Pulang ke Kampung Gedong
Kala itu kau bercerita bahwa menjadi kuli tambang tidak akan dapat memberimu banyak harapan, lebih-lebih ada larangan bagi orang Tionghoa.
Kau duduk di atas kursi kayu, di depan ruko sembako yang menganga layaknya sebuah mata. Pandanganmu menjarah jalanan kampung Gedong yang memanjang layaknya tahun-tahun yang rebah. Orang-orang lalu-lalang, melintas dalam berbagai urusan.
”Koh Liang.” Seseorang tiba memecah lamunan. Seperti kebanyakan orang-orang Hakka di Kampung Gedong, sehari-hari, kau bercakap dalam dialek Khek, meski seingatku, kau juga sedikit banyak mengertí kalau-kalau orang mengajakmu bicara dengan bahasa Indonesia.
”Ada sabun mandi?”
Kau berdiri. Menuju letak sabun batangan di bagian samping ruangan. Di dalam lemari kaca. Tanganmu yang renta menggesernya pelan-pelan.
”Mau ambil berapa?”
”Dua saja Koh.”
Setelah seorang pembeli itu pergi, kau kembali duduk di depan ruko sembako.
Entah bayangan macam apa yang merajai pikiranmu. Yang kuingat, sekalipun sering kau ulang-ulang, kau suka sekali bercerita tentang Konco dan Akong di masa lalu. Barangkali inilah yang tengah mengusikmu. Sebuah kisah melemparkanku di tahun nun jauh.
Suatu kali, tahun 1950 akhir, Thong-ngin sudah tidak boleh kerja tambang di Kampung Gedong. Banyak di antaranya yang pulang dan merantau, keluar dari kampung, bahkan keluar pulau. Sedangkan yang bertahan hanya boleh jadi nelayan atau petani.
Baru belasan tahun berikutnya, kau bisa mendirikan ruko ini. Tentu setelah urusan kewarganegaraan tuntas kau selesaikan. Saat itu, tidak lama dari larangan penambangan bagi orang Tionghoa, pemerintah juga menerbitkan peraturan yang mengatur penyelesaian kewarganegaraan ganda.
Pada akhirnya kau harus melepas kewarganegaraan Tiongkok dan memenuhi berbagai persayaratan dokumen. Meski kehidupan serba tak menentu, itulah satu-satunya pilihan bagi keluarga kita yang tidak mungkin lagi kembali ke Tiongkok.
Apalagi, dari cerita yang pernah kau sampaikan, pemerintah seperti tengah mencekik orang-orang Hakka. Padahal kau ingat betul, bagaimana leluhurmu, termasuk Kongco, datang memulai kehidupan dan tumbuh sebagai petambang.
”Di dekat setiap lokasi tambang itu selalu terdapat permukiman Tionghoa. Dalam pengelolaan tambang, mereka membentuk kongsi. Kemudian melakukan penambangan bersama-sama dalam kelompok untuk mengelola satu atau lebih tambang timah. Dari sanalah Kongcomu dan kerabat lainnya memulai hidup kemudian menetap.” Ceritamu saat itu. Aku ingat, tepat di mana kau rebah saat ini, aku duduk di sampingmu, memperhatikanmu lekat-lekat.
”Sultan Palembang pun urun andil menjalankan sistem kongsi terhadap para kelompok Kongcomu. Sultan akan membeli timah dari pemimpin kelompok Kongcomu seharga 5 dollar Spanyol per pikul.” Sampai di sini, dua garis di antara kedua matamu tampak memburat, menyiratkan rasa amarahanmu.
”Karena jumlah kelompak penambang makin lama makin banyak, Sultan memerlukan orang-orang yang bisa menghubungkamya dengan mereka. Kemudian muncullah tiko.”
”Tiko ini siapa Papa?”
”Mereka kebanyakan adalah orang Tionghoa peranakan yang beragama Islam, namun masih bisa berbahasa Mandarin,” jawabmu. Setelah menarik napas kau kembali melanjutkan. ”Para tiko yang diangkat oleh Sultan ini memiliki kuasa atas beberapa kongsi. Singkatnya, kelompok kuli Kongcomu dijajahi para tiko ini.
Namun, kekuasaan para tiko tak berlangsung lama. Setelah Inggris berkuasa empat tahun, sebelum Bangka diserahkan kepada Belanda dalam Traktat London 1814. Tepatnya, Inggris dan Belanda melakukan tukar guling. Bangka yang tadinya dikuasai Inggris ditukar dengan Cochin yang dikuasai Belanda.”
”Bukankah lebih baik jika tiko tidak lagi berkuasa, Papa?”
”Sayangnya, meski tidak lagi diwakili tiko, masalahnya kian berat karena Belanda membayar timah dengan harga yang jauh lebih rendah dari pada harga timah dunia. Sebagai akibatnya, kongsi ikut memperbudak para kuli penambang timah. Kongco adalah bukti bagaimana tenaga mereka diperah demi pundi-pundi dollar.”
”Aqua botol dua Koh.” Ingatanku roboh ketika dari kejauhan kulihat seorang laki-laki muda datang padamu setelah memarkirkan sepeda di hadapan ruko. Tidak lama berselang Asim datang dengan tunggang langgang. Cepat-cepat tanganku menurunkan bagian depan topi alih-alih menutupi sebagian wajah, takut-takut Asim tahu kepulanganku.
”Besar apa sedang?”
”Sedang Koh.”
Kau mengemasnya dalam plastik hitam, setelah mengulurkannya, lelaki muda itu membayar lantas mengayuh sepeda meninggalkan ruko. Belum sempat kembali duduk, Asim datang dengan terburu buru.
”Kenapa tampak cepat-cepat Mei?”
”Koko, Nek minta Rinso, empat ya. Biasa lagi nyuci Ko, sabun habis.”
”Bayar nanti ya Ko.” Asim kemudian berjalan ke rumahnya kembali lagi dengan langkah tergesa. Selang tiga rumah dari rukomu, kemudian Asim lenyap setelah belok ke kanan. Rumah Asim tidak jauh dari ruko. Tidak begitu bagus dan luas.
Dibangun sudah puluhan tahun. Sehari-hari Asim dan A-shuk cuma berjualan makanan tradisional Tionghoa di kota. Sebab, itu di sini jarang ada rumah bagus. Dipikir-pikir, bisa makan dan cukup menghidupi anak-anak saja sudah sangat baik.
Kehidupanmu, Asim, dan A-shuk memang sudah lama pas-pasan, bahkan sebelum aktivitas penambangan bagi orang Tionghoa dilarang, kehidupan mereka dan para kuli timah kebanyakan kian tak menentu dan tak pasti. Seperti ceritamu, para mandor tambang memperlakukan mereka seperti kuda pacu.
Kuli tambang diganjar sistem kerja di luar batas kemampuan. Pada akhirnya pemogokan hingga protes berdarah penambang timah jadi puncak dari kemarahan, sayangnya dengan mudah kongsi memadamkannya.
Hal inilah yang membuatmu menyuruhku merantau. Suatu kali, ketika hidup kian sulit, Orde Baru tumbuh melesat seperti bayi raksasa mencengkeram apa pun yang ada di dekatnya, dan aku sendiri mulai tumbuh remaja, kau menyuruhku berkemas.
Saat itu kau begitu marah karena tahu aku diam-diam hendak ikut A-kiu menambang. Dalam suara yang meninggi itu kau berulang kali mengatakan, jangan pernah jadi petambang.
”Lebih baik kau merantaulah. Papa akan membiayaimu ke Jawa. Belajarlah ke sana. Perkara biaya, Papa akan mengurusnya.” Saat itu aku hanya diam dan tidak lama segera bergegas menuju kamar.
Dalam kesempatan berikutnya ketika suasana mereda, kau mengetuk pintu dan duduk di sampingku. Kala itu kau bercerita bahwa menjadi kuli tambang tidak akan dapat memberimu banyak harapan, lebih-lebih ada larangan bagi orang Tionghoa. Dulu karena keterpurukan itulah, kau terpaksa membantu seorang temanmu bernama Boen Kin To atau yang lebih dikenal orang sebagai Tony Wen.
”Pada tahun 1948, Wen menghubungi Papa. Ia mengatakan demi kepentingan Republik, Papa harus membantunya melakukan sesuatu. Menurut dia, Papa dan Akongmu yang dianggap paham seluk-beluk perdagangan gelap candu di Singapura karena memiliki beberapa relasi di sana. Sejak saat itu, Wen dan Papa menyusun operasi penyelundupan candu secara rahasia. Penyelundupan itu berhenti Papa lakukan ketika kau mulai tubuh menjadi lelaki remaja. Papa takut sewaktu-waktu Papa tertangkap dan tidak lagi bisa melihatmu tumbuh dewasa. Sejak saat itu, Papa memutuskan membuka ruko kita, sampai sekarang.”
Sejak saat itu (lebih-lebih sejak Mama telah berpulang), aku begitu dekat denganmu. Setidaknya aku paham mengapa kau tak ingin aku terlibat dalam penambangan. Aku menuruti perintahmu. Tepat setelah aku lulus sekolah atas, aku datang ke Jawa menuju universitas. Tiga tahun berselang, aku tak pernah lagi pulang.
Sejak saat itu, Wen dan Papa menyusun operasi penyelundupan candu secara rahasia. Penyelundupan itu berhenti Papa lakukan ketika kau mulai tubuh menjadi lelaki remaja. Papa takut sewaktu-waktu Papa tertangkap dan tidak lagi bisa melihatmu tumbuh dewasa.
Suatu kali, satu minggu sebelum Imlek, sebuah pesan muncul di pager-ku. Kau meminta agar aku menghubungimu, aku bergegas mencari telepon umum. Suaramu berderit, membuka percakapan dengan sebuah pertanyaan, apakah Imlek dan Ceng Beng tahun ini aku akan pulang ke Kampung Gedong.
Katamu, Imlek dan Ceng Beng adalah dua waktu yang begitu berharga bagi seluruh leluhur kita. Entah berapa lama pun seseorang merantau, sekali waktu mereka pasti menyempatkan diri kembali ke kampung halaman.
Mendengarmu bertanya semacam itu, sejujurnya aku benar-benar tidak tahu bagaimana harus menjawabmu. Beberapa saat suasana hening. Ketika aku diam hendak mengatakan sesuatu, justru suara serakmu lebih dahulu menerobos dan memugar ingatanku.
”Bukankah hari ini hari ulang tahunmu?”
”Selamat ulang tahun San. Jaga baik-baik dirimu. Papa selalu mendoakanmu.”
Suaramu menerpa langit-langit mata. Seperti cuaca gelap yang membayang di pelupuk mata. Bersiapkan menghujamkan kenangan layaknya sulur-sulur hujan.
Dulu ketika aku ulang tahun, Mama sering sekali membuatkanku mian rian. Meski mian rian sudah ditanggalkan orang Tionghoa karena tergantikan oleh mi kemasan, namun bagi Mama, membuat mian rian jadi suatu keharusan.
Baca juga : Kado Pernikahan yang Sesungguhnya
Aku ingat betul, Mama akan memulainya dari adonan tepung beras, dipilin dan ditarik hingga pecah menjadi helai-helai seperti rambut putih yang panjang. Hal itu yang lantas membuatku paham mengapa Mama menghidangkan mian rian setiap ulang tahunku. Dari bentuknya, mian rian identik dengan umur panjang. Mian rian bukan hanya perkara makanan, tapi lebih terutama sebagai sebuah harapan yang diupayakan.
”Mama dan Papa mendoakanmu supaya kelak kamu berumur panjang sampai berambut putih,” ujar Mama saat selesai membuat mian rian dan menghidangkannya di hadapan kita.
Ingatan itu seperti air yang menggenang di pikiran. Aku tak ingin tenggelam. Sebelum tangisku tumpah layaknya bah, aku cepat-cepat menjawabmu.
”Papa jaga diri baik-baik. Semoga aku bisa kembali.” Suara telepon yang terputus tuntas menutup pembicaraan kita.
***
Kau duduk di halaman, di depan ruko sembako yang terbuka seperti mata waktu. Di atas kursi kayu, matamu menjarah jalanan kampung Gedong yang memajang layaknya tahun-tahun yang rebah.
Aku melangkah perlahan dari sisi selatan sembari mengingat-ingat setumpuk cerita dan kenangan. Jarak kian terlipat menuju ruko sembako. Sesekali beberapa orang datang, samar-samar berbincang, kemudian keluar, tubuhmu kembali lagi kau sandarkan.
”Papa…”
Kau tampak kaget bukan main melihatku sudah berdiri memandangmu. Buru-buru kau bangkit. Kemudian dengan langkah patah-patah. Kau tiba memelukku.
Beberapa saat setelah aku membantumu menutup ruko, kita segera melangkah menuju pemakaman Tionghoa.
Di hari itu, pemakaman Tionghoa seolah berubah menjadi tempat yang tak berhenti bicara. Setiap keluarga bersama-sama membawa sesajian dan berdoa untuk leluhur mereka. Keramaiannya sudah tampak sejak pagi-pagi sekali. Yang datang pun tak hanya Tionghoa perantauan di Indonesia, tapi juga mereka yang dahulu sudah kembali ke Tiongkok.
Di hadapan makam leluhur, kita menyalakan Hio kemudian mendoakan beberapa leluhur termasuk Mama, Akong, dan Kongco. Selepas berdoa di hadapan gambar Akong, kau menceritakan bagaimana dulu Akong meninggal ketika usiamu belum genap kepala dua.
Baca juga : ”Ghosting” dan Amukan Calon Arang
”Tahun 1899, akongmu melarikan diri dari tambang dan berhasil menghimpun kekuatan. Bersama ratusan pengikut, akongmu yang biasa dipanggil Lin Ngie menjarah rumah-rumah kongsi dan menyerang sejumlah tambang. Belanda pada akhirnya berhasil menangkap akongmu karena ada anggota kelompoknya yang berkhianat. Akongmu kemudian digantung di hadapan umúm.”
Aku mendengarmu dengan khidmat. Tidak lama, pager-ku berbunyi. Aku keluarkan dari saku. Sebuah pesan kode muncul dari layar. ”Bangka! 3 loss. Jakarta 0/5.”
Aku segera menangkap maksud pesan itu. Seseorang memintaku lebih lama di Bangka sebab tiga mahasiswa hilang tiba-tiba. Jika aku hendak pergi, ia akan menungguku di Jakarta pertengahan Mei.
Aku memasukkannya kembali ke dalam saku. Kau dan aku kemudian berbalik, berjalan meninggalkan pemakaman.
”Bukankah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.” Dalam hati kalimatku muncul tiba-tiba ketika kuperhatikan wajahmu yang sudah begitu tua.
Jejak Imaji, 2021
***
Angga T Sanjaya, alumnus Universitas Ahmad Dahlan dan Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta lahir di Wonosari, Gunung Kidul pada 7 Juni 1991. Kini tinggal di Yogyakarta dan sesekali pulang ke Membalong, Bangka Belitung. Bergiat di komunitas Jejak Imaji.