Kasus Pertama J Van: Hilangnya Nyonya Djamira
Saat dia merasa uang tabungannya sudah cukup, Van den Brand memilih berangkat ke Tanah Deli.
J Van den Brand meremukan kepala cerutunya ke dalam asbak berwarna coklat tua yang terbuat dari potongan batang bambu itu, sisa asap masih mengepul di ruangan kerjanya, bergulung-gulung, membuat perempuan berkulit coklat dengan pupil mata hitam yang duduk di depannya terbatuk-batuk. Laki-laki berambut pirang itu mengibas-kibaskan tangannya, berusaha menghalau sisa asap cerutu. Lampu minyak yang tertempel di dinding sedikit bergoyang, saat tangan Van den Brand menghalau asap itu.
”Jadi, kapan terakhir kali kau bertemu Nyonya Djamira?” dia mengulang pertanyaan yang sama, sementara perempuan yang menyanggul rambutnya itu masih tertunduk diam. Jemarinya yang terlihat kapalan tampak memilin-milin ujung bajunya.
”Katakanlah,” Van den Brand melunakkan intonasi suaranya, ”Aku berjanji akan menjaga rahasia, apa pun yang kau ceritakan.”
Dia mengangkat wajah, bola matanya bertemu dengan mata biru Van den Brand, laki-laki pirang itu menyunggingkan sebuah senyum ramah. Berusaha melunakkan ketakutan yang mungkin saja sudah mengeras dalam dadanya. Perempuan itu tergesa menunduk.
”Saya tidak tahu, Tuan.”
Seketika pundak Van den Brand luruh, dia menyandarkan punggungnya ke kursi. Tangan kanannya mengusap-usap dagunya, dia dapat merasakan rambut-rambut di sana yang sudah dicukur beberapa hari lalu, mulai memanjang kembali.
”Tapi, Tuan John van Laer mengatakan, sebelum dia pergi untuk mengawasi pekerja memanen tembakau, hanya ada kau dan Nyonya Djamira di rumah. Kau satu-satunya yang terakhir bersamanya. Bila kau tak dapat mengatakan, kau bisa saja dituduh terlibat dalam kasus menghilangnya Nyonya Djamira.”
Seketika perempuan di depan Van den Brand mengangkat kepalanya, wajahnya pasi, dia menjilat bibirnya, sekali. Bola matanya bergerak, liar. Van den Brand mendorong punggungnya menjauhi sandaran kursi, dia menumpukan siku di atas meja, menangkupkan kedua tangan di bawah dagunya, dengan sedikit mengerlingkan mata, dia bergumam.
”Bila kau dituduh terlibat dalam hilangnya Nyonya Djamira,” suara Van den Brand terdengar pelan, tetapi jelas, penuh tekanan, seolah-olah memang berharap mempunyai efek dramatis pada perempuan di depannya. Perempuan itu menjilat kembali bibirnya, dia seperti menahan napas, punggungnya tegak lurus, kedua tangannya saling mencengkeram di atas pangkuannya, ”Kau bisa dikirim Tuan John van Laer ke tiang gantungan dengan tuduhan menculik atau bahkan membunuh nyai-nya.”
Perempuan itu seketika menggeleng kuat-kuat, bibirnya bergerak-gerak, tetapi tak ada sepatah kata pun yang meluncur dari mulutnya. Matanya membulat, seakan-akan kedua bola mata itu akan melompat pada Van den Brand dan mengatakan dengan lantang, ”Aku tak bersalah, Tuan. Aku tak bersalah.”
♦
Belum genap sebulan J Van den Brand mendirikan kantor detektif di Tanah Deli, tetapi dia sudah menerima kasus pertamanya. Kasus hilangnya seorang Nyai bernama Djamira. Pada mulanya, Van den Brand berangkat ke Deli lantaran mendengar tentang majunya perkebunan di tanah ini dan dia tertarik untuk menanamkan modalnya. Sekitar enam puluh enam tahun lalu, tepatnya 1836, jauh sebelum Van den Brand lahir, Jacobus Nienhuys dikirim ke Tanah Deli untuk membeli tembakau dari para petani pribumi. Namun hasilnya kurang memuaskan, Nienhuys memilih membuka kebun sendiri dan mulai mengangkut para pekerja pribumi. Tak dinyana, Nienhuys sukses dan cerita gemilangnya menjadi buah bibir di daratan Eropa.
Ternyata, bukan perkara mudah menanamkan modal di perkebunan, selain karena butuh uang yang sangat banyak. Tuan Tanah dan para pengusaha Eropa yang terlebih dahulu menanamkan pundi-pundi uangnya, tidak mudah membuka kerja sama, sekalipun dengan sesama orang Eropa. Ambisi Van den Brand kandas dan dia tak ingin pulang ke Holland dengan membawa cerita kegagalan. Tak ada satu pun laki-laki Belanda yang pulang dengan membawa cerita sial. Van den Brand tak ingin menjadi yang pertama.
Saat di Eropa, dia pernah mengenyam pendidikan di kepolisian, tetapi dia tak menyelesaikannya. Dia memilih banting setir menjadi seorang akuntan lantaran cerita tentang negeri Hindia Belanda yang hangat, eksotis, penuh dengan kebebasan, perempuan cantik yang menggairahkan dan tentu saja uang yang mudah dan banyak. Siapa pun kamu, bila kamu seorang laki-laki Eropa, berkulit putih, hidung mancung, rambut pirang, maka kamu adalah tuan di negeri itu. Walau mungkin pada kenyataannya, di tanah asalmu, kamu hanyalah seorang pengantar susu atau koran pagi.
Cerita-cerita bak dongeng itulah yang membuat Van den Brand memilih segera berlayar ke negeri impian saat berumur dua puluh tiga tahun. Awalnya dia terdampar di Batavia. Lalu keahliannya sebagai akuntan mengantarkan dirinya ke Lebak Banten. Lebih dari empat tahun, dia menjadi pegawai administrasi di sana. Namun, itu bukanlah impian Van den Brand. Dia datang ke tanah ini bukan untuk menjadi pekerja, tetapi menjadi tuan tanah. Saat dia merasa uang tabungannya sudah cukup, Van den Brand memilih berangkat ke Tanah Deli. Di sana, dia memimpikan memiliki perkebunan tembakau dan para nyai yang siap melayaninya.
Namun, seperti yang telah diterakan pada cerita ini, sekali lagi impian Van den Brand kandas. Dia menemukan kesulitan berinvestasi. Akan tetapi, dia tetap jeli melihat peluang. Saat bekerja sebagai akuntan di perkebunan Tanah Deli, tak lebih dari setahun, Van den Brand banyak sekali mendengar kasus penganiayaan, pemerasan, penyelewengan dan lain sebagainya. Mata birunya mengerjap, inilah yang dia butuhkan untuk menjadi lebih kaya.
♦
”Tapi, saya benar-benar tidak tahu, Tuan,” perempuan itu mengerjap, wajah coklatnya masih pasi. Ada bintik-bintik keringat dingin yang menghiasi pelipisnya. Namun, dia membiarkannya, tak berani menggerakkan tangan untuk menyekanya.
”Kau berbohong,” Van den Brand mendengus, dia menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu matanya lurus menatap wajah perempuan di depannya. Dipandang seperti itu, membuat perempuan berperawakan kurus itu gelisah, dia menunduk. Tangan kanan Van den Brand tergesa mengangkat dagu perempuan itu. Memaksanya mendongak dan membalas pandangan Van den Brand. Bola matanya beriak-riak, basah.
”Apa yang terjadi?” hidung mereka nyaris bersentuhan satu sama lain. Perempuan itu tak berani menarik wajahnya. Van den Brand dapat merasakan dengus napasnya, hangat menerpa wajahnya. Bahkan dada perempuan itu terlihat turun naik, membuat dua gundukan di dadanya yang tertutup kain lusuh berwarna coklat tua, bergerak-gerak di depan mata biru Van den Brand.
”Saat Nyonya Djamira menghilang, kau ada di mana?”
”Sa… saya ada di sumur, Tuan.” matanya mengerjap.
”Apa yang kau lakukan di sana?” tangan kanan Van den Brand tetap menahan dagu perempuan itu.
”Mencuci.”
”Mencuci apa?”
”Pakaian, Tuan,” suaranya masih gemetar, ”Pakaian Tuan Laer dan Nyonya.”
Van den Brand melepaskan tangannya dari dagu perempuan itu. Dia melekatkan kembali punggungnya di sandaran kursi kayunya. Matanya masih awas melihat ke arah perempuan yang duduk di depannya. Van den Brand dapat melihat perempuan itu seperti menghela napas lega, saat dia melepaskan pegangan di dagunya.
”Apa ada sesuatu yang ingin kau ceritakan padaku?” tanya Van den Brand, tiba-tiba setelah beberapa menit keheningan menyelimuti mereka berdua.
Perempuan itu menggelengkan kepalanya. Dia kembali menunduk, tak berani membalas tatapan mata Van den Brand.
”Baiklah, kau boleh pergi,” kata Van den Brand sembari mengibaskan tangan kanannya, menyerah. Terdengar deret kaki kursi kayu yang digeser tergesa saat perempuan itu berdiri dari duduknya. Dia tengah berbalik ketika Van den Brand kembali berkata.
”Kau belum sepenuhnya terlepas dari kasus ini,” kata Van den Brand, ”Setidaknya sampai Nyonya Djamira ditemukan. Seperti yang telah kukatakan padamu tadi, kau bisa saja dituduh bersekongkol atau terlibat dalam hilangnya Nyonya Djamira. Dan bila itu terjadi, aku menjamin kau akan dikirim ke tiang gantungan.”
Perempuan itu membatu. Dia tidak membalik punggungnya. Van den Brand melanjutkan perkataannya.
”Jadi, dalam satu atau dua hari ini, bila kau teringat sesuatu yang penting dan kau ingin menceritakannya padaku, kau dapat datang ke sini secepatnya.”
Hening. Van den Brand menunggu.
Perempuan itu berbalik, dia menunduk, kedua telapak tangannya saling memilin. Dia menganggukkan kepalanya, sedikit dan berucap demikian lirih.
”Baik, Tuan.”
Lalu, dia kembali berbalik dan berjalan dengan sangat tergesa menuju pintu ruang kerja Van den Brand. Laki-laki berumur tiga puluh lima tahun itu memandang punggung perempuan berkebaya itu, sampai hilang ditelan daun pintu yang kembali ditutupnya.
♦
”Apa kau mau minum?” Van den Brand menawarkan botol tuak yang ada di atas meja, laki-laki berumur dua puluh tahunan itu bergeming. Dia hanya menatap botol tuak dan gelas yang diangsurkan Van den Brand kepadanya.
”Tak apa,” Van den Brand menuang isi tuak ke dalam gelas dan mengasurkannya. Laki-laki itu mengangkat sedikit wajahnya, memandang dengan mata gelisah dan gurat-gurat takut yang begitu kentara di wajahnya, ”Aku menjamumu. Kau tamu di sini.”
Van den Brand mendorong lebih dekat gelas berisi tuak itu, ”Ayo,” perintahnya.
Tangan laki-laki itu sedikit gemetar saat menjangkau gelas tuaknya. Jemarinya mencengkram gelas tuak itu sangat kuat dan erat, seolah tak ingin gelas itu terlepas, meluncur ke lantai dan berhamburan di sana. Dia merasa tengkuknya dingin membayangkan gelas itu hancur berkeping-keping di bawah kakinya, seakan-akan tali tambang tiang gantungan telah melingkar di sana, dan algojo yang berdiri di ujung panggung, tinggal menarik tuas, lalu dia akan berkelojotan. Kakinya akan menendang-nendang udara, sementara kedua tangannya yang terikat dengan erat akan berusaha dia lepaskan, agar jemarinya bebas dan dapat melepaskan tali yang melilit lehernya. Saat dia berusaha menyelamatkan selembar nyawanya, orang-orang akan riuh dan bersorak-sorak, mereka tengah menonton proses kematiannya, sakratul maut yang menyakitkan, tetapi dia tak dapat melihatkan wajahnya yang penuh penderitaan, mata yang melotot dan memerah karena urat-urat dan darah pecah di sana, lantaran algojo telah menutup wajahnya dengan kain hitam yang pekat. Sebelum mati pun, dia sudah dihadapkan pada alam kematian yang gelap dan menakutkan.
Dia tergesa meneguk tuak dalam gelasnya, berusaha menghalau pikiran yang mengerikan itu. Bayangan yang menakutkan. Dia menandaskan tuaknya. Dan terkejut sendiri saat dia menghantamkan pantat gelas kosong ke atas meja, karena suara yang ditimbulkan begitu nyaring. Dia tergesa memeriksa gelas itu, takut bila telah memecahkannya.
Van den Brand menuangkan kembali tuak ke dalam gelas laki-laki itu dan mendorongnya lagi, ”Minumlah.”
Laki-laki itu menatapnya. Van den Brand mengangguk. Dia ingin menggeleng, tetapi bola mata Van den Brand memerintahkan ia untuk menandaskan isi gelas. Dia kembali meminumnya. Perutnya terasa begah.
”Apa yang kau tahu tentang Nyonya Djamira?”
Laki-laki itu cegukan. Kepalanya sedikit sempoyongan.
”Dia cantik, Tuan,” suaranya terdengar berat, kepalanya terteleng, tetapi dia masih berusaha mengangkat kepalanya, ”Dadanya besar. Tuan Laer suka meremas bokongnya.”
”Apa kau pernah melihat Tuan Laer melakukan itu?”
Dia kembali cegukan, ”Iya, Tuan.”
”Kapan?” Van den Brand kembali menuangkan tuak.
”Sering, Tuan. Bahkan saya pernah melihat Tuan Laer menggenjot Nyonya Djamira di dalam kereta. Waktu itu, saya tidak tahu bila Tuan dan Nyonya ada di sana, saya berniat membersihkan kereta kuda, tetapi saya terkejut karena menemukan mereka sedang saling menindih.”
”Apa Tuan Laer tidak mengetahui kehadiranmu?”
Dia menggeleng, ”Tetapi Nyonya melihat saya.”
”Apa dia menghukummu?”
Dia kembali menggeleng, ”Nyonya hanya mengedipkan mata padaku. Dia memeluk erat Tuan dan aku tergesa pergi.”
”Apa kau bermain mata dengan Nyonya Djamira?”
Dia tergesa-gesa menggeleng, ”Tidak, Tuan. Saya tidak berani. Bila saya melakukan itu, Tuan Laer akan mencambuk saya sampai mati.”
Van den Brand mendengus, ”Apa Nyonya Djamira menggodamu?”
Dia terdiam. Sesaat. Air mata tiba-tiba meleleh di pipinya, ”Dia memaksa saya, Tuan. Saat di kandang kuda, Nyonya tiba-tiba muncul dan meremas selangkangan saya. Lalu mendorong saya ke atas tumpukan jerami. Katanya bila saya menolak, Nyonya akan mengadukan saya pada Tuan Laer. Dia bisa saja mengirim saya ke tiang gantungan.”
Lalu dia menangis, tersedu-sedu. ”Roemina ingin mengadukan kelakukan Nyonya yang suka menggoda kuli laki-laki pada Tuan, tapi sebelum itu terjadi, Nyonya mengetahuinya. Dia menghukum Roemina.”
”Apa yang Nyonya lakukan?” Van den Brand menautkan kedua alisnya.
”Nyonya memerintahkan saya mengikat Roemina di tiang jemuran di belakang rumah. Lalu, saya juga diperintahkan menanggalkan pakaiannya. Dan Nyonya… Nyonya ….” air matanya kembali meleleh. Dia sudah mabuk tuak, napasnya tersengal-sengal.
”Lalu apa?”
”Nyonya memerintahkan saya mengoleskan cabai tumbuk di selakangan Roemina,” dia benar-benar terisak-isak, ”Padahal, Nyonya tahu, Roemina dan saya tinggal serumah.”
♦
Asap cerutu mengepul dari mulut Van den Brand, sementara perempuan kurus di depannya masih bergeming, dia tak membuka mulut sekali pun.
”Tak perlu kau tutupi lagi,” desis Van den Brand, ”Pardi sudah mengatakan segalanya. Dia mengakui sudah membunuh Nyonya Djamira, tetapi kau yang menyimpan jasadnya. Besok pagi, aku akan mengirim Pardi ke tiang gantungan.”
Perempuan kurus itu mendongak, matanya berkilat. Van den Brand terkejut sendiri melihat perubahan ekspresinya, garis-garis wajahnya mengeras, jauh berbeda dengan perempuan yang duduk di depannya kemarin malam.
Baca juga: Seteguk Air untuk Tiket ke Surga
”Dia memang layak mendapatkannya,” suaranya tajam, tegas, tanpa ada getar takut dan keraguan, ”Seorang pelacur. Perempuan murahan. Kejam. Dan berhati iblis. Tempat terbaik baginya adalah neraka. Dan aku sudah berbaik hati mengirimnya secepat mungkin ke sana.”
Van den Brand menelan ludahnya sendiri. ”Kau akan berakhir di tiang gantungan.”
”Aku akan sukacita menyambutnya. Tak ada yang perlu ditakuti.” Suaranya dingin.
”Apa kau yakin?” Van den Brand menatapnya tajam, ”Aku mungkin bisa menolong kalian berdua. Bila kalian bisa bekerja sama, menceritakan segalanya dengan baik dan runut.”
”Tak ada lagi yang saya cari, Tuan,” dia mengangkat sedikit dagunya,
”Karena rasa sakit hati saya sudah terbayar lunas.”
Dan dia benar-benar tak berkata sepatah kata pun lagi sejak malam itu, sampai kakinya berkelojotan di udara dengan kepala tertutup dan sumpah serapah kuli perkebunan yang menontonnya menghadapi maut. Van den Brand masih saja bergidik bila teringat dengan detail cerita yang mengalir dari mulut Pardi yang tengah mabuk tuak malam itu. Bulu kuduknya meremang saat membayangkan Roemina menuntaskan dendam pada Djamira. Dan Van den Brand tak ingin menceritakan bagian itu. Terlalu mengerikan untuk diingat, ucapnya. []
Pali, 2020
Guntur Alam, beberapa cerita pendeknya pernah termuat dalam buku kumpulan Cerpen Pilihan Kompas. Saat ini dia mengabdi sebagai ASN dan bermukim di tanah kelahirannya. Sesekali dia berkicau di Twitter @AlamGuntur atau memposting foto di Instagram @gunturalam_