Drupadi, Dengarkan Aku! Kamu Hanya Dibodohi
Namun, adik-adikku berusaha menghalangiku. Jika aku keluar dengan gelagat mencurigakan, aku langsung ditelikung, terutama Arjun.
”Obat ini diminum sesuai anjuran,” kata Arjun, adikku. ”Tadi petugas apotiknya bilang, akan efektif jika pasien mematuhi aturan.” Arjun memperlihatkan beberapa jenis obat yang harus aku telan. Dia mengamati pil-pil itu layaknya pengasah intan. Dia lihat secara seksama. Warnanya beragam, putih, oranye, dan ada perpaduan antara merah dan hitam. Obat itu akan disimpannya di tempat yang aman supaya aku, kakaknya, jangan sampai alpa mengunyahnya.
Dulu, ketika dikasih tanggung jawab untuk menyimpan sendiri, kadang sengaja tidak aku makan. Menurut Arjun, ini amat mengkuatirkan bagi diriku dan anggota keluarga yang lain bahkan bisa menyebar merusak kenyamanan bertetangga. Padahal menurutku, itu semua bohong. Temanku bilang, aku sebenarnya baik-baik saja tanpa menelan pil-pil itu. Kalian mau tahu temanku?
Namanya Ernest. Ernest itu teman lamaku. Pertemanan kami sudah berumur lebih dari lima belas tahun. Ia muncul kali pertama ketika aku pulang dari mendaki Gunung Lawu. Aku mengikuti rombongan peziarah satu Suro. Di lerengnya ada pertapaan Pringgodani. Turun dari gunung, aku mampir beberapa hari di Pertapaan. Di sanalah awal kemunculan Ernest. Dia mengikuti sampai rumah. Wajah Ernest awalnya mengerikan. Carut marut hampir mirip genderuwo. Ernest tidak mau pergi dari rumahku. Ia menggangguku dengan mengubah-ubah bentuknya. Hal ini memicuku berteriak-teriak. Suatu malam, teriakanku membuat adik-adikku terkesiap. Serentak mendatangi kamarku.
”Ada apa kak!”
”Ernest!” kataku sambil telunjuk mengarah ke wuwungan.
”Ernest? Enggak ada siapa-siapa.” Pandangan mereka mengarah ke atas. Hanya ada kayu berbentuk kuda-kuda penyangga atap.
”Ada! Dia mau mencekik aku kalau berani mengusirnya.”
Adik-adikku bingung, mereka saling berpandangan. Malam itu menjadi awal bagi kegaduhan di rumah. Hari-hari berikutnya tambah mencekam. Itu semua karena pikiranku kalut. Ditambah rongrongan Ernest. ”Jangan ganggu aku,” pintaku. ”Aku lelah.”
Air mataku tumpah berceceran. ”Kalau aku salah, aku minta maaf. Tapi kamu jangan begitu. Pergilah.” Ernest banyak maunya. Dia mengancam akan mengirim santet agar aku mati.
”Santeeeeeeeeettttt....!!” teriakanku mengoyak keheningan malam. Semua bangun berbalut ketidakmengertian. Linglung.
Aku kasihan pada adik-adikku. Ancaman Ernest dengan santetnya menelurkan ide di kepalaku. Santet akan aku lawan dengan penangkalku. Sebuah celana dalam yang belum aku cuci, aku ikatkan pada ujung sapu lidi. Setiap malam aku berkeliling, menyatroni ruang-ruang rumah dengan dengan benda itu. Celana dalam bau berayun-ayun setiap kakiku melangkah. Aku lihat Ernest menatapku dengan marah. Setiap kali mendekat, aku sorongkan ujung sapu lidi tersebut. Ernest tertawa melihat kebodohanku. Berhari-hari hal itu aku lakukan. Perilakuku membuat seisi rumah resah. Ketakutan. Merasa terintimidasi.
Perputaran waktu ternyata hanya memperpanjang keparahan, sepak-terjangku tambah membahayakan. Aku diserang paranoid. Delusi menyergapku, di samping halusinasi. Aku kehilangan kontak dengan kenyataan. Raunganku memaksa penduduk kampung ketakutan. Anak-anak kecil meneriakiku, ”Hai wong edan!”
Aku maki mereka dengan kata-kata kotor, ”Asu cilik! Minggato sing adoh!” (anjing kecil! Minggatlah yang jauh!). Aku kejar. Mereka lari terbirit-birit bahkan ada yang menangis, histeris. Beberapa di antara mereka jatuh terjerembab. Berdarah-darah.
”Modarro! Bocah elek!” (Mampuslah! Bocah jelek)
Ernest salut melihat tindakanku. ”Sebuah ganjaran yang patut mereka dapatkan. Teruskan!”
Namun, adik-adikku berusaha menghalangiku. Jika aku keluar dengan gelagat mencurigakan, aku langsung ditelikung, terutama Arjun. Suara-suara Ernest tak pernah lelah mampir ke kuping. Dia selalu memberi kabar apapun tentang orang kampung. Mirip spionase. Aku terbantu olehnya.
”Aku punya kabar terbaru. Bu Harti mengatakan kamu cewek tidak laku. Jelek! Mulutnya perlu disumpal.”
Aku berhasil menyelinap. Rumah bu Harti aku taburi dengan batu bertubi-tubi. Dia menjerit ketakutan. Suaminya gelagapan melihat serangan yang aku lancarkan. Kaca rumah pecah berantakan. Teras kotor oleh serpihan benda-benda yang tersasar batu.
”Dasar perempuan tua! Jaga mulutmu! Nih makan!”
Batu-batu aku hamburkan tanpa berkesudahan. Perempuan itu histeris. Aku pulang dengan menggenggam kemenangan.
Dulu kalau pertemuan PKK dia itu sering nyindir aku, kenapa enggak nikah-nikah.
Arjun membujuk membawaku ke dokter jiwa. Aku mencak-mencak, ”Aku tidak gila! Yang gila mereka!”
Aku berhasil menyelinap. Rumah bu Harti aku taburi dengan batu bertubi-tubi. Dia menjerit ketakutan. Suaminya gelagapan melihat serangan yang aku lancarkan. Kaca rumah pecah berantakan. Teras kotor oleh serpihan benda-benda yang tersasar batu.
Akhirnya, dengan berbagai cara aku berhasil ditaklukkan. Sebuah suntikan membuat aku tertekuk. Lunglai, mirip rempeyek kecelup air. Beberapa bulan ke depan, ketenangan berhasil tergapai di rumahku. Kehidupan kembali tenang. Ernest tidak pernah muncul lagi. Aku kembali beraktivitas.
Orang menilai aku tipe manusia keras kepala. Nggugu kareppe dewe (mengikuti kata hati sendiri). Tidak bisa dibilangin. Percuma menasehati diriku. Sebenarnya, harapan orangtua, dengan memberi nama Drupadi aku akan menjadi perempuan yang bijaksana, sabar, setia serta teliti.
Sampai ayah dan ibu meninggal-mungkin karena memikirkanku- harapan itu tinggallah harapan.
Bila masa tenang berjalan, kulihat wajah adik-adikku cerah, tak ada gumpalan awan hitam. Adik-adikku selalu bilang, cari aktivitas yang positif, kak. Jangan mencari kelompok penyulut masalah.
Masalah bisa muncul jika aku fokus pada satu kasus, kemudian dijejali kasus lain yang sebenarnya tidak ada hubungannya denganku. Aku memang kepo. Di situlah kadang Ernest muncul.
”Apa kabar Drupadi?” dia sudah tidak berujud sosok. Semenjak aku mengenal resperidon dan sejenisnya, Ernest hanya berbentuk suara.
”Kamu tidak kangen aku?”
Aku mencoba mencampakkannya. Kalau sampai dia muncul dan menguasaiku, kegaduhan akan mengapung. Sebisa mungkin menghindar, menyibukkan diri. Sebenarnya, Ernest enggak akan muncul kalau aku minum pil-pil pelemah syaraf. Arjun kadang kasihan kalau pil-pil tersebut menggerogoti ginjalku. Makanya dia membiarkanku tidak kontrol bila aku sudah tenang. Di situlah Ernest mengambil celah, muncul secara tiba-tiba.
”Tahukah kamu? Musuh dalam selimut di rumah ini?”. Suaranya berkeliling di sekitarku. Berbentuk spiral mendesis-desis.
”Dia adalah Sinta. Waspadalah dengannya.”
Sinta? Enggak mungkinlah. Dia adikku. Kenapa harus bermusuhan denganku? Dia yang merawatku. Menyuapiku ketika aku terkapar dihajar suntikan pelemah. Memandikan, memotong rambutku yang kepanjangan, menyisirnya supaya rapi. Masak musuh?
”Jangan teperdaya oleh kebaikannya. Dia adalah rubah. Licik.”
”Ernest, jangan merusak hubunganku dengannya.”
”Coba perhatikan dan amati. Dia sebenarnya mau meracunimu lewat makanan yang dia masak. Tajamkan daya ciummu. Bagaimana bau olahannya.”
Kalimat-kalimat itu dia ulang-ulang. Menusuk pikiran dan telingaku. Bau apa sih?
”Apakah bau zat kimia?” tanyaku.
”Nah, itu! Kamu cerdas Drupadi.”
”Aku akan menetralisirnya dengan minum air degan ijo. Racun itu akan lemah.”
”Permasalahannya, berapa duit yang akan kamu habiskan untuk membelinya jika akar masalahnya tidak dibereskan.”
”Maksudmu?”
”Singkirkan dia! Jangan sampai kau menyesal.”
”Tidak akan!”
Kekhawatiran akan racun memaksaku menstok air kelapa beberapa botol. Arjun ternyata memperhatikanku.
”Besok ke rumah sakit. Kakak sepertinya kambuh.”
”Enggak. Ini beda masalah. Sinta mau meracuniku,” kataku.
Arjun tidak kaget. Dia sudah terbiasa dengan gejalanya.
”Sinta mau menguasai rumah ini.”
Arjun tidak menggubris omonganku. Dia hanya mencegah agar aku jangan terlalu banyak minum air itu.
”Lihatlah. Adik lelakimu sepertinya bersekongkol dengan Sinta.” Suara Ernest penuh agitasi.
”Besok aku dibawanya ke rumah sakit,” belaku.
”Sebuah rutinitas bodoh. Kamu tidak akan bersua denganku jika usai dari sana.”
Benar apa yang dikatakan Ernest. Ini sebuah repetisi. Arjun akan mengajakku ke Rumah Sakit Jiwa di timur kota. Dia akan mengajakku keluar setelah sholat dhuhur. Waktu ini dipilih karena enggak harus antre mengular. Pernah berangkat pagi, di sana disambut oleh keriuhan. Sangat menyesakkan. Menyusuri Jalan Slamet Riyadi dan berhenti beberapa menit di bawah patungnya yang terletak di Gladag. Aku melakukan ritual pada kakekku. Hormat ala militer dengan posisi sempurna.
”Kak, dia bukan kakek kita. Dia hanya salah satu pejuang kemerdekaan,” ucap Arjun mengingatkan.
”Hush! Kamu ini buta sejarah? Memalukan!” hardikku.
Arjun harus sering aku ingatkan. Slamet Riyadi adalah leluhur kami. Wajib hormat merupakan tindakan yang tidak bisa diganggu gugat.
Arjun hanya diam. Dari gesturenya aku melihat dia sangat malu pada tingkahku. Dia menurunkan kaca helm agar wajahnya terlindung dari sorot mata orang-orang di sekitar tempat itu. Beberapa tukang becak dan ojek online tersenyum melihat kekonyolan kakaknya.
”Edan anyaran.” (orang gila baru)
”Kerep banget ngene nek lewat kene. Mesakke men.” (sering sekali lewat sini. Kasihan sekali)
Pernah Arjun nyelonong, melewatkan kebiasaanku. Memacu motornya kesetanan. Darahku naik. Aku ancam dia agar putar balik. Arjun menyerah. Dan dia harus mendengar suara-suara busuk dari seberang.
Sampai di gerbang rumah sakit aku selalu disapa baik oleh tukang parkir. ”Kontrol?” Kami mengangguk.
Ambil nomor urut, hanya menunggu sebentar karena memang sudah lengang. Menuju loket satu khusus pemegang kartu BPJS Kesehatan/JKN.
”Keluarga ibu Drupadi,” panggil petugas loket. Dulu, ketika belum ada program BPJS Kesehatan/JKN, keluargaku harus kelimpungan menyiapkan lembaran ratus ribu sebagai biaya pengobatan. Setelah program ini muncul dan menjadi keharusan, beban kami sedikit terangkat. Gratis. Sungguh membantu mengamankan pundi-pundi agar tidak jebol.
Ditimbang badan serta periksa tensi. Hingga dokter Bachtiar akan menyapa ramah, ”Bagaimana kabarnya Drupadi? Kangen ya sama pak dokter?” Pembukaan yang membosankan. Sudah berulangkali sebelum ditanyai ini itu. Arjun sesekali menimpali dialog antara aku dengan dokter Bachtiar.
Menunggu Arjun mengambil obat, aku kadang meletakkan pantat di jajaran kursi ruang Baladewa. Arjun meninggalkanku sendiri. Namun, kadang ada juga pasien yang datang sama dengan pemikiran kami. Mereka enggak mau terjebak dalam keriuhan pagi.
”Ambil obat, mbak?” Seorang lelaki muda menyapaku. Kepala mengangguk sebagai balasan. ”Saya polisi lho, mbak.” Aku tahu dia datang diantar kakaknya. Di awal kedatangan, dia sudah koar-koar kalau dirinya polisi.
”Sama,” balasku. ”Saya polwan. Pangkat saya AKBP.” Pemuda itu terperanjat. Langsung berdiri dengan posisi siap grak. ”Lapor! Siap menunggu perintah!”
Arjun datang merusak adegan kami. Mengandeng tanganku mengajak pulang.
”Komandan mau ke mana?”
”Istirahat di tempat!” perintahku sambil berlalu. ”Jangan pergi sebelum komandanmu datang.” Arjun geleng-geleng melihat kelakuanku.
”Kasihan anak itu,” gumamku.
Begitulah rutinitas itu. Sayangnya, Ernest membencinya. Ia membisikku, mengatur rencana. Aku menolak.
”Ingat, siapa yang menemanimu di Pringgodani? Kamu kedinginan, aku yang menjagamu,” sergapnya. ”Percayalah, aku teman sejatimu, Drupadi.”
Baca juga: ”Tilar Donya”
Esoknya aku menunggu momentum. Sinta, adikku sudah siap berangkat ke kantor. Dia mencium pipiku, ”Sehat selalu, kak.” Tubuhnya menghilang di bentang jalan.
”Jangan terkecoh,” bisik Ernest, ”Dengarkan aku. Kamu hanya dibodohi.”
Matahari bergerak melintasi cakrawala. Sengatannya memuncak bila mendekati angka 12. Waktu dhuhur tiba. Arjun mengambil posisi sholat. Aku menunggunya dengan sabar. Tatapanku sendu melihatnya. Adikku ini memang rajin dalam ibadahnya. Badannya melakukan gerakan sujud. Secepat kilat aku menghantam kepalanya dengan alu besi yang biasa untuk menumbuk kacang. Suara lenguhan Arjun menyedihkan, seperti sapi diruang jagal. Tanganku terus bergerak. Alu itu naik turun dalam genggamanku.
”Terus! Jangan berhenti,” bisik Ernest bertepuk tangan.
Sajadah berubah warna. Darah muncrat betebaran. Adikku diam dengan posisi miring bak kapal dihantam torpedo. Aku menangis sedu sedan.
”Jangan menangis, Drupadi. Ingat, dia bersekongkol dengan Sinta.”
Aku duduk mengelesot. Memandang kepala adikku yang tak berbentuk.
”Bersihkan dirimu,” bujuk Ernest. ”Kamu tinggal menunggu Sinta pulang.”
***