”Tilar Donya”
Parjo punya catatan lengkap soal tanggal-tanggal itu, dengan nama-nama orang yang meninggal. Bila dia alpa tak diundang, tanpa sungkan dia akan hadir dan membaur dengan undangan lainnya.
Parjo meringkuk dalam gelap. Baru jam 7 malam. Dia sengaja mematikan lampu di seluruh rumah agar tak membebani tagihan listrik. Sudah seminggu ini tak ada pemasukan. Toa masjid yang mendadak gemuruh oleh berita duka cita, membuat dadanya meletup-letup kencang. Alhamdulillah, serunya bungah.
Secepat kilat Parjo berdiri, menyambar kopiah, lalu menyeret sandal menuju rumah Pak Wardi. Toa masjid baru saja mengabarkan Pak Wardi tilar donya. Parjo tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Rumah Pak Wardi yang hanya berjarak 1,5 kilometer dari rumah Parjo sudah ramai. Tua, muda, laki-laki, perempuan, tumplek blek di sana, membantu kerabat Pak Wardi mempersiapkan kedatangan jenazah dari rumah sakit.
Sebagian memindahkan mebel-mebel di dalam rumah. Sebagian memasang kursi-kursi dan tenda seng untuk pelayat. Banyak juga yang cuma menonton.
Di kampung berjarak 5 jam dari Ibu kota Jakarta itu, pandemi tak menghalangi orang untuk keluar rumah. Pun untuk melayat. Sebagian kecil saja yang ingat untuk menjaga jarak dan memakai masker. Sebagian ibu menggunakan jilbabnya sekaligus untuk menutup mulut.
Ibu-ibu yang berdatangan melayat itu, menjinjing tas anyaman plastik. Isinya macam-macam. Beras. Mie. Gula pasir. Teh. Juga makanan-makanan kecil khas kampung. Sebagian membawa uang duka cita di dalam amplop. Orang berseliweran tanpa henti.
Pukul 10 malam, jenazah Pak Wardi tiba dan disemayamkan di ruang tamu rumah yang hanya dihuni oleh Pak Wardi dan Bu Wardi. Suara tangis Bu Wardi seperti guntur yang memecah keheningan malam. Dia meraung tanpa henti.
Dua anaknya yang mukim di Jakarta, kabarnya belum tiba. Lengkap sudah penderitaan Bu Wardi malam itu. Air matanya menganak sungai, mengalir tanpa henti.
Parjo berdesakan di antara pelayat. Telinganya menangkap seluruh pembicaraan dengan cermat. Tadi, beberapa info penting sudah dikantonginya, hasil menguping sana sini sembari ikut membantu mengatur mebelir. Sebelum pulang, Parjo masih harus memastikannya sekali lagi. Jangan sampai besok terjadi kesalahan atau dia akan rugi.
Malam itu, di tengah kepedihan yang menyelimuti keluarga besar Pak Wardi, Parjo tidur pulas. Satu lampu di depan rumah dia nyalakan. Hatinya tenang. Nasibnya, setidaknya aman hingga satu minggu ke depan. Rezeki memang tak kemana, batin Parjo.
***
Esok pagi, Parjo bangun penuh semangat. Pagi sekali dia mandi dan sarapan sedikit nasi sisa semalam. Lauknya potongan kecil ikan asap yang digoreng sebentar, dicolet sambal dari 3 buah cabai dan bawang putih yang dia ulek sembarangan.
Cekatan, dia menyiapkan seluruh keperluannya. Kemeja batik terbaik miliknya, celana kain hitam, kopiah, dan sandal. Pak Wardi layak mendapat penghormatan terakhir darinya.
Pukul 8 pagi, Parjo sudah tiba di rumah Pak Wardi. Dia duduk diam di salah satu sudut, mengamati seluruh kegiatan. Kabarnya, pemakaman akan dilakukan dengan cara militer. Ini adalah pemakaman militer pertama di kampung mereka. Di kampung yang isinya didominasi pekerja musiman di Jakarta, buruh tani, nelayan, dan pedagang itu. Banyak juga pengangguran seperti Parjo.
Tak hanya Parjo yang penasaran. Anak-anak yang sudah sekian lama tak sekolah tatap muka pun berkumpul di depan rumah Pak Wardi. Mereka penasaran melihat sosok-sosok berseragam loreng yang berseliweran di kampung mereka. Di kampung, sosok tentara adalah idaman. Termasuk pensiunan tentara.
Pak Wardi seorang pensiunan tentara. Dulu, dia bertugas di Magelang. Dua puluh tahun lalu, setelah pensiun, bersama Bu Wardi, Pak Wardi pindah ke kampung asal Bu Wardi. Keduanya, dikenal sebagai sosok pensiunan yang cukup terpandang, sama-sama aktif menggerakkan kegiatan kampung mulai dari pengajian, arisan, kegiatan tujuhbelasan setiap Agustus, hingga kerja bakti demi kebersihan dan keindahan kampung.
Bersama ustad di kampung, Pak Wardi juga menggagas perbaikan mushola. Seluruh warga, terutama yang mampu, diajak untuk bergotong-royong menggalang dana. Kini, mushola kecil itu makin megah, makin banyak mengumpulkan jamaah. Jenazah Pak Wardi, rencananya akan dishalatkan di mushola itu.
Pak Wardi dan Bu Wardi juga dikenal pemurah. Selain bersedekah, Bu Wardi tak pernah pelit memberi uang atau makanan untuk orang-orang di kampung.
Parjo, sejak pulang kampung dari Jakarta tiga tahun lalu, sebenarnya tak terlalu kenal dengan keduanya. Dia hanya banyak mendengar cerita-cerita tentang keduanya dari orang – orang kampung. Sekali dua kali saja dia berada di acara pengajian bersama Pak Wardi yang tak pernah alpa mengikuti pengajian untuk orang yang meninggal.
Pak Wardi, meski sifatnya agak keras, tapi baik hati dan sangat perhatian pada banyak orang. Pernah sekali waktu Parjo ikut mendengar obrolan dan wejangan Pak Wardi seusai pengajian. Lumayan. Membantu Parjo lebih bersemangat untuk melanjutkan hidup di kampung, meski sampai hari ini, Parjo tak kunjung menikmati hidup yang lebih baik.
Pekerjaanya masih serabutan, kalau tidak dibilang pengangguran. Kadang ada uang. Kadang tidak. Kadang makan. Kadang tidak. Hari -harinya lebih banyak dihabiskan diam di rumah. Bukan karena pandemi, tapi karena memang tak ada pekerjaan.
Bila ada kabar orang meninggal seperti Pak Wardi itulah saatnya rezeki datang. Parjo tak boleh kehilangan kesempatan. Inilah saatnya mereguk sedikit nikmat duniawi, sekaligus, mungkin, nikmat akherat. Caranya, mengikuti seluruh rangkaian acara pemakaman dan kirim doa bagi yang meninggal hingga 8 hari ke depan. Kalau bisa hingga 1.000 hari.
***
Pukul 10.00 upacara militer dimulai. Setelah pembukaan dan serah terima dari pihak keluarga, jenazah dibawa ke mushola untuk dishalatkan.
Warga tampak antusias mengikuti jalannya upacara. Mereka terpesona melihat para tentara berbaris dan menggelar upacara. Gagah-gagah sekali semuanya. Sosok Bu Wardi yang tak terlihat di antara keluarga yang hadir, luput dari perhatian mereka.
Pak Wardi, meski sifatnya agak keras, tapi baik hati dan sangat perhatian pada banyak orang. Pernah sekali waktu Parjo ikut mendengar obrolan dan wejangan Pak Wardi seusai pengajian. Lumayan. Membantu Parjo lebih bersemangat untuk melanjutkan hidup di kampung, meski sampai hari ini, Parjo tak kunjung menikmati hidup yang lebih baik.
Parjo mengikuti dua-duanya, tapi baginya, yang lebih penting adalah shalat jenazah. Di kampung yang level religiusitasnya pas-pasan saja itu, shalat jenazah seringkali kering jamaah. Kehadiran orang seperti Parjo, yang dengan semangat 45 mengikuti shalat jenazah sungguh hal yang sangat menggembirakan pihak keluarga.
Bagi Parjo, ini bukan perkara menjalankan kewajiban sosialnya, ataupun kewajiban sebagai muslim. Ini lebih karena tuntutan perut. Awam di kampungnya, para peserta shalat jenazah akan mendapat amplop sebagai tanda terima kasih dari keluarga yang berduka. Parjo adalah salah satu pemburu amplop shalat jenazah itu.
Bila tekun, amplop-amplop itu, cukuplah untuk menyambung hidup ’pengangguran’ seperti Parjo. Bahkan, bila saja slot penggali kubur belum dikuasai kelompok penggali kubur pun, Parjo rela ikut menjadi penggali. Seperti peserta shalat jenazah, para penggali kubur pun mendapat amplop dari keluarga, sebagai tanda terima kasih.
Di kampung yang penghuninya lebih banyak ekonomi kelas bawah itu, kematian seperti koran yang terbit setiap hari. Tak banyak yang punya umur sepanjang Pak Wardi yang meninggal di usia 75 tahun. Orang-orang berusia lebih muda kerap meninggal tanpa disangka-sangka. Bagi Parjo, ini adalah berkah.
Seperti layaknya tradisi masyarakat Jawa, di kampung Parjo tinggal, selama 7 hari akan ada pengajian mengirimkan doa bagi arwah yang meninggal. Dimulai di hari kedua, selepas pemakaman. Pandemi, tak jadi halangan.
Selepas Ashar, orang-orang sekitar tempat tinggal akan diundang untuk berdoa di makam. Dari makam, mereka menuju kediaman keluarga untuk makan bersama. Hidangannya berupa menu-menu rumahan. Nasi putih, sop, sayur lodeh, tumis kacang panjang, ayam goreng, ikan goreng, tahu dan tempe goreng, rempeyek udang, kerupuk, juga buah-buahan. Kadang pisang, jeruk, salak atau semangka. Penutupnya hampir selalu berupa teh hangat manis.
Parjo tak pernah melepaskan kesempatan itu. Lumayan untuk merapel jatah makan pagi dan makan siangnya. Untuk makan malam, dia akan kembali hadir di acara pengajian yang digelar usai shalat Isya. Biasanya, menu-menunya pun beragam. Di rumah keluarga pensiunan seperti Pak Wardi, menu-menunya dijamin beraneka rupa serta menggugah selera. Rokok pun, meski tuan rumah bukan perokok, tetap disediakan. Sudah lazimnya seperti itu.
Di hari ketiga dan ketujuh, berkahnya akan bertambah lagi. Setelah mengaji dan makan malam, juga dibagikan nasi berkat untuk dibawa pulang. Masih ada amplop berisi uang di hari ketiga, lalu sarung atau baju koko di hari ketujuh. Ini juga termasuk amplop dan sarung atau baju koko untuk sang ustad yang memimpin pengajian.
Setelah delapan hari, mengirim doa masih akan dilakukan setiap malam Jumat hingga 40 hari setelah kematian. Bagi orang kategori mampu seperti Bu Wardi, menggelar pengajian seperti itu bukan masalah besar. Tapi bagi orang tak mampu, jamak hukumnya yang lalu berutang demi acara selamatan seperti itu.
”Ah bukan urusanku,” begitu batin Parjo selalu.
Parjo punya catatan lengkap soal tanggal-tanggal itu, dengan nama-nama orang yang meninggal. Bila dia alpa tak diundang, tanpa sungkan dia akan hadir dan membaur dengan undangan lainnya. Tapi itu jarang. Kelompok pengajian biasanya berisi orang – orang yang itu-itu saja seperti pengangguran seperti Parjo.
Tak heran bila koleksi sarung dan baju kokonya pun makin lengkap. Parjo pun kini hafal Surat Yasin di luar kepala. Tak ada yang lebih menyenangkan dari ’pekerjaannya’ itu. Dia menyebut dirinya sendiri, seorang pendoa.
***
Ini malam ke-7. Selepas Isya, Parjo bersiap menuju rumah Bu Wardi. Dia sudah membayangkan menu apa saja yang akan disuguhkan dan apa saja yang akan dibawanya pulang.
Bila dia tidak salah dengar dari istri Pak Ustad yang memang biasa membisikkan menu-menu untuk Yasinan sesuai pesanan Pak Ustad, malam itu menunya lontong opor ayam kampung. Nasi berkatnya juga dijamin tidak sembarangan dan dijamin komplit sayur dan lauk pauknya. Oh iya, amplop dan sarung atau baju koko pun sudah pasti ada.
Parjo merasa bungah. Hitung-hitung, sarung atau baju koko itu bisa dikenakan saat Lebaran kelak. Tak pernah dia merasa ringan seperti itu saat melangkahkan kakinya menuju rumah Bu Wardi.
Usai pengajian yang hanya berlangsung sekitar 15-20 menit itu, hidangan digelar di depan para ’pendoa’. Parjo menelan ludah. Sejak siang dadanya terasa sakit. Dia menduga karena perutnya yang kosong belum terisi. Mungkin asam lambungnya naik. Sabar. Sebentar lagi opor ayam kampung akan meredakan sakitnya.
Parjo menelan ludah sekali lagi. Mulutnya terasa kering. Rasanya sudah tak sabar dia menyantap semua hidangan yang ada di hadapannya. Saat tuan rumah mempersilakan, Parjo pun tak sungkan-sungkan lagi.
Tenggorokannya yang kering baru saja dibasuh teh hangat yang manis. Juga sepotong kue kamir yang sudah lama tak dicicipinya. Sepiring opor ayam menuntaskan rasa laparnya. Dadanya yang terasa tertusuk-tusuk lenyap seketika. ”Ah berarti benar karena aku kelaparan,” batin Parjo lega.
Dua puluh menit kemudian seluruh acara selesai. Ustad berpamitan, diikuti seluruh pendoa termasuk Parjo. Kedua tangannya menenteng bungkusan tas plastik. Uang di amplop putih polos, dia selipkan di kantong baju kokonya. Parjo melangkah pulang dengan ringan.
Baca juga: Justo
Tiba di rumah, Parjo membongkar seluruh kantong plastik dari rumah Bu Wardi. Kotak nasi berkat yang isinya lengkap dan menggugah selera dia masukkan hati-hati ke lemari makan. Rencananya akan dia santap untuk sarapan esok hari.
Parjo lalu membongkar plastik satu lagi. Ternyata isinya kemeja batik. Bola matanya segera membesar karena girang. ”Bu Wardi memang selalu beda,” gumamnya pada diri sendiri.
Parjo lalu memantaskan diri dengan kemeja batik itu dan tersenyum-seyum sendiri di depan kaca. Di rumah reotnya itu, Parjo memang hanya tinggal seorang diri. ”Tampan sekali pendoa yang satu ini,” selorohnya dalam hati.
Cukup lama Parjo di depan kaca. Mematut-matut diri, memasangkan kemeja batiknya dengan motif-motif sarung yang dirasanya cocok.
Mendadak dadanya terasa sesak. Sakit yang dia rasakan sejak siang muncul kembali. Keringat dinginnya pun mulai membasahi tubuhnya. Makin lama makin sesak.
Sulit sekali dia bernafas. Dia ingin berteriak minta tolong, tapi dadanya seperti terbakar hebat. Parjo makin tersengal, makin kesulitan menghirup oksigen.
Tangannya serampangan menarik-narik kemeja batik yang masih melekat di badan. Tapi sia-sia.
Tubuhnya yang ringkih terjatuh menimpa bungkusan tas plastik yang belum sempat dibukanya di atas meja. Brakkk….
Pukul 23.45. Toa masjid mengabarkan Parjo tilar donya.
***
Catatan:
Tilar donya (Jawa): meninggal dunia
Dwi As, Seorang wartawan yang tinggal di Depok, Jawa Barat. Ibu yang memiliki dua anak dan senang jalan-jalan.