Gajah, Sebuah Lelucon yang Buruk
Dua kali setahun Gajah rutin dicambuki oleh ayahnya hingga garis-garis biru kemerahan menyisa di punggung hitam yang tebal berlapis lemak.
Orang-orang memanggilnya gajah. Meski panggilan itu bernada mengejek, dia tidak pernah marah. Dia dipanggil gajah karena tubuhnya yang tinggi, gemuk, dan sangat besar. Dia jauh lebih besar dari teman-teman sekelasnya. Tingginya bahkan menyamai guru-guru di sekolahnya dan besar badannya bahkan melebihi para guru di sekolahnya. Dia memang berusia jauh lebih tua dari teman-teman sekelasnya; Gajah dua kali tinggal kelas dan dua tahun terlambat masuk sekolah.
Dulu, ketika ayahnya membawanya untuk mendaftar ke sebuah sekolah dasar, pihak sekolah menolaknya. Kepala sekolah bahkan mengatakan kalau dia anak spesial, dan sebaiknya disekolahkan di sekolah luar biasa. Gajah senang sekali mendengarnya, baru kali ini ada yang mengatakannya spesial. Tapi dia heran karena ayahnya sama sekali tidak terlihat senang pada pujian itu. Ayahnya justru sangat marah dan membawanya pulang. Sejak itu ayahnya tak pernah lelah mencari sekolah yang mau menerimanya.
Dua tahun ayahnya berusaha mencari sekolah untuk anaknya hingga ia lelah dan hampir menyerah. Ayah Gajah benar-benar ingin membuktikan pada semua orang bahwa anaknya tidak berbeda dengan anak-anak lain. Namun dari sekolah yang satu ke sekolah yang lain, semua menolaknya. Sampai akhirnya ada sekolah yang berbaik hati menerima Gajah.
Dua tahun lebih tua dari teman sekelasnya, tidak juga membuat Gajah menjadi paling pintar. Ayah dan ibunya tidak pernah mengharapkan dia menjadi anak paling pintar di kelas, mereka sadar diri kalau mereka berdua bukanlah orang tua yang pintar, tapi setidaknya mereka pikir anaknya tidak akan menjadi yang paling bodoh di kelas dan selalu membuat malu mereka setiap hari pembagian rapor.
”Dasar bodoh kamu bikin malu bapak lagi,” umpat ayah Gajah seraya mencambuki Gajah dengan sabuk. Aktivitas ini rutin dilakukannya setiap pulang mengambil rapor. Dia selalu marah mengetahui, lagi-lagi, anaknya mendapat ranking satu dari belakang.
Dua kali setahun Gajah rutin dicambuki oleh ayahnya hingga garis-garis biru kemerahan menyisa di punggung hitam yang tebal berlapis lemak. Kadang-kadang dia mendapat bonus; diikat di pohon mangga yang penuh dengan semut rangrang, lalu dicambuki oleh ayahnya yang tidak terima ketika Gajah tidak hanya menjadi paling bodoh di kelas, tapi juga tidak naik kelas.
Mendengar tentang perlakuan yang diterima Gajah di rumah, pihak sekolah tidak lagi membuat Gajah tidak naik kelas. Bahkan beberapa guru berbaik hati, menaikkan nilai Gajah beberapa poin guna meringankan hukuman yang diterima Gajah di rumah. Hanya itu yang bisa mereka lakukan karena hal itu jauh lebih mudah daripada menasehati ayahnya yang sangat keras kepala.
Setiap Gajah dipecut oleh ayahnya, ibunya akan menegur suaminya. ”Mas, anakmu tidak akan jadi pintar hanya dengan dipecut.” Tapi hanya sebatas itu yang dilakukannya. Setelah itu dia akan berlalu sambil menggendong anak keduanya, Melisa. Melisa sangat berbeda dengan kakaknya; putih, mulus, imut, dan enak dipandang, sangat kontras dengan Gajah yang berkulit hitam, burik, dan menyeramkan.
”Harusnya aku dengarkan kata-kata mereka. Kamu ini memang idiot! Makanmu saja yang banyak, tapi otakmu seperti udang. Isinya tai semua.” Ayah Gajah tidak pernah kurang dalam menghina anaknya. Dia tidak pernah merasa sungkan melampiaskan segala rasa kesalnya pada Gajah sampai-sampai tetangga-tetangganya menyebarkan gosip; kalau saja ayahnya Gajah bisa membuktikan bahwa Gajah bukan anaknya, mungkin dia akan meninggalkan Gajah di tengah hutan.
Dulu sebelum Melisa lahir, Gajah tidak pernah mendapat perlakuan kasar dari ayahnya. Dia pernah menjadi anak kesayangan mereka. Bagaimanapun, saat itu Gajah adalah anak satu-satunya, dan segala kasih sayang kedua orangtuanya, tumpah ruah hanya untuknya seorang. Ibu dan ayahnya Gajah tak pernah kurang menuruti keinginannya. Bahkan sebelum Melisa lahir, Gajah selalu tidur bersama kedua orangtuanya karena keduanya tidak ingin jauh-jauh darinya.
Di suatu malam, Gajah pernah terbangun mendengar rintihan ibunya. Dilihatnya ayahnya sedang menindih ibunya, mendengus seperti binatang buas yang sedang memangsa buruannya. Gajah menangis melihat adegan di depan matanya. Gajah memukul punggung ayahnya dan memintanya berhenti. ”Kamu kenapa sayang? Sudah jangan menangis,” ucap ibunya meraba lembut wajah Gajah.
”Ibumu tidak apa-apa. Ayah dan ibu sedang main smack down, seperti yang kamu tonton,” ucap ayahnya terkekeh. Kedua orangtua itu tidak menghentikan apa yang sedang mereka kerjakan. Mereka bahkan membiarkan anaknya menontonnya dan semakin tenggelam dalam berahi mereka. Hal ini tidak hanya terjadi sekali dua kali, tapi berkali-kali. Mereka berpikir Gajah tidak akan mengingatnya karena dia masih kecil. Mereka salah, otak Gajah mungkin tidak berkembang dengan sempurna, tapi ingatannya adalah yang paling sempurna di antara anak seusianya.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perkembangan masa kecil Gajah. Ketika bayi, dia lucu seperti bayi pada umumnya. Beranjak balita, dia tumbuh juga seperti balita-balita seusianya. Ketika balita-balita seusianya belajar bicara, Gajah juga belajar bicara. Ketika mereka menangis saat terjatuh, Gajah juga menangis. Bahkan seringnya, tangis Gajah lebih keras. Tidak ada yang terlihat berbeda pada Gajah dibanding anak-anak seusianya, selain tubuhnya yang sedikit lebih besar dan makannya yang sedikit lebih banyak.
Awalnya Gajah hanya makan sedikit lebih banyak, lama-lama menjadi kelewat banyak. Setiap hari, dia menghabiskan sedikitnya sepuluh piring nasi, dan meminum sedikitnya lima belas gelas es teh. Ibu Gajah tak pernah mampu menolak keinginan Gajah untuk makan karena dia tidak tahu lagi cara mengekspresikan cinta selain dengan memberinya makan. Namun semakin ke sini, makan Gajah semakin banyak, dan jika tidak dituruti, Gajah akan mengamuk dan membanting segala jenis benda yang ada di rumah. Meski dipukuli ayahnya, dia tidak akan berhenti mengamuk sampai perutnya benar-benar kenyang. Dan masalahnya, dia tak pernah benar-benar kenyang. Akhirnya badannya berkembang melampaui anak-anak seusianya, tapi otaknya tidak berkembang seperti anak-anak seusianya, seolah-olah otak Gajah berhenti berkembang.
Di sekolah dan di kompleks perumahannya, Gajah tidak pernah mencari masalah. Dia disukai oleh teman-temannya karena meski diejek, dia tidak pernah marah. Mau dikatai bodoh, gendut, jelek, apa pun itu, dia tidak peduli. Selama tidak dikatai idiot. Itu adalah garis yang tidak boleh dilewati karena jika Gajah sudah marah, tidak ada satu pun yang bisa menghentikannya kecuali beberapa lelaki dewasa.
Para remaja nakal juga sangat senang mengajak Gajah bermain, atau lebih tepatnya menjadikan Gajah sebagai mainan. Mengetahui otak Gajah tidak benar-benar penuh, mereka melakukan berbagai eksperimen padanya. Beberapa anak memberinya rokok, beberapa anak lainnya memberinya tuak dan arak.
Beberapa kali pula Gajah pulang dengan terhuyung-huyung yang disambut murka ayahnya yang kemudian mengikatnya di pohon mangga, memecutnya seperti sedang memecut binatang.
Setelah ayahnya puas melampiaskan amarahnya, ibunya akan mengobati lukanya, dan semua kembali seperti sedia kala, seolah tidak terjadi apa-apa. Kejadian itu terus berulang, namun tidak membuat ayah Gajah menyalurkan kekesalannya pada para berandalan yang mencekoki tuak dan arak pada Gajah. Dia lebih memilih untuk melampiaskan kemarahannya pada anaknya. Dia tidak mau mempermalukan dirinya lebih dari ini.
Dari sekian cara berandalan kecil itu membuat Gajah menjadi mainan, mereka paling puas ketika membuatnya menonton film porno lewat hape. Bagi mereka tidak ada yang lebih menarik dari melihat Gajah sange. Jika kepada anak SD lain, para berandalan itu akan meminta uang sewa 1.000 rupiah per video, untuk Gajah mereka memberinya gratis, full service. Kemudian mereka akan menjadikan Gajah yang sedang menonton film porno sebagai tontonan.
Baca juga : Bahasa Apa yang Paling Berbahaya?
Mereka sangat menunggu-nunggu komentar Gajah yang selalu muncul di sela-sela aktivitasnya menonton. Dia akan berkata, ”Main smack down, seperti ayah dan ibu.” Komentar itu selalu mampu membuat para berandalam tertawa sejadi-jadinya, seolah apa yang dikatakan Gajah adalah lelucon paling lucu. Kemudian mereka akan semakin puas jika dapat melihat penis Gajah berdiri; karena setelah itu, tanpa perlu dibimbing, Gajah akan memainkan penisnya. Segalanya terjadi dengan sangat alami, seolah apa yang dilakukannya telah terekam dalam kode genetik yang tertanda pada DNA-nya. Gajah mungkin tidak memiliki otak yang sempurna, namun ia juga manusia yang selalu mencari pelepasan dari berahi yang menjalari tubuhnya.
Ketika melihat Gajah memainkan penisnya, salah satu dari mereka akan berkomentar dengan nada mengejek. Kemudian semua anak akan tertawa terbahak-bahak sampai perut mereka keram. Gajah tidak memedulikan apa yang mereka tertawakan dan terus bermasturbasi. Dia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dia lakukan, yang dia tahu hanya rasanya enak.
Cerita tentang ”Gajah ngocok” ini kemudian berkembang menjadi lelucon yang buruk, lelucon yang diceritakan berulang-ulang, dilebih-lebihkan, ditamba-tambahi, seperti setiap cerita karangan manusia. Segala bumbu diberi untuk membuat lebih lucu, lebih jenaka, dan lebih menarik dari cerita yang sebenarnya. Beberapa pemabuk bahkan menjadikan cerita Gajah ngocok sebagai teman minum, sebagai bahan lucu-lucuan ketika menegak arak dan tuak.
Gajah kemudian menjadi legenda yang hanya dengan menyebut namanya, setiap orang yang sedih akan tertawa. Setiap orang yang baru saja putus, juga akan tertawa. Setiap suami maupun istri yang baru saja bercerai, juga dibuat tertawa. Bahkan mereka yang baru saja mendapatkan musibah, bisa dibuat tertawa oleh lelucon Gajah ngocok. Segala lelucon tentang Gajah membuat mereka tertawa, sampai akhirnya lelucon yang buruk ini menjadi benar-benar buruk ketika Gajah membawa anak-anak mereka, keponakan mereka, cucu mereka, adik-adik, saudara sepupu mereka ke semak-semak untuk mengajaknya bermain Smack Down. (*)
Sandik, Februari 2021
Aliurridha merupakan penerjemah dan penulis lepas. Sehari-hari menulis esai, opini, cerpen, dan cerita horor. Karyanya tersebar di beberapa media, baik cetak maupun daring. Cerpen-cerpennya telah terbit di Koran Tempo, Republika, Lampung News, Medan Pos, Magrib.id, dan Metafor.id. Aktif berkegiatan dan berproses dalam komunitas Akarpohon.