Justo
Jujur aku tak tak tahu sosok Justo itu seperti apa. Ketika aku sudah mulai bisa mengingat, sudah tak ada lagi Little Missy.
Namaku Justo. Kata bapak, nama itu diambil dari tokoh pemberani, pembela hak-hak kulit hitam, di serial Little Missy. Anak buahnya si Tuan Baron pemilik ladang anggur di Araruna, sebuah kota kecil di Brasil. Selain pekerja, dia juga menjadi pengasuh si Nona Missy, anak Tuan Baron dan Nyonya Candida. Justo hitam dan jelek, tapi bapak tidak mengambil sisi itu, dia suka dengan karakter sang budak.
Sebagai pelengkap, biar tampak Indonesia, dia belakang namaku ditambahi Dermawan. Makanya, nama lengkapku adalah Justo Dermawan. Artinya, aku harus berani seperti Justo tapi tetap suka menderma.
Ya, aku lahir di ujung 1980-an ketika telenovela tersebut sedang marak-maraknya di TVRI. Pada Minggu siang, rumah-rumah di pondok atau barak pekerja kebun sawit sepi, hampir semuanya berkumpul di rumah Mandor I untuk menonton. Pasalnya, hanya mandor itu yang punya televisi. Dan setiap Minggu, listrik memang dinyalakan pada siang. Kalau hari biasa, listrik di perkebunan sawit tempat bapak bekerja sebagai tukang dodos hanya menyala pukul enam petang dan padam pada pukul enam pagi. Khusus hari Minggu dinyalakan karena keluarga administrateur atau ADM hadir di kebun. Dan, untuk itu, semuanya bisa bersyukur karena bisa menonton acara Si Unyil, Ria Jenaka, dari Gelanggang ke Gelanggang, dan tentunya Little Missy tadi.
”Kalau kau kuberi nama Baron, kita bukan pemilik kebun. Kalau kau kuberi nama Rudolfo, juga tidak mungkin, dia anak haram dan abang tirinya Missy. Eh, malah menjalin cinta dengan Missy. Jadi Justo saja. Dia memang jelek, hitam, dan bau. Tapi, dia punya sikap untuk melawan perbudakan. Persis dengan kita,” aku bapak ketika aku mulai protes soal nama. Pasalnya, ada temanku bernama Maradona.
”Kau tak akan jadi pemain bola, kau akan di kebun ini. Persis bapak, jadi tukang dodos, paling hebat jadi mandor. Jadi, di kemudian hari, bapak harap kau jadi pejuang bagi semua yang bernasib seperti kita!” tambahnya.
”Jadi kita budak, Pak?”
”Entah, tapi kakekku, bapakku, dan aku tak pernah lepas dari kebun ini. Beruntung kau tidak lagi ditato, kami semua ditato sebagai tanda milik kebun ini.”
Ya, aku lihat tato itu di bagian tubuh bapak. Tapi bapak tak harus bayar sewa rumah, listrik, dan air. Begitu dianggap besar, dia langsung diberi kerja. Bapak diberikan rumah dinas meski tidak besar, tepatnya setelah dia berkeluarga dan meninggalkan rumah kakek yang berada di kebun ini juga; hanya berbeda afdeeling. Beras pun bapak dapat. Begitu juga sembako lainnya. Ya, meski untuk beberapa hari pergantian bulan, kami harus puas makan berteman terasi bakar saja.
Entah, tapi kakekku, bapakku, dan aku tak pernah lepas dari kebun ini. Beruntung kau tidak lagi ditato, kami semua ditato sebagai tanda milik kebun ini.
Jujur aku tak tak tahu sosok Justo itu seperti apa. Ketika aku sudah mulai bisa mengingat, sudah tak ada lagi Little Missy. Televisi pun sudah tidak TVRI lagi. Telenovela semakin banyak, apalagi di SCTV, tapi sosok Justo semakin kabur.
Tapi terserahlah, yang jelas namaku itu menjadi candaan kawan-kawan. ”Justo...Justo,” kata mereka menirukan opera sabun dari Amerika Latin itu setiap memanggilku. Entah dari mana mereka mendapat nada itu sedang usia kami sebaya. Setelahnya, terjadilah perkelahian. Beruntung aku selalu menang.
Itulah sebab, aku sempat mengenalkan nama pangggilan baru. Ya, aku ingin dipanggil sebagai Dermawan, jika kepanjangan, cukup Wawan saja. Tapi itu tak lama, tetap saja ada yang memanggilku Justo.
”Jangan malu, Justo itu berasal dari kata justice, artinya keadilan. Itu nama yang bagus,” kata ibu guru yang cantik ketika aku di SMP.
”Ibu pernah nonton Little Missy?”
”Oh, telenovela itu?” balasnya. Setelah itu, dia tertawa. ”Justo ya,” sambungnya sambil senyum. ”Ya tidak apa-apa, Justo, nama itu kan doa,” tambahnya lagi.
”Doa jadi budak, hitam, jelek, dan bau!”
”Tidak lho, kamu kan ganteng.”
Ya, aku memang ganteng! Kulitku putih. Dan aku Jawa bukan Negro!
Tapi, aku masih tinggal di kebun. Bapak memang sudah jadi mandor, tapi aku tetap di kebun! Sebagai anak kebun, aku pasti berujung di kebun juga!
”Tenang saja, To, anggap saja sekolah ikatan dinas. Selesai SMP pun kau sudah boleh bekerja. Setelah itu kawin, dapat rumah, kan enak...,” kata emak.
”Bapakmu memberi nama itu karena pas kau lahir, ngetop kali si Justo. Bahkan, orang lebih ingat dia dibanding Tuan Baron. Itu saja. Jadi, gak usah mikir macam-macam.”
Nyaris aku percaya dengan kalimat emak. Bahkan, aku sangat tidak selera untuk masuk ke jenjang SMA. Saat itulah hadir Maria, bukan Maria Mercedes, tapi Maria Hutajulu. Dia anak ADM. Dan, dia tidak seumuranku. Dia sudah kuliah dan aku jatuh cinta padanya.
Ah, Maria ini memang beda. Dia tidak seperti anak ADM lainnya. Dia mau turun ke rumah pondok, barak pekerja, dan meninggalkan rumah dinas megah ayahnya di atas bukit. Setiap ke pondok, dia membeli mie goreng yang disiram kuah pecel. Dia langsung makan di piring yang ada di warung itu. Ya, warung Mak Anto. Sama sekali tak ada rasa jijik meski di samping warung itu ada parit yang tersumbat alias tak mengalir.
”Woi Justo! Mari makan sama aku.”
Itulah awalnya. Sejak itu, aku selalu menemaninya jika dia ke kebun. Maria itu mahasiswa pertanian di Medan. Tampaknya, seperti aku, dia juga disiapkan untuk bekerja di kebun. Tentu bukan tukang dodos seperti aku, pasti kariernya dimulai sebagai asisten atau kepala afdeeling dan membawahi sekian mandor.
Tapi menariknya, bak Nona Missy(kata bapakku), Maria menjadi pribadi kritis, dan lebih berani dalam menentang kesewenang-wenangan yang dilakukan ayahnya, sang ADM, terhadap para pekerja di perkebunan. Contohnya, sang ayah akan sangat marah kalau mendapati anak pekerja yang memakan biji sawit; biji yang masih berwarna hitam dibelah dan bagian kecil di dalamnya yang seperti kelapa itulah yang dimakan. ”Sudahlah, Pa, cuma berapa biji, tidak pengaruh dengan hasil kebun yang luasnya ribuan hektare.”
Atau, ketika jatah besar sangat buruk. Banyak kutu. ”Ganti saja, Pa, pemasok berasnya. Kekmana pekerja mau kerja dengan baik kalau berasnya saja sisa-sisa,” katanya.
Tapi, apalah arti anak SMP bagi anak kuliahan? Maria hanya jadi fantasi awal akil baliqh. Hal yang menarik darinya hanyalah membuatku mau masuk SMU. Setelah itu dia menikah. Dan, dia bekerja di kantor perkebunan, bukan di lapangan atau di pabrik. Dia menjadi sosok yang berjarak.
Apalagi ketika aku mulai menjadi ‘Justo’ saat duduk di kelas tiga SMA sembari mulai kerja di perkebunan. Aku hanyut, ikut LSM yang menyuarakan rumah dinas perkebunan harus jadi milik pekerja. Pun, perusahaan wajib memberikan tanah atau penghidupan yang lebih layak. Kenapa? Karena para pekerja sudah puluhan tahun mengabdi. Dan, tanah itu bukanlah tanah perusahaan. Bukan juga tanah pemerintah. Dia tanah adat. Tanah sultan.
”Justo, kita ini sama. Ayahku juga kerja di sini,” kata Maria pada suatu petang di warung Mak Anto.
”Beda. Kami sudah empat generasi. Aku, bapakku, kakekku, dan kakeknya bapakku.”
”Kalau tak ada perusahaan ini, apakah kita semua bisa hidup?”
”Makannya, harus dikasih penghidupan!”
Baca juga: Buku Panduan Wisata
Maria tersenyum, ”Aku pernah nonton film kartun tentang singa di kebun binatang. Dia begitu ingin ke alam rimba. Tapi, begitu ada kesempatan, dia bisa apa? Dia tidak biasa mencari makan, makanannya selalu diberikan penjaga dan jadwalnya tetap.”
”Kami bukan binatang!”
Setelah itu, aku tak pernah ke warung Mak Anto. Aku lebih sering ke warung kopi, menikmati gorengan dingin bersama kawan seperjuangan. Sementara Maria, tetap. Dia masih menikmati mie pecal ala Mak Anto. Dia tetap seperti biasanya.
”Namaku Justo, sudah empat generasi kami diperas perusahan biadab ini!” teriakku dengan toa di depan kantor Maria, ya, sesaat sebelum aku ditangkap.
Medan Johor, Juli 2021
Muram Batu lahir di Limapuluh, Sumatera Utara, pengarang kumpulan cerpen Hujan Kota Arang (basabasi, 2018) dan novela Tepi Toba (basabasi, 2019), dan kumpulan cerpen Kartini Boru Regar, Tahi Kecoa, dan Walikota (Gading, 2020). Sejak balita tinggal di Langsa, Aceh, begitu tamat SMA merantau ke Yogyakarta selama 11 tahun. Dan, kini menetap di Medan.