Surtikanti
Semakin hari semakin kusadari jika menulis adalah kebahagiaanku. Aku bisa menuliskan apa pun yang kumau bahkan imajinasiku sekalipun tanpa khawatir ada yang mencela.
Namaku Surtikanti, tapi semua orang memanggilku dengan nama Suti, termasuk orangtuaku. Aku selalu penasaran dengan arti namaku sebenarnya, karena nama ini terdengar tak biasa bagiku. Orang tuaku memiliki darah Jawa dan aku juga lahir di sana. Sayangnya, aku tumbuh besar di pulau lain, karena sudah 20 tahun kami memantapkan kaki di Pulau Dewata. Kedua orang tuaku memutuskan merantau ke Pulau Bali sejak usiaku 3 tahun.
Aku memang tumbuh dan besar di tengah keluarga Jawa, tapi aku tak pernah merasakan atmosfer Jawa yang kata orang kental dengan tradisinya. Bahkan orang tuaku tak pernah mengajariku bicara dengan bahasa kelahiran mereka. Setidaknya mereka bisa memberitahuku cara menyapa orang tua dalam bahasa Jawa dengan benar, tapi hal itu tak pernah dilakukan. Mereka terlihat lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia saat berbicara denganku.
Sejak kecil aku selalu suka menulis. Bahkan aku bisa menghabiskan waktu sepanjang hari di balik pintu kamarku hanya untuk membuat goresan pena. Sebuah buku catatan menjadi temanku yang paling setia selama ini. Hanya ada satu kata yaitu ”lega” jika kutorehkan deretan huruf membentuk diksi yang mengalun indah menciptakan kalimat. Pada tahap inilah aku bisa menumpahkan perasaan juga pikiranku. Jika kurasa sempurna, aku akan menyalinnya pada sebuah komputer jinjing berukuran 17 inci yang selalu berada di mejaku.
Baca juga: Redian dan Kulkas Barunya
Aku selalu berpikir untuk menciptakan sesuatu sebelum ajal menjemputku, sebelum sakit mendatangiku. Semakin hari semakin kusadari jika menulis adalah kebahagiaanku. Aku bisa menuliskan apa pun yang kumau bahkan imajinasiku sekalipun tanpa khawatir ada yang mencela. Secara tidak langsung aku telah menemukan caraku untuk membentuk duniaku sendiri.
Tidak semua tulisanku sesuai harapan. Seperti hari ini, sebuah kisah telah tercatat dalam satu lembar kertas, tapi tak juga kulihat sempurna. Semakin sering kubaca, tulisanku makin tak menunjukkan kualitas yang baik. Hingga lembaran itu hanya berakhir di kotak sampah dengan kondisi terkoyak dan hangus terbakar.
Entah apa yang membebaniku, biasanya aku bisa menyelesaikan banyak halaman tanpa harus mengulang. Kulirik sebuah kotak yang berada di atas tempat tidurku. Sebuah wadah yang paling aman untuk menyimpan tulisanku.
Ah, sebaiknya segera kubereskan kertas yang berserakan dan kususun rapi di dalam kotak. Aku memang tak bisa menciptakan kisah hari ini, mungkin diriku terlalu lelah, atau kapasitas otakku sudah mencapai batas maksimal.
Kupaksakan diri menuju taman di depan rumah. Kududuk di atas bangku kayu yang masih segar dengan aroma catnya. Aku dapat melihat ibu menuju kamarku, mungkin untuk membersihkan debu dan sarang laba-laba yang telah menghiasi sudut ruang. Apakah ibu akan melihat ke bawah tempat tidurku dan menarik kotak yang kusembunyikan tanpa keraguan sedikitpun? Mungkin kubiarkan saja jika ibu membaca beberapa halaman, dengan begitu ibu akan berbicara kepadaku.
**
Haruskah aku berbangga dengan kemampuanku menulis dalam bahasa asing? Terkadang ingin kutunjukkan pada dunia kemampuanku menggunakan bahasa Jerman dan Inggris. Barisan diksi yang tertulis rapi di buku catatan dalam tiga bahasa. Deretan kata demi kata yang membentuk harmoni, jika dibaca akan terdengar nada yang indah. Susunan kalimat demi kalimat yang membentuk keserasian dalam sebuah paragraf. Ya, aku menyusunnya dengan ketulusan dari hatiku. Sebenarnya, aku hanya ingin ibu berkata ”aku bangga denganmu”, sepertinya keinginanku takkan pernah terwujud, karena ibu selalu diam menutup mulutnya.
Siapa yang bisa menyangka bahwa anak desa sepertiku bisa menguasai bahasa asing. Mungkin karena aku memiliki rasa penasaran diatas rata-rata, terlebih bahasa yang terdengar tak biasa bagiku. Selain itu, ayahku telah mengenalkanku pada bahasa asing sejak aku duduk di kelas satu Sekolah Dasar. Ayahku orang yang selalu menginginkanku sekolah ke luar negeri. Dia bahkan rela membuang hasil keringatnya hanya untuk mendatangkan guru les setiap hari. Jujur saja, aku kehilangan masa kecilku yang bebas dan bahagia. Saat anak lain mempunyai waktu untuk bermain, aku hanya menghabiskan waktuku untuk membuka buku dan belajar.
**
Ada kalanya aku dibuat penasaran dengan percakapan yang dilakukan orang tuaku. Aku sama sekali tak mengerti apa yang tengah mereka bicarakan. Aku tak pernah memiliki keberanian untuk bertanya pada ibuku, kenapa aku tak pernah dikenalkannya pada bahasa Jawa. Sesekali terdengar ibu berbicara dengan ayah menggunakan bahasa Jawa yang tak bisa kumengerti satu kata pun. Bahkan jika diminta untuk menuliskan kata demi, aku takkan bisa.
Malam ini kulihat ibu berbicara dengan ayah sembari menangis terisak-isak. Samar-samar kudengar tentang kepindahan kami ke pulau Jawa. Apakah aku harus bertanya? Yang pasti, aku merasa takut dan cemas untuk tahu lebih dalam. Entah sejak kapan komunikasi dengan orang tuaku menjadi ganjalan. Sulit bagiku untuk membayangkan tinggal di tengah masyarakat yang berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Mungkin aku harus memulai kelas bahasa daerah agar bisa menyesuaikan diri. Seharusnya ayah dan ibu mengenalkanku pada bahasa asal kami sebelum mencekokiku dengan bahasa negara lain.
Terkadang kenyataan memang tak seindah harapan, itulah kehidupan sesungguhnya. Di hari keberangkatan kami, tak sedikitpun aku bertanya pada ibu tujuan dan alasan meninggalkan rumah kami di Bali. Aku tak suka mencampuri urusan orang tuaku, apa pun yang mereka putuskan, sudah mereka pahami segala resiko dan konsekuensinya. Begitupun saat mereka memutuskan kembali ke tanah kelahiran mereka, pulau Jawa.
Selama satu jam berada di udara membuatku memikirkan hidup dan mati. Begitu kaki menginjak daratan, aku hanya bersyukur masih hidup dalam keadaan utuh. Sepanjang perjalanan meninggalkan bandara, bentangan sawah yang indah bak permadani menghipnotis mataku seketika. Tak terlalu banyak rumah penduduk yang kulihat, gedung bertingkat juga tak menampakkan dirinya. Beberapa orang masih terlihat menggunakan kain jarik dan topi caping. Bahkan masih ada yang bertelanjang kaki memanggul cangkul di pundaknya. Kendaraan roda empat pun jarang terlihat, hanya sepeda onthel melaju dengan santainya. Sempat kulihat papan jalan berwarna hijau tertera Simo. Sebuah desa di salah satu kabupaten di Jawa Tengah menjadi tujuan akhir dari perjalanan kami.
**
Kami tiba di sebuah rumah yang memiliki atap menyerupai gunung dan berlatar luas. Ibu masuk ke dalam rumah dengan sangat berhati-hati, membuka tirai kamar yang terletak di sudut ruang tengah. Ibu masuk seakan ibu telah terbiasa dan hafal dengan setiap sudur ruangan. Aku turut masuk dengan rasa penasaran, siapa yang kami kunjungi.
Aku hanya melihat sosok laki-laki separuh baya, terbaring di tempat tidur tanpa suara, pandangan mata kosong seakan tengah berada di dunia antar dimensi.
”Pripun kabaripun mas? Sampun senggang?”
Kata demi kata terdengar lembut menyentuh telinga, tapi tak bisa kupahami. Bahkan jika aku berhasil mengucapkan kalimat yang ibu katakan, akan terdengar aneh dengan aksenku.
Aku keluar dari kamar setelah memberi salam. Rasa penasaran memaksa pikiranku bekerja keras untuk mencari tahu siapa pria paruh baya itu. Mungkin saja dia muncul dalam memoriku yang lama tertidur. Tapi tak juga kuingat sosok pria itu. Saat kulangkahkan kaki menuju teras, aku kagum dan terpana. Sungguh, mataku dimanjakan dengan hamparan kebun tebu yang siap untuk dipanen. Terlepas dari riuhnya perkotaan, sejenak kupejamkan mata mencoba memahami kenyataan yang sedang kuhadapi. Tak lama ibu menyusulku dan memegang bahuku.
”Dia akan segera meninggal.”
”Bu...”
”Ibu tak akan berbohong padamu, ibu sungguh sedih. Rasanya sangat menyakitkan kehilangan separuh nyawaku.”
Aku hampir saja menitikkan air mata mendengar ibu berbicara padaku. Untung ayah segera datang. Meskipun aku ingin berbicara banyak hal dengan ibu, tapi tak ingin ibu terus tenggelam dalam kesedihannya. Kubiarkan ayah mendekat, mungkin bisa menghibur hati ibu yang tengah porak-poranda.
Ibu tak akan berbohong padamu, ibu sungguh sedih. Rasanya sangat menyakitkan kehilangan separuh nyawaku.
Tiga hari berlalu, apa yang diucapkan ibu pun menjadi kenyataan. Pria paruh baya itu meninggal. Dua hari sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, dia hanya menatapku tanpa mampu berucap. Jauh di dalam sorot matanya, ada sejuta cerita yang ingin dia sampaikan. Sorot matanya terlihat tak asing bagiku. Mungkin inilah yang disebut dengan deja vu. Mungkin aku pernah bertemu dengannya di kehidupanku sebelumnya.
**
Seminggu setelah kepergian pria itu, ibu masih terlihat pucat dan tak bertenaga. Bahkan tak pernah kulihat ibu tersenyum atau tertawa sebentar saja. Kuberanikan diri untuk memasuki kamar yang ditempati pria itu. Sengaja kulakukan untuk mencari serpihan kenangan yang bisa mengembalikan ingatanku. Kenapa aku merasa mengenal dekat pria itu. Bagaimanapun juga, aku tak ingin hidup dengan rasa penasaran yang menyiksa.
Baca juga: Bunga Dalam Air
Kususuri tiap sudut kamar, kubuka setiap laci meja yang terletak di ujung ranjang. Kudapati sebuah buku catatan dengan sampul berwarna biru, sedikit berdebu bahkan kertasnya pun telah berubah warna menjadi coklat dengan beberapa noda. Kubuka dengan sangat hati-hati agar tak membangunkan kerapuhanya. Ada 33 halaman dengan tulisan yang tak bisa kuartikan. Sebuah catatan yang tergores rapi dalam setiap lembarnya, kata demi kata membentuk kalimat bahasa Jawa yang mengelus sudut mata.
Gemuruh hati ingin bisa memahami. Keingintahuan menyeruak dari akar kepala. Tapi saraf-saraf ragawi tak mampu mengimbangi. Satu kata yang bisa kupahami dengan baik dari catatan itu. Ya, sebuah nama ‘Surtikanti’ tertulis dalam setiap halaman dan selalu menjadi kata pertama dalam memulai tulisan.
***
Desynata Purnamasari SS, lahir tanggal 26 Desember 1985 di Surakarta, Jawa Tengah. Tinggal di Muara Enim, Sumatera Selatan. Tulisan pernah menjadi juara favorit blog competition Kompasiana. Juara 2 menulis esai oleh Yayasan Plan International Indonesia. Cerpennya juga pernah menjadi juara harapan II dalam kompetisi menulis PPWI. Beberapa puisi dibukukan dalam buku antologi lomba berjudul Aksara dan Kenangan.