Pohon Durian di Atas Kuburan
Jangan pula kau berpikir kalau aku ini masih rakus durian, padahal sudah mati. Tidak. Mana mungkin aku bisa ikut makan durian itu nanti. Aku sudah membusuk di dalam tanah. Orang-oranglah yang akan menikmatinya.
Ketika aku mati, tolong tanamkan pohon durian di atas kuburanku. Tanamlah bibit yang bagus, yang daging buahnya tebal dan pulen. Kalau memungkinkan, tanam dua sekaligus. Satu di atas kepalaku, satu lagi di atas kakiku. Rawatlah pohon durian itu baik-baik. Sering-seringlah kau datang ke kuburanku. Siram setiap kau datang. Cabuti gulma yang mengganggu.
Kau jangan berpikir kalau ini cuma siasatku supaya kau sering-sering ziarah ke makamku. Tidak. Aku tidak perlu kauziarahi. Kau tahu, sudah lama aku ingin menanam pohon durian, tetapi kesempatan itu tak pernah datang. Tidak ada lahan yang bisa kutanami. Semua lahan sudah dikuasai orang, dan aku tak punya uang untuk membeli lahan.
Jangan pula kau berpikir kalau aku ini masih rakus durian, padahal sudah mati. Tidak. Mana mungkin aku bisa ikut makan durian itu nanti. Aku sudah membusuk di dalam tanah. Orang-oranglah yang akan menikmatinya.
Aku ingin di atas kuburanku ada pohon durian supaya bisa dinikmati banyak orang. Kalau sudah berbuah nanti, biarkan orang-orang mengambilnya. Jangan dilarang, apalagi diperkarakan. Siapa saja boleh mengambil. Kalau ada yang serakah, biar dia jadi urusanku.
Aku membaca surat wasiat itu sekali lagi, memastikan tak ada yang terlewat. Dua pohon durian telah kutanam dan kusiram dengan sedikit air. Aku tak tahu jenis durian apa yang kutanam karena aku mencurinya secara serampangan dari halaman rumah penjual bibit buah-buahan.
Walaupun tidak tertuang di dalam surat wasiat, aku menguburkan ayah di puncak Gunung Ampon. Setahuku gunung itu belum ada yang punya. Setidaknya belum ada yang menguasai.
Gunung Ampon sebenarnya bukan gunung, melainkan bukit setinggi kurang lebih 600 meter. Namun, orang-orang terbiasa menyebutnya gunung sejak puluhan tahun lalu. Bukit itu dipenuhi semak-semak dan pohon-pohon liar. Tak jauh dari bukit itu ada dua mata air. Di atas bukit itu aku sering menghamparkan pandangan sambil membatinkan apa yang sering disampaikan ayah tentang betapa rakusnya manusia.
Bukit itu pulalah yang menyelamatkanku dari kelaparan hingga aku bertemu kembali dengan ayah. Setelah menggelandang dari kota ke kota dan dari desa ke desa selama sepuluh tahun, aku tiba di bukit itu selagi ayah ditahan. Tempat ini jauh lebih baik dibandingkan goa karst di mana aku dan ayah tinggal sebelumnya. Aku memilih bersembunyi ketimbang menyusul ayah di kantor polisi karena aku tahu tindakan itu akan sia-sia. Lagi pula ayah sudah mewanti-wanti soal kemungkinan itu jauh-jauh hari. Aku bertahan hidup dengan memakan daun-daunan dan buah-buahan yang tumbuh liar, seperti jambu biji, markisa hutan, arbei liar, dan pisang uter. Setelah berminggu-minggu tinggal di sana, sesekali aku bisa makan ayam hutan yang kujerat dengan perangkap bambu.
***
Satu tahun sebelum kematiannya, sepuluh tahun setelah kematian ibu karena demam berdarah, ayah ditangkap polisi. Sejak awal, polisi sebenarnya bingung hendak memperkarakan ayah dengan pasal apa. Namun, ada perintah khusus dari Istana Negara untuk menangkap ayah. Ayah dianggap berbahaya.
Semua bermula ketika ayah ditangkap gara-gara mengambil durian jatuh di kebun warga. Durian itu jatuh beberapa saat sebelum ayah lewat di bawah pohonnya, nyaris menghantam kepalanya. Durian itu tergolong besar sampai-sampai tali rafia yang mengikatnya tak kuasa menahan beratnya sehingga putus saat digoyang angin menjelang hujan. Saat ayah menenteng durian itu menuju goa yang kami tempati, ia dihadang oleh sejumlah warga yang sedang meronda. Mereka menganggap bahwa memungut buah yang jatuh sama dengan mencuri.
”Belasan tahun kalian sekolah, tapi tak bisa membedakan memungut dengan mencuri. Jangan-jangan isi kepala kalian bukan otak, tetapi ampas tahu,” kata ayah, tak gentar menghadapi mereka.
Kata-kata ayah membuat ia menjadi bulan-bulanan. Beruntung, saat wajahnya sudah babak belur dan kepalanya berlumuran darah, polisi lewat. Ia terselamatkan. Saat itu ia merasakan bahwa kata ’diamankan’ mendapatkan kesesuaian makna. Ia diboyong ke kantor polisi setelah diberi perawatan ala kadarnya di rumah sakit institusi kepolisian. Setelah itu, ia diperiksa. Dan sehari setelah diinterogasi, ia dilepaskan.
Namun, tiga hari berikutnya, setelah rekaman pemeriksaannya disimak oleh kepala polisi resor hingga sampai ke telinga kepala polisi negara, ayah kembali ditahan.
Di dalam rekaman, diketahui bahwa ayah mengutarakan pikiran-pikiran yang terang-terangan menunjukkan pembangkangan terhadap ideologi negara. Itu menjadi dalih polisi untuk menangkapnya kembali walau sebenarnya yang lebih menjadi persoalan adalah pernyataan-pernyataannya mengusik ketenangan orang-orang kaya.
”Orang-orang yang menuduh saya mencuri itu, Pak, bodoh semua! Masa saya memungut, mereka bilang mencuri. Mereka tidak paham kalau semua yang ada di alam ini pada prinsipnya adalah milik kita bersama. Keserakahan membuat manusia menciptakan apa yang disebut sebagai hak milik pribadi atau hak milik kelompok tertentu. Konsepsi tentang hak milik itu adalah sumber ketimpangan sosial, Pak,” ujarnya kepada penyidik. Si penyidik berwajah kuda yang memeriksanya cuma manggut-manggut karena tak paham.
”Mula-mula manusia mencaplok tanah sebagai kepunyaannya, sebagai wilayah kekuasaannya. Menyusul tanah, semua yang tumbuh di atas tanah yang dicaploknya itu diklaimnya sebagai kepunyaannya juga.”
”Para pengusaha dan orang kaya pemilik modal terus memperbanyak bisnis mereka demi meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Bukan hanya membangun pabrik, mereka juga menguasai alam dan menjadikannya sebagai hak milik mereka. Mereka membeli bukit, gunung, sungai, goa, curuk, laut, dan lembah. Tak berhenti di situ, mereka juga mengapling pantai, cakrawala, langit, lalu memungut bayaran kepada orang-orang yang berkunjung untuk menyaksikan. Orang-orang yang ingin melihat matahari terbit atau terbenam, atau menyaksikan kelip bintang-bintang harus membayar kepada mereka.”
Mula-mula manusia mencaplok tanah sebagai kepunyaannya, sebagai wilayah kekuasaannya. Menyusul tanah, semua yang tumbuh di atas tanah yang dicaploknya itu diklaimnya sebagai kepunyaannya juga.
Yang bikin gempar, rekaman itu beredar luas. Lalu diberitakan secara masif oleh media massa. Apa yang disampaikan ayah menginspirasi anak-anak muda yang sedang ingin cari perhatian. Mereka ramai-ramai mengutip kata-kata ayah, memuatnya di poster-poster dan di spanduk-spanduk, dan membawanya ke dalam demonstrasi di pelbagai penjuru. Negara kacau balau, dan ayah dianggap sebagai biang kerok semua kekacauan itu.
Pemimpin rezim—dan aparat hukum yang bekerja ibarat anjing penjaga—bingung hendak menghukum ayah dengan pembenaran apa. Mereka begitu ingin mengeksekusi langsung ayah, tapi rakyat begitu ketat mengawal kasus itu. Rakyat tak membiarkan ayah ditahan di dalam ruangan tertutup dan berkat itulah ayah bisa selamat.
Pada akhirnya, ayah dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Itu jurus terakhir yang digunakan polisi untuk membungkamnya karena menghilangkannya bukan perkara mudah mengingat kasus yang sudah-sudah. Di sana ia disiksa setiap hari, sampai-sampai otaknya sering tak bisa mengirim sinyal rasa sakit ataupun lapar ke organ tubuhnya.
Setahun setelah ditahan di rumah sakit jiwa, ayah akhirnya dibebaskan—lebih tepatnya dicampakkan ke sungai. Ia kutemukan setelah hanyut belasan kilometer, tersangkut di gedebok pisang yang tumbang melintang di aliran anak sungai, tak jauh dari kaki Gunung Ampon tempatku bernaung selama ia ditahan. Seakan-akan ia memang sudah ditakdirkan untuk kutemukan sebelum mati.
Saat siuman setelah dua hari pingsan, Ayah begitu semringah ketika menyaksikan Gunung Ampon yang tak berpenghuni. Ia pikir ia dapat mewujudkan impiannya: membangun desa kecil yang terdiri dari orang-orang bijaksana, semacam Republik Plato mini, dan menanam pohon yang buahnya boleh diambil oleh siapa saja. Ia baru sadar bahwa tubuhnya tak mampu mengimbangi semangatnya ketika ia mencoba berdiri. Jangankan menggali dan menggemburkan tanah, berjalan saja ia kesulitan. Siksaan yang didapatnya selama berada di rumah sakit jiwa melumpuhkan sendi-sendinya, meremukkan tubuhnya. Tanaman-tanaman di hutan yang aku coba ramukan untuknya sesuai petunjuknya tak mampu memulihkannya.
Baca juga : Drupadi, Dengarkan Aku Kamu Hanya Dibodohi
Tangisnya pecah saat ia teringat bahwa ibu—sosok yang kepadanya ia berjanji membangun Republik Plato mini itu—sudah tiada.
Di sisa-sisa harinya, ayah menceritakan kepadaku semua yang telah dilaluinya dan apa yang pernah diimpikannya bersama ibu. Suatu pagi, tujuh hari sebelum mati, ia meminta kertas dan pena kepadaku untuk menulis wasiat itu. Untungnya, aku masih punya sisa kertas dan beberapa pena yang kubawa ke mana pun aku pergi semenjak kami keluar dari kontrakan kami di kota sepuluh tahun lalu—saat itu aku masih berumur 8 tahun; dan ibuku meninggal dunia sebulan sejak kami memulai petualangan. Aku juga membawa buku-buku milik ayah dan semuanya sudah kubaca selama hidup menggelandang.
***
Sepuluh tahun sejak kematian ayah, dua pohon durian yang kutanam di atas kuburannya berbuah. Daging buahnya pulen dan manis. Perihal bagaimana aku merawat dua pohon durian itu, tak perlulah kuceritakan. Yang jelas, pohon durian itu tumbuh besar dan berbuah berkat kuasa alam. Tiap kali musim berbuah tiba, orang-orang pada mengincar buah yang jatuh. Mereka tak hirau bahwa pohon durian itu tumbuh di atas kuburan. Sebagian orang langsung memanjat dan mencari buah yang matang di atas pohon. Namun, usaha demikian sia-sia belaka karena buah durian itu tak akan mau menguarkan aroma jika belum jatuh ke tanah. Dan si pemanjat dipastikan akan terjatuh jika ia mengambil lebih dari dua buah. Aku yakin arwah ayah mendorong orang itu dari atas pohon karena serakah.
Pada musim keenam durian itu berbuah, aku sudah tak tinggal di bukit itu lagi. Tepatnya, tidak bisa lagi. Aku diusir oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan pengembang. Mereka bilang, dalam waktu dekat, bukit itu akan dijadikan tempat wisata. Alat-alat berat sudah didatangkan di bukit itu.
Aku tidak tahu nasib kuburan ayah dan dua pohon durian itu akan seperti apa. Dua pohon durian itu tampak menyatu seperti sepasang kekasih. Mereka bergoyang saat kutatap dari kejauhan.
(*)
Abul Muamar, lahir dan besar di Perbaungan, Serdang Bedagai. Alumnus Pascasarjana Filsafat UGM. Buku kumpulan cerpennya bertajuk Pacar Baru Angelina Jolie (Gorga, 2019).