Soeharto Mundur
Foto tumpukan jenazah itu sungguh mengerikan, yang kemudian dijadikan HL Kompas edisi Sabtu, 16 Mei 1998. Sesungguhnya ini menyalahi ”aturan dalam” harian Kompas yang sebisa mungkin tidak menampilkan foto jenazah.
Sejak mulai memotretnya, saya sudah menyiapkan diri untuk memotret tumpukan jenazah sedemikian rupa agar sebisa mungkin tidak tampak seperti jenazah.
Ini karena sejak berita kebakaran Mal Yogya Klender yang memakan korban lebih dari 100 orang ini, harian Kompas telah menyiapkan diri untuk menjadikannya berita utama.
Baca juga: Liputan Ledakan Balongan, Cepat tetapi Jangan Ikut Meledak
Foto tumpukan mayat itu diterbitkan harian Kompas sebagai foto hitam putih untuk mengurangi kengeriannya. Namun, ternyata foto itu (bingkai foto yang sama persis) dibeli beberapa pihak dan dipublikasikan berwarna. Silakan mencarinya di internet. Foto itu banyak tersebar.