Gading Om Jenderal
Entah kenapa mereka cocok. Padahal, segalanya beda. Usia, pendidikan, pekerjaan, kota asal, budaya, hingga suku dan bahasa daerahnya. Namun, bukan halangan. Tawa keduanya pecah, sama-sama kencang.
Bosan dan jenuh sangat, rutinitas robotik di meja komputer membawa Jacky melarikan diri ke pasar riuh itu. Melangkah di lorong-lorong sempit yang mulai ramai, ia serasa menemukan oase, berjarak dari diskusi kantor yang melulu seputar situasi ekonomi nasional, politik yang memanas, hingga rapat-rapat performa bisnis perusahaan.
Tengah hari itu, ia hempaskan tubuhnya di anak tangga semen di sisi belakang pasar aksesoris mobil dan sepatu tiruan alias KW, tepat di muka kios sohibnya, Bang Jago. Si abang sedang menerima telepon, ketika melihatnya muncul. Lambaian tangan menandai kontak keduanya.
Kios itu sempit saja, 1,5 meter x 1,5 meter dengan satu lemari kaca beroda dan rak-rak kayu. Aneka jam tangan lawas bermerek, pulpen branded, Zippo orisinal buatan AS, kacamata BL RayBan, cincin, gelang, kalung perak 912, dan buckle gesper Harley Davidson vintage terpajang. Tas selempang, clutch, hingga tas bermerek simbol kemakmuran, di antaranya Gucci dan LV, berjejer di rak.
Orisinal atau tidak, yang pasti bukan ”kaleng-kaleng” kalau orang Medan bilang. Kalaupun KW, masuk kategori KW superlah. Semua barang preloved, tidak ada yang baru, tapi masih layak pakai. Pelanggan si abang lintas kalangan, tua-muda, laki-perempuan, dari mereka yang wangi pengguna barang bermerek berani bayar tinggi hingga yang asal menawar.
Entah berapa kali Jacky mendapat barang branded orisinal seken dari sana. Kacamata, sabuk kulit, pipa cangklong lawas, jam tangan rusia, hingga cincin perak kesayangan. Banyak handai tolan memberi testimoni ”keren dan unik”. Padahal, harganya murah. Lebih tepatnya bukan harga, karena Bang Jago tak mematok tarif padanya. Mereka sudah berkarib sejak si abang melapak di trotoar jalan yang kini steril.
Bukannya Jacky tak mampu membeli baru dan asli dari barang-barang seken bermerek itu. Gajinya di perusahaan konsultan bisnis dan keuangan lebih dari cukup. Berkali-kali lipat dari standar Ibu Kota. Kantornya punya reputasi dan integritas tinggi, memberi upah dan bonus besar, apalagi padanya yang dua puluh tahun mengabdi dengan jabatan pula.
Namun, pasar itu, keriuhan itu, kios sempit si abang itu, berikut suasana khas itu menyediakan yang ia perlu. Jacky menemukan alter ego, sisi lain dirinya, keluar dari iklim serba formal kantoran, lalu menjadi bagian realitas masyarakat kota, membicarakan isu atau banyolan khas warga Ibu Kota yang ”tak dianggap”, jauh dari itungan pengambil kebijakan kota. Sebutan ”elu” dan ”gue” adalah tanda kesetaraan di sana.
”Sebentar, yak,” seru Bang Jago di sela menelepon.
”Lanjuuttt,” balasnya.
Tak jengah Jacky menunggu. Dua pekan ia tak singgah karena pekerjaan. Rasanya nyaman berdiam di antara seliweran manusia dan musik berdentum dari kios-kios servis tape mobil. Jacky ada tapi seperti tiada. Warga pasar tak tahu status berikut embel-embel posisi di kantornya.
”Siapa telepon. Serius amat?” Jacky siap menyeruput panas kopi sachetan.
”Om jenderal, pelanggan baru.”
”Wow, jenderal beneran?”
”Bukan, naga bonar…”
Lalu, mereka ngakak bersama. Bercanda acak tak pernah absen setiap mereka bersua. Bahasan apa saja jadi bahan lelucon. Bebas lepas. Tak ada murung-murungnya.
Entah kenapa mereka cocok. Padahal, segalanya beda. Usia, pendidikan, pekerjaan, kota asal, budaya, hingga suku dan bahasa daerahnya. Namun, bukan halangan. Tawa keduanya pecah, sama-sama kencang.
”Ini jenderal beneran. Baju coklat, boosss.”
”Plokis, polisi?”
”Si om kontak gue pake telpon si Uda,” Bang Jago merujuk calo barang antik asal Padang.
”Oh, cari apaan om naga?”
”Itu tuuh,” telunjuk bang Jago mengarah ke salah satu rak.
Tatakan lilin artnouveau vintage enam lengan produk Eropa dipajang, lengkungannya khas era 1920-an. Barang collector item itu diperoleh dari keluarga mantan diplomat yang sudah tiada.
Beberapa peminat menawar, tetapi masih di bawah harga. Si abang minta belasan juta rupiah, karena kelangkaan, kadar perak, kondisi, dan usianya. Barang antik memang tak ada patokan harga. Lebih didasari kesenangan dan kesepakatan.
”Kalau deal, boleh tuh,” Jacky nyeletuk.
”Makan enak kitaaa…”
Kios boleh kecil, tapi transaksi jutaan rupiah tidak asing bagi si abang. Keahliannya menilai barang seken dan kadar perak, emas, hingga batu mulia cukup diakui. Itu pula yang membuatnya mendulang rupiah dari barang bekas, bahkan rusak, yang oleh para ahli warisnya dinilai tak cukup berharga.
Entah berapa kali Jacky mendapat barang branded orisinal seken dari sana. Kacamata, sabuk kulit, pipa cangklong lawas, jam tangan rusia, hingga cincin perak kesayangan. Banyak handai tolan memberi testimoni ”keren dan unik”. Padahal, harganya murah. Lebih tepatnya bukan harga, karena Bang Jago tak mematok tarif padanya. Mereka sudah berkarib sejak si abang melapak di trotoar jalan yang kini steril.
Dari keahliannya itu pula, selain menjual barang preloved, ia mampu bayar sewa kios ”seuprit” Rp 40 juta setahun. Dari sana ia hidupi keluarganya, istri dan dua anak yang beranjak dewasa.
Bukan ujug-ujug, instan, jika Bang Jago sampai pada level sekarang. Sejatinya ia ulet dan tahan banting. Keras, tapi kalem. Malah cenderung cengengesan.
Sebelum sewa kios di pasar itu, dua kali ia pindah tempat. Awalnya menggelar pernak-pernik di taman kota sebelah pasar sepatu saat ini. Ditertibkan, ia bergeser ke trotoar dan emperan toko, yang kemudian digusur lagi. Hingga akhirnya lima tahun lalu ia ”naik kelas” menyewa kios bermodal keberanian. Ternyata hoki dan cuan.
Medio tahun 2000-an adalah fase getir karier jual beli barang antik seken. Bang Jago yang kala itu belum kenal Jacky ditangkap polisi atas tuduhan memperdagangkan gading gajah. Padahal, itu barang titipan Ipin, kenalannya yang bilang sedang menunggu pembeli dua hari lagi.
Apa lacur, nasi sudah jadi bubur. Polisi mendatangi rumah kontrakannya malam hari di kawasan Tanah Kusir dan sebatang gading tua bermotif Afrika itu ada di sana. ”Itu barang titipan, pak”. ”Punya teman, pak.” ”Saya tidak tahu, pak.” Sialan, di mana Ipin!!
”Ikut kami dulu, nanti dijelaskan di kantor,” gertak salah satu polisi tak berseragam. Ternyata mereka bertiga anggota korps sidik sakti menindaklanjuti laporan barang ilegal diperjualbelikan.
Baca juga: Kisah Sepasang Mata
Dua hari tidur di sel tahanan dengan tuduhan penadah barang curian dan memperjualbelikan barang terlarang, si abang belum kunjung diproses. Istrinya tak henti meratap saat menjenguknya. Tebus Rp 30 juta, suamimu bebas, itulah tawaran ”solusi” aparat.
”Uang dari mana kita, bang.”
”Biar aku dihukum saja, dik.”
Tangis Idah, istrinya, tak tertahan. Dua anaknya masih kecil. Bang Jago hanya penjual barang-barang ”rongsokan” di trotoar. Tidak ada pula sumber pemasukan lain. Ia, ibu rumah tangga, tanpa pekerjaan menghasilkan.
Hati si abang berantakan. Ia mungkin pekerja ulet dan keras pada dirinya sendiri. Tapi, sungguh tak tahan untuk tak larut terbawa emosi. Dua anaknya membutuhkan kehadiran dan nafkah darinya. Ia mencoba berpikir jernih dan menahan emosi, tapi tetap saja kalut tak karuan.
Dengan menjual vespa antiknya, televisi, sepeda anaknya, dan koleksi-koleksi perak tuanya yang belum seberapa, diganjal pinjaman sana-sini, besaran tebusan itu akhirnya terpenuhi. Hari ketujuh, ia dibebaskan dengan pesan mulia, ”Jauhi tindak pidana”. Ingin muntah rasanya mendengar wejangan itu. Makan uang puluhan juta rupiah dari keluarga tak mampu seperti dirinya tanpa tanda terima. Si abang tetap merasa bukan penadah. Bukan pencuri. Hanya sial ketitipan barang!
***
”Ayo ikut gue ke rumah om jenderal,” Bang Jago mengemas tatakan lilin.
”Sekarang?”
”Bukan, kemarin. Ia tergelak.
Jacky mengekor, meloncat ke boncengan lebar sepeda motor N-Max. Pekerjaan sedang longgar siang itu. Penasaran juga ia dengan sosok om jenderal. Tiba di tujuan, Uda calo sedang berbincang di pos jaga. Jasa perantara lazim dalam transaksi jual-beli barang antik, apalagi pembelinya figur publik atau pejabat.
Rumah di Jakarta Selatan itu berpagar tinggi dengan halaman cukup luas dijaga dua aparat berkaos coklat. Memasuki ruang tamu, interiornya kalem, apik, rapi, dan bersih. Cenderung eklektik modern. Lukisan perempuan bermata gelap khas Jeihan dan lukisan suasana Eropa tempo dulu menggantung di dinding krem, berbagi ruang dengan foto-foto wisata keluarga dan sejumlah tanda penghargaan penugasan dinas di dalam dan luar negeri. Satu set kursi tamu tua berbusa tebal dan lemari pajang ukir antik kayu eiken tinggalan era Hindia Belanda mempertegas selera berkelas empunya rumah.
Baca juga: Kegemparan di Kota Zo
Bang Jago dan Uda menemui om jenderal di ruang kerja, sedangkan Jacky sendiri menikmati atmosfer interior ruang tamu besar itu. Harimau awetan menyeringai kokoh, membeku di sudut ruangan. Sangat terawat. Lantai ubin kuning tua bermotif sangat mengilap, jauh dari debu-debu.
Setengah jam, mereka keluar, tanpa om jenderal. Satu amplop putih tebal dalam genggaman si abang belum sempat dimasukkan ke tas selempang Gucci lawasnya. Ia cengar-cengir.
Di ruang tengah, si abang tiba-tiba berbelok langkah, mengarah ke meja marmer kecil. Di atasnya, gading Afrika rebah disangga kayu keras berukir orientalan. Ia cermati sesaat, lalu bergegas berbalik langkah. Rahangnya mengeras, mukanya tegang. Cengar-cengirnya hilang, berubah mendung.
”Ayo keluar.” Langkahnya cepat, napasnya juga.
Jacky tertegun. Uda mematung. Lalu, bergegas menyusul.
Memori Bang Jago kembali ke sel tahanan, pada kekalutan dan tangisan Idah beberapa tahun lalu. Gading itu dikenalnya, barang titipan Ipin sialan biang masalah.
Catatan:
Naga Bonar: film komedi perang kemerdekaan tahun 1980-an.
Plokis: Bahasa pergaulan merujuk polisi.
***
Gesit Ariyanto adalah pekerja media dan penikmat sastra yang tinggal di Tangerang Selatan.