Seteguk Air untuk Tiket Ke Surga
Karmin menyusuri pesisir, mencari-cari seekor anjing yang bisa diberinya makan.
Tubuh Karmin tergeletak di atas aspal, melintang menghalangi jalan. Tumpukan senyawa karbon padat berwarna hitam itu sedikit basah. Bekas hujan masih menggenang. Jalan desa malam itu cukup lengang, hanya terdengar angin laut kesiur dari sela pohon-pohon kelapa. Bulan gelap menjadi waktu yang tepat untuk mencari ikan. Keramaian berpindah dari daratan ke lautan. Kerlap-kerlip lampu perahu nelayan semarak terlihat dari pantai.
Napas Karmin berat, dadanya terasa sakit. Kepala yang membentur aspal mengucurkan darah, menggenang di sekitar tempat ia terlentang. Karmin seolah berada di antara dua dunia, alam sadar dan tidak sadar. Kelopak matanya beberapa kali mengerjap. Sudut matanya menangkap seekor anjing yang mulai mendekat dan menjilati tangannya. Namun, ia terkejut saat kepala anjing terlihat mirip wajah seseorang yang dikenalnya. Sosok itu bernama Paiman, tetangga yang beberapa kali datang merengek untuk meminjam uang.
***
Azan terdengar sayup-sayup dari pengeras suara masjid yang terletak satu kilometer dari rumahnya. Masjid yang berdiri di atas tanah hasil sumbangan darinya, seorang juragan kapal dan pemilik tempat penimbangan ikan.
Karmin kembali mengerjap, sebuah cahaya lampu yang baru saja dinyalakan oleh pekerja di rumahnya membuat lelaki itu mengucek mata. Karmin menggeliat. Ia tertidur di sofa ruang tengah setelah menghitung penghasilan kapalnya hari ini.
Lelaki berkulit coklat gelap dengan alis yang bertaut di atas batang hidung itu mengelap keringat yang membasahi wajahnya. Karmin berusia hampir lima puluh tahun. Ia mengatur detak jantungnya yang masih cepat. Mimpi itu mengingatkan dirinya tentang kedatangan Paiman pagi tadi.
“Utangmu sudah banyak, hasil tangkapanmu setiap harinya ndak cukup buat bayar.” Karmin bersungut-sungut menolak permintaan Paiman meminjaminya uang untuk membeli beras.
“Saya akan setor semua hasil tangkapan ikan pada Juragan. Saya bukan ndak mau lunasin, Gan. Saya janji akan melunasi.” Paiman duduk di lantai rumah Karmin yang terbuat dari tegel berwarna coklat dan putih. Nelayan itu baru pulang melaut, kulitnya legam karena banyak berjemur di bawah sinar matahari
Karmin menyunggingkan senyum sinis mendengar janji Paiman.
“Halah, lunasi opo. Minggu lalu kamu pinjam tiga ratus ribu untuk anakmu yang sakit. Bulan sebelumnya juga pinjam dua ratus ribu, padahal utang yang lalu-lalu baru dibayar sebagian.” Karmin melepaskan peci putihnya.
“Utang lama belum lunas sudah mau ngutang lagi. Makanya kerja yang benar, apalagi anakmu banyak. Jangan kayak yang lain, bisanya cuma ngerepotin orang.” Karmin berkata keras, kedua alis matanya bertaut dengan bibir yang di tarik ke kiri.
Juragan kapal itu tidak suka saat tetangga mendatanginya hanya minta belas kasihan. Menurutnya, hidup itu harus diperjuangkan dengan keras. Rumah megah dan usaha yang selama ini dijalaninya adalah buah kerja kerasnya. Lelaki yang hampir setiap tahun pergi ke Mekkah itu lebih suka menghabiskan uangnya untuk kegiatan ibadah
“Musim tangkapan sedang menurun, Gan. Apalagi nelayan kecil macam saya, hanya punya perahu kayu satu.” Paiman menunduk.
“Juragan yang paling kaya di antara kami, punya kapal besar empat. Saya hanya minta tolong buat makan, Gan. Nanti saya kembalikan.” Paiman memelas di depan Karmin, membuat wajahnya terlihat semakin lebih tua dari usianya.
“Daripada memberi kalian utangan, lebih baik uangnya aku sumbangkan ke masjid atau buat ke Mekkah, jelas lebih menguntungkan buat aku.” Karmin membenahi sarungnya kemudian beranjak dari sofa. Paiman merunduk, ia tidak berani mengangkat kepala di depan salah satu orang kaya di desanya itu.
Anjing dalam mimpi Karmin memang persis seperti Paiman, yang datang hanya untuk meminjam uang. Karmin menggerutu dalam hati.
***
Karmin melajukan motornya dengan pelan sambil mencerna ceramah ustadz di pengajian yang baru saja ia hadiri. Dia mencoba berpikir, jika masuk surga itu mudah seperti yang disampaikan tadi, untuk apa dia bersusah payah menjalankan puasa, salat serta menghabiskan uang untuk sedekah dan lainnya. Karmin mulai berhitung dan bertanya-tanya, berapakah amal yang sudah dia kumpulkan?
Saat melewati deretan warung makan pinggir jalan, tiba-tiba Karmin menginjak rem terburu-buru. Karmin mengamati dengan saksama seorang perempuan yang duduk di pinggir jalan memberi makan seekor anjing. Ia putar motornya untuk menghampiri perempuan berambut ikal panjang itu.
“Maaf, jam kerja saya masih setengah jam lagi. Silakan menunggu di warung Bu Sri.” Perempuan itu berkata tanpa menoleh pada Karmin.
Warung Sri letaknya tidak jauh dari tempat mereka berbincang. Warung yang menjadi tempat pemberhentian truk-truk besar yang melintas di jalan provinsi, juga beberapa nakhoda kapal yang berlabuh di pelabuhan tidak juah dari sini. Selain menyediakan makanan, warung itu juga menyediakan perempuan-perempuan seperti Lastri.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Karmin berdiri memperhatikan.
“Memberi makan dan minum anjing. Apa lagi,” jawabnya acuh tak acuh.
“Untuk apa?” Karmin berjongkok di depan Lastri.
“Biar masuk surga. Saya ndak punya banyak amalan, bisanya cuma ini.” Dengan gerak kepalanya Lastri menunjuk pada anjing yang sedang makan di depannya.
“Bener bisa masuk surga cukup dengan itu? Kamu tahu dari mana?”
Karmin penasaran.
Lastri mengangkat wajahnya, memperhatikan lelaki berusia hampir lima puluh tahun yang berdiri di hadapannya.
“Bukannya seharusnya orang seperti Bapak lebih tahu dari saya? Saya cuma dapat pelajaran agama waktu di Sekolah Dasar, dan yang saya ingat cuma ini.” Lastri mengernyitkan dahinya melihat Karmin manggut-manggut. Karmin memperhatikan anjing itu dengan saksama.
Seekor anjing kampung berwarna coklat sedang minum dari mangkuk yang di sodorkan Lastri. Beberapa bagian kulit yang mengelupas menegaskan bahwa ia hanyalah anjing liar.
“Apa kamu melakukan ini setiap hari?”
Lastri menggeleng.
“Tidak selalu, kadang-kadang tidak ada anjing yang bisa ditemui.”
“Kamu yakin dengan ini kamu bisa masuk surga?” Karmin menatap perempuan berusia 27 tahun itu. Wajah perempuan itu cukup menarik, sorot matanya juga tidak genit seperti perempuan lain yang bekerja di Warung Sri.
“Saya ndak tahu, Pak Haji. Saya cuma ingat nasihat Pak Guru waktu sekolah dulu. Seorang pelacur bisa masuk surga dengan memberi minum anjing. Ya, ini yang saya lakukan. Harapannya bisa sama kayak yang lain-lain. Masak di dunia saya sudah sengsara, di akhirat harus sengsara lagi.” Lastri beranjak dari duduknya, mangkuk berisi makanan dan air sudah kosong.
“Saya kerja dulu, Pak Haji. Anjingnya sudah kenyang.” Lastri berpamitan. Roknya yang sedikit di atas lutut melambai-lambai.
Darah Karmin berdesir melihat kaki jenjang milik perempuan penghibur itu.
“Tunggu.” Karmin menghentikan langkah Lastri.
“Kalau begitu, mau ndak kamu malam ini ....,” Karmin ragu-ragu, ia menghentikan kalimatnya. Ia membiarkan suara jangkrik menyela pembicaraan dengan perempuan yang baru ditemuinya ini.
Lastri menoleh, memperhatikan gerak gugup si juragan kapal.
“Apa?” Lastri mengerutkan dahi hingga kedua alisnya menyatu.
“Pak Haji mau aku temani malam ini?” Perempuan yang sudah menjalani profesinya di Warung Sri selama lima tahun itu hafal gerak-gerik lelaki yang menginginkannya. Namun, baru kali ini Lastri mendapati calon pelanggannya malu-malu. Beruntung lelaki itu berkulit gelap, rona merah di wajahnya tidak terlalu tampak.
“Eh ... ya kalau mau. Sa-saya ....” Juragan kapal itu menggaruk-garuk kepala hingga pecinya miring.
Lastri menghela napas dan tersenyum.
***
Karmin menyusuri pesisir, mencari-cari seekor anjing yang bisa diberinya makan. Ternyata, semudah itu masuk surga. Wajahnya terlihat lebih segar. Sejak ditinggal istrinya beberapa bulan lalu, ia selalu memendam hasratnya. Malam ini, Lastri memberi jalan keluarnya dengan mudah.
Sudah lebih dari satu jam lelaki itu berkeliling, tidak ada satupun anjing yang ditemuinya. Ia teringat perkataan Lastri tadi di dalam biliknya.
“Kalau malam ini ndak ada anjing, nyarinya bisa besok lagi.”
Perempuan itu berkata sambil kembali mengenakan pakaian yang tercecer di lantai.
“Emange ndak apa-apa?” Karmin masih telentang dengan napas ngos-ngosan.
“Ya, kalau ndak nemu, gimana lagi. Kadang-kadang susah dapat anjing liar. Kecuali kalau Pak Haji mau mampir ke Koh Ahong, banyak anjing di rumahnya. Tapi kan bukan anjing liar.” Lastri membenahi rambutnya yang berantakan.
“Harus anjing liar, ya?” Karmin mengusap peluh di wajahnya.
Lastri hanya mengedikkan kedua bahunya.
Karmin menghela napas berat. Ia melajukan motornya menuju rumah Koh Ahong. Tiba di depan gerbang rumah Koh Ahong, Karmin ragu. Hari sudah sangat larut, ia megurungkan niatnya untuk membangunkan pemilik toko kelontong itu.
Karmin kembali menyalakan motor dan memutuskan pulang ke rumah. Seolah menuruti perkataan Lastri, ia akan mencari anjing keesokan harinya saja. Sepanjang jalan Karmin mengembangkan senyum. Wajah Lastri terbayang-bayang di pelupuk mata.
Baca juga : susiePohon Kapuk Tepi Jalan
Sebuah cahaya terang tiba-tiba mengejutkan Karmin dan membuat bayangan Lastri sirna. Suara benturan keras memecah keheningan malam. Karmin terpental setelah motornya di tabrak truk yang melintas di jalan. Kepalanya membentur aspal, membuat Karmin merintih menahan nyeri. Ia tergeletak di pinggir jalan bersimbah darah. Bibirnya bergerak-gerak berusaha mengucapkan sebuah kata. Karmin mencoba meminta pertolongan.
Seekor anjing berlari mendekati, tetapinya terhenti beberapa meter di depan Karmin. Anjing itu diam, memperhatikan Karmin yang sedang kesakitan dan hampir meregang nyawa.
“Tolong,” lirih suara Karmin pada anjing yang wajahnya tampak seperti Paiman itu.
***
Puspa Seruni. Penulis yang lahir di Situbondo, Jawa Timur ini pernah mengenyam pendidikan di Institut Pertanian Bogor dan saat ini menjadi pengajar di Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana, Bali. Single parent dengan dua orang anak ini pernah menerbitkan novel berjudul Perempuan Penyulam Sabar dan beberapa karya antologi. Penulis dapat dihubungi di Instagram puspaseruni07 dan Facebook Puspa Seruni.