Negeri Matahari
Hawa panas menerpa begitu turun di bandara. Masih harus naik mobil beberapa kilometer untuk benar-benar sampai di Negeri Matahari.
Suara Ayah meninggi.
”Untuk apa kau ingin menemuinya?!”
Ayah menyambung perkataan dengan wajah merah padam
”Perempuan yang lari dengan laki-laki lain ketika suami dan anak-anaknya tidak ada di rumah tak layak untuk diingat!”
Adik perempuanku datang. Ditaruhnya gelas minuman yang dibawa di depan Ayah sambil berkata membujuk.
”Jangan marah-marah lagi, Ayah. Minumlah dulu.”
Ayah tak menghiraukan saran putrinya. Beliau memandangku jengkel.
”Kalau kau bersikeras mencarinya, carilah ke Negeri Matahari.”
Kutatap Ayah keheranan.
”Mana ada tempat bernama ’Negeri Matahari’?”
”Terserah kau mau percaya atau tidak. Yang kutahu dia berasal dari sana.”
”Ayah tahu letaknya?”
”Cari saja sendiri,” tukas Ayah ketus, ”Kan kau yang ingin bertemu dengannya.”
Ayah bangkit dari kursi, lalu masuk ke kamar. Pintu kamar menutup dengan suara keras di belakangnya. Ruang tengah hening. Beberapa menit kemudian aku memandang adikku.
”Kau tidak ingin bertemu Ibu?”
Adikku menggeleng setelah diam sesaat.
”Tidak. Tapi aku akan membantumu mencari di mana Negeri Matahari.”
Kami temukan letak Negeri Matahari usai menekuri ribuan peta dunia. Tempatnya tidak terlalu jauh. Ada penerbangan langsung ke sana.
”Biar kupesankan tiket,” kata adikku, ”Kapan mau berangkat?”
”Besok.”
Dalam hati aku sangat berterima kasih pada gadis itu. Meski menolak bertemu Ibu, ia telah membantu sepenuh hati.
Hanya adikku yang mengantar ke bandara pada hari keberangkatan. Ayah mengurung diri di kamar dan tak keluar sampai aku pergi. Gadis itu memelukku sebelum aku naik pesawat.
”Berhati-hatilah dan cepat kembali.”
Aku tepuk pipinya sebagai pengganti ucapan pamit.
”Jaga Ayah. Usahakan agar Ayah tidak marah-marah.”
Adikku tersenyum.
”Ayah hanya marah-marah bila teringat Ibu.”
Hawa panas menerpa begitu turun di bandara. Masih harus naik mobil beberapa kilometer untuk benar-benar sampai di Negeri Matahari. Aku berdiri berdesak-desakan dengan penumpang lain di dalam kendaraan roda empat. Dahi dan pelipis basah oleh keringat. Terik sang surya tak tertahankan. Rasanya seperti terpanggang. Bagiku yang terbiasa dengan hawa sejuk dan sedikit mendung, berada di negeri ini benar-benar menyiksa.
Perempuan yang lari dengan laki-laki lain ketika suami dan anak-anaknya tidak ada di rumah tak layak untuk diingat!
Akhirnya aku sampai di tujuan tanpa tahu harus mulai dari mana. Aku bahkan tak tahu pasti apakah Ibu memang benar di sini. Sia-sialah perjalananku seandainya beliau tidak ada di Negeri Matahari. Penduduk Negeri Matahari berjalan lalu lalang di sekitar diriku, tak mengacuhkanku yang berdiri termangu.
Kumasuki sebuah lorong. Beberapa saat kemudian terdengar gema langkah-langkah lain di belakangku. Dua remaja berusaha merampas tas jinjingku. Setelah sempat bersitegang, salah seorang mengeluarkan benda berkilat, kemudian menyabetkannya ke tanganku. Peganganku mengendur. Tas jinjing berpindah tangan dengan sekali renggut. Keduanya langsung kabur. Untung dompet dan paspor tersimpan di saku. Kubebatkan sapu tangan ke telapak tangan kiri.
Karena lapar, aku masuk ke sebuah rumah makan di pinggir jalan raya. Diriku satu-satunya pengunjung karena belum jam makan siang. Seorang pria menyapa sambil tersenyum ramah.
”Selamat datang. Anda mau pesan apa?”
Aku duduk dan memesan makanan. Semua hidangan yang kupesan sudah tersaji di atas meja dalam waktu lima menit. Aku mulai makan. Kurang cocok di lidah, tapi setidaknya perutku kini terisi. Selesai makan, kuhampiri si lelaki untuk membayar. Aku keluarkan beberapa lembar uang Negeri Matahari dari dalam dompet.
”Anda bukan orang sini, ya?” selidiknya.
Aku tersenyum.
”Dari mana Anda tahu?”
”Logat Anda berbeda dengan penduduk setempat.”
”Saya memang baru sampai.”
”Pasti bukan untuk berlibur. Kebanyakan turis menghindari Negeri Matahari. Mereka tidak tahan hawa panasnya. Padahal negeri ini indah.”
Tatapan matanya tertuju ke telapak tanganku yang dibebat. Dia berseru kaget.
”Astaga! Kenapa tangan Anda?”
Kupandang tangan kiriku. Darah mulai merembes keluar, menodai sapu tangan yang putih bersih. Tampaknya luka itu lebih parah dari yang kuduga.
”Saya dijambret orang,” jelasku, lalu menceritakan peristiwa yang baru terjadi.
Lawan bicaraku menggeleng prihatin.
”Berandal-berandal itu. Mereka memberi kesan jelek pada Negeri Matahari. Berarti Anda tak punya baju ganti. Saya bisa menunjukkan toko yang menjual pakaian bagus dan murah, kalau Anda mau. Anda juga sebaiknya melapor pada polisi. Tapi pertama-tama luka itu harus diobati,” katanya tegas.
”Tak perlu, Pak. Jangan repot-repot,” tolakku.
Si pemilik rumah makan pergi tanpa mengindahkan kata-kataku. Tak lama kemudian ia kembali sambil menenteng kotak kecil. Setelah menyuruhku duduk, dengan cekatan si lelaki melepaskan bebat telapak tangan kiri. Dibersihkannya luka dengan kapas yang dibasahi alkohol, membubuhkan obat lalu membalutnya kembali dengan kain kasa.
”Beberapa hari lagi pasti sembuh,” ujarnya sambil membereskan peralatan yang terpakai dan mengembalikan ke kotak. ”Apa Anda akan lama di sini?”
”Entahlah. Saya sedang mencari seseorang.”
”Di mana alamatnya? Mungkin saya bisa bantu.”
”Saya tidak tahu alamatnya. Bahkan saya tak yakin dia benar-benar ada di sini.”
”Wah, sulit kalau begitu.”
Ia mengusap dagu.
”Mungkin Anda bisa pergi ke kantor polisi. Mereka pasti punya data-datanya kalau orang yang Anda cari memang benar penduduk Negeri Matahari.”
Mata pria itu melihat ke balik punggungku.
”Ah, itu istri saya.”
Aku berpaling dan terkesiap. Wanita yang selama ini kucari-cari berdiri di hadapanku. Penampilannya tak berubah, sama persis seperti terakhir kali kulihat dia setahun lalu. Ia mengangguk dan tersenyum sekilas, seakan-akan aku ini orang lain.
”Tolong berikan kembalian pada anak muda ini, ya,” katanya pada sang istri dan bergegas pergi untuk melayani pengunjung yang baru masuk.
”Datanglah lagi ke sini malam-malam supaya kita bisa bicara,” bisik wanita itu cepat-cepat sambil menyerahkan uang kembalian.
Aku tertegun dan tanpa banyak bicara meninggalkan tempat itu.
Malam harinya aku kembali. Agaknya kedatanganku terlalu cepat, rumah makan itu belum tutup meski waktu hampir menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku mulai bosan dan lelah saat seorang wanita yang mengenakan jaket untuk menahan hawa dingin datang menghampiri.
”Aku tidak bisa mengajakmu masuk. Kita bicara di luar saja.”
Aku mengangguk.
”Kau pasti heran dengan sikapku tadi siang,” Ibu memulai pembicaraan.
”Sebenarnya aku sudah melihatmu sejak awal. Aku sengaja melakukannya. Aku tak mau suamiku yang sekarang tahu kalau kau anakku dari suami pertama.”
”Apa ayahmu yang menyuruh ke sini?” sambungnya melihat aku diam saja.
”Tidak.”
Aku menarik napas sebelum bertanya.
”Mengapa Ibu meninggalkan Ayah?”
Ibu memandangku lekat-lekat.
”Marital rape.”
Aku balas menatap tak mengerti.
”Itulah yang berulang kali dilakukan ayahmu padaku.”
Baca juga : Gajah, Sebuah Lelucon yang Buruk
Tenggorokan terasa kering. Lidahku kelu. Selama satu tahun selalu kudengar omelan Ayah tentang ketidaksetiaan Ibu tanpa mengetahui alasan di balik itu. Diam-diam ada rasa sesal telah bertanya.
Kecemasan terpancar dari mata Ibu saat beliau melihat telapak tangan kiriku.
”Bagaimana lukamu?”
”Darahnya sudah berhenti.”
”Menginap di mana malam ini?”
”Ada losmen dekat sini.”
”Sebaiknya pulang. Tidak ada gunanya berlama-lama di sini,” desah Ibu sebelum berjalan pergi.
Keesokan harinya aku kembali ke rumah makan itu. Sudah kuputuskan mengikuti saran Ibu kemarin malam, tapi aku harus berpamitan lebih dulu padanya. Beberapa pengunjung sedang bersantap. Kulihat Ibu duduk di belakang meja kasir, tapi kami tak bisa berbicara karena suami Ibu menghampiriku sambil tersenyum lebar.
”Selamat pagi. Apa polisi berhasil menangkap pencuri-pencuri itu?”
”Tidak. Tapi tak mengapa karena saya pulang hari ini,” sahutku.
”Berarti Anda sudah menemukan orang yang Anda cari.”
”Benar.”
”Anda akan mengajaknya pulang?”
Aku tersenyum simpul.
”Tidak. Saya yakin dia lebih bahagia di sini.”
Secara tersirat aku telah berpamitan pada Ibu.
”Jam berapa pesawat Anda berangkat?”
”Jam 14.45.”
Laki-laki pemilik rumah makan itu melihat jam dinding.
”Kalau begitu Anda harus segera berangkat. Sekarang sudah jam 9, sementara perjalanan ke bandara cukup jauh.”
Aku mengangguk.
Lembayung senja kemerahan menghiasi langit saat roda pesawat yang membawaku pulang menyentuh landasan. Tanpa barang bawaan, aku tidak perlu mengurus bagasi. Dua puluh menit kemudian aku sudah memanggil taksi. Pintu belakang kubuka, lalu duduk di kursi penumpang. Mobil bergerak keluar dari areal bandara, melaju ke rumah. Tinggal satu kelokan jalan sebelum sampai di tujuan dan aku masih belum tahu apa jawabku bila nanti ditanya Ayah.
________________
Marital rape: kekerasan seksual dalam pernikahan
Daisy Rahmi kelahiran Manado. Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa. Kini tinggal di Jakarta.