Kado Pernikahan yang Sesungguhnya
Selama hampir tujuh tahun pernikahan kami, saya belum bisa memberinya seorang buah hati.
Untuk menyiapkan hidangan kesukaannya, sudah sejak subuh saya berkutat dengan peralatan masak—wajan, panci, dandang, dan lainnya. Setelah dua bulan ditinggal pergi ke perantauan, akhirnya ia memberi kabar bahwa akan pulang dengan membawa buah tangan yang bisa menemani hari-hari saya. Kejutan buat saya, katanya sewaktu menelepon semalam hingga membuat pikiran saya kian terngiang-ngiang. Sungguh, rasa bahagia begitu menyesakkan dada saya mendengar itu semua.
”Kepulanganmu saja sudah membuatku terkejut, Mas,” ucap saya di telepon ingin tahu hadiah apa yang akan saya terima nanti. Namun, ia tetap merahasiakannya.
”Ya, sudah. Aku tunggu kedatangan dan hadiahmu di rumah, Mas. Hati-hatilah.”
Itulah kalimat penutup saya yang tak dihiraukan olehnya. Ia tampak begitu sibuk karena terkupingkan di telinga saya suara gedebak-gedebuk beberapa kali. Dan suara itu pulalah yang terakhir saya terima sebelum akhirnya ia tiba di rumah.
Semasih belum ia pergi ke perantauan, malamnya kami sempat bertengkar hebat. Dan sayalah yang ia jadikan sebagai musababnya. Selama hampir tujuh tahun pernikahan kami, saya belum bisa memberinya seorang buah hati. Apalagi sejak setelah berjalan dua tahun, ia selalu dan terus menuntut saya untuk bisa hamil. Sempat pula ia mengancam, bahwa jika saya tidak bisa mempersembahkan anak untuknya, ia akan mencari perempuan lain yang bisa seutuhnya melengkapi hidupnya.
Lima tahun lalu itu, saya mengusulkan untuk mengadopsi anak saja. Dan tepat ketika itu, kedua bayi kembar yang baru dilahirkan kakak sepupu saya membutuhkan seseorang yang bisa mengasuhnya. Bayi kembar itu ditinggal pergi selamanya oleh ibu mereka setelah mereka berhasil menghirup udara dunia. Akan tetapi, saran saya ini ia tolak. Ia masih bersikeras untuk memiliki anak dari rahim saya sendiri.
Apa hendak saya buat. Segala usaha sudah saya jalani, baik dari segi medis maupun alternatif. Namun, tetap tiada satu benih pun yang mau singgah di dalam rahim saya. Sampai pada titik terjenuh dan di puncak penantiannya, ia mengatakan bahwa saya ialah perempuan bagai tanah yang kering, gersang, dan tak berpenghidupan. Dan, kata-katanya itu pun berhasil menyemai luka di hati saya, bahkan sampai detik ini. Kendatipun demikian, saya tak gentar untuk tetap berada di sampingnya walau perlakuannya kadang kala mengiris batin saya.
Sejak saat itu pula, saya tahu, maksud saya bukan hanya tahu, tetapi juga menyadari, bahwa saya hanyalah seorang perempuan yang tidak memiliki kuasa apa pun. Selepas insiden itu pula, saya hanya ia anggap sebagai serpihan-serpihan debu seperti yang menempel di sepatunya. Canda, tawa, tukar gagasan, tangis, marah, dan remah-remah kehidupan sepasangan suami-istri sirna sudah. Hari-hari saya pun bergulir dengan penuh kehampaan dan kegetiran.
Dan, mulai dari percekcokan lima tahun silam hingga puncaknya dua bulan yang lalu sebelum ia pergi ke perantauan itu, ia jarang sekali duduk manis di rumah untuk sekadar menyapa atau apalagi bercengkerama dengan saya. Ah, seandainya itu terjadi, pasti mampu meluluhkan hati saya. Namun, hanyalah angan-angan yang terurai jelas di depan pelupuk mata ini.
Sebangunnya di pagi hari, meskipun sarapan telah terhidangkan untuknya, tetapi tanpa mengisi perut terlebih dahulu, ia langsung pergi ke sawah untuk menyapa anak-anaknya—cabai merah, tomat, kacang panjang, dan terong ungu. Hanyalah seteguk kopi hitam yang biasa membasahi tenggorokannya sebelum ia ke luar rumah.
Sampai pada waktunya, tertangkaplah desas-desus di telinga saya, bahwa ia sering ke warung kopi Zubaedah—janda muda anak satu yang ditinggal mati suaminya karena tabrakan antartruk yang salah satunya ia kemudikan. Warung milik Zubaedah itu memang berada persis di sebelah barat sawah yang ia garap.
Persisnya lagi, berada di desa sebelah. Dengan demikian, sekiranya maklum apabila saya tak melihat sendiri secara langsung kejadian itu.
Tak termungkiri, bahwa warung kopi Zubaedah banyak digandrungi selain oleh laki-laki juga perempuan yang tak jarang mampir ke warungnya. Katanya kopi hitam dan gorengan buatannya enak. Lagi pula harganya pun murah. Gorengan satu lima ratus perak dan secangkir kopi hitam siap seduh hanya dua ribu lima ratus.
Akan tetapi, yang membuat telinga saya bertambah merah ialah bahwa saya telah dicap sebagai seorang istri yang tidak mampu membuat suaminya kerasan di rumah sendiri. Meski saya tak menangkapnya sendiri, hati perempuan—utamanya istri—manakah yang tak tergores jika mendengar ucapan seperti itu.
Semasih belum ia pergi ke perantauan, malamnya kami sempat bertengkar hebat. Dan sayalah yang ia jadikan sebagai musababnya. Selama hampir tujuh tahun pernikahan kami, saya belum bisa memberinya seorang buah hati. Apalagi sejak setelah berjalan dua tahun, ia selalu dan terus menuntut saya untuk bisa hamil.
”Sar, aku mau ngomong sama kamu, tapi kamu jangan sakit hati, ya,” kata Bu Yuyun ketika saya sedang belanja di warungnya. Saya hanya mengangguk, lantas ia pun meneruskan. ”Aku denger banyak orang lagi ngomongin dirimu. Apalagi warga sebelah. Mereka bilang kalau kamu tak bisa menjaga dan mengurus Husin dengan baik.”
Saya terus menyimak dengan wajah yang saya setel seserius mungkin untuk menutupi kobaran api di hati saya. Dan, Bu Yuyun pun masih tampak asyik dengan perbincangannya ini, sehingga ia tak lekas menyudahinya.
”Kamu tahu sendiri kan, Sar? Siang, sore, malam, Husin, suamimu itu, selalu ke tempat Zubaedah. Bukannya aku kenapa-kenapa, sebagai tetanggamu aku perlu mengingatkan bahwa Zubaedah itu seorang janda. Lagi pula dia juga masih muda.”
”Iya, Bu, terima kasih atas perhatiannya.”
Selepas menyerahkan uang kepadanya pun, tanpa berbicara apa pun lagi, saya langsung pamit.
Untung saja, desau-desau itu lekas hilang bertaburan terbawa angin. Pun tiada kicauan-kicauan tak enak hati lagi yang harus saya terima dengan dada sesak. Dan yang terpenting ialah sudah tiada lagi orang yang membicarakan kemelut rumah tangga saya ini.
***
Satu per satu hidangan mulai saya siapkan di meja makan. Ada ikan gurame goreng bersama lalapan—irisan mentimun, daun kemangi, kol mentah dan goreng, juga tak lupa ditemani sambal terasi. Dan yang tak boleh ketinggalan ialah nasi uduk yang nantinya ditaburi dengan bawang goreng yang banyak. Itu semua salah satu makanan yang paling ia sukai.
Saya teringat betul waktu malam perjodohan. Di meja makan, ibunya mengatakan bahwa Mas Husin suka sekali dengan ikan gurame, apa pun jenis olahannya. Sejak itu pun saya catat sungguh-sungguh yang disampaikan oleh ibu mertua saya itu. Hari ketiga setelah sah menjadi istrinya, saya mencoba mengeksekusi petuah ibu Mas Husin. Benar-benar mujarab, saat itu ia makan begitu lahapnya, bahkan sampai tiga kali menambah nasi. Menyaksikan ia begitu lahapnya, perut saya pun serasa sudah penuh sendiri.
Oleh karena perjodohan itu pulalah saya masih kuat berdiri mendampinginya. Selain itu, ia pun tak pernah mengeluarkan kata talak dari mulutnya walau segenting apa pun percekcokan yang sedang mendera kami. Pun ia masih dan tetap menjamah tubuh saya walau ia tahu saya belum bisa memenuhi keinginannya.
Tidak setiap hari saya menyiapkan menu seperti itu, bahkan bisa dihitung jari. Dan ini untuk pertama kalinya setelah sekian lama saya tak menyuguhkan makanan kesukaannya. Ah, saya sudah tidak sabar menunggunya sampai di rumah dengan oleh-oleh yang katanya bisa menjadi teman saya. Ia akan sampai rumah siang atau paling telat sore, sudah sampai rumah.
Sembari menunggu kepulangannya, saya pun membersihkan badan yang seharian berkutat dengan dapur ini. Wajah saya bahkan barangkali lusuh dan kusam oleh minyak yang semakin menebal. Selepas membersihkan tubuh, saya pun mengenakan pakaian yang dulu saya kenakan waktu malam perjodohan itu, baju renda-renda berwarna putih dengan motif bunga-bunga dan rok hitam berwiru.
Bukan hanya Mas Husin yang bisa memberi kejutan, saya pun demikian. Dengan dandan sederhana—menyapukan bedak tipis-tipis dan meronakan bibir dengan warna merah marun, dan berbusana seperti ini, saya harap bisa menjadi pelepas kepenatannya selama di perjalanan.
Waktu sudah berlalu sekitar enam jam sejak kesibukan saya di dapur tadi. Namun, kabar terakhir yang saya terima ialah tidak berubah, yakni dini hari tadi waktu ia memberi tahu bahwa akan sampai rumah siang ini. barangkali ia akan tiba setelah waktu tengah hari berlalu. Kendatipun saya mencoba untuk menenangkan diri, tetap saja kerisauan terus berkecamuk dalam diri saya.
Telapak tangan dan kaki saya bahkan sampai mengeluarkan keringat dingin.
Ketaktenteraman yang sedang saya hadapi ini pun pada akhirnya menjadikan saya mondar-mandir tak keruan jelasnya. Sedari tadi menungguinya di meja makan, sekarang saya pindah ke sofa depan televisi. Masih tak tenang, saya menyalakan televisi untuk mengusir kecemasan ini. Namun, ketika televisi sudah hidup, suara di dalamnya justru berdenging seperti lebah yang memekakkan telinga.
Saya matikan televisi lantas beralih ke ruang tamu. Terbengong-bengong, saya duduk di ruang tamu ini menanti kedatangannya. Sesekali saya juga melirik jam yang menempel di dinding. Sudah lepas tengah hari rupanya. Oleh sebab saya tak sabar melihat kemunculannya, saya berpindah ke teras. Namun, baru saja saya keluar pintu, matahari yang sedikit condong ke barat menerpa teras rumah.
Dengan membiarkan pintu tetap terbuka, saya pun kembali duduk di ruang tamu. ”Tik, tik” detik jam kian menghantam kegundahan hati saya. Namun, bersamaan dengan itu remang-remang kudengar suara seorang laki-laki mengucap salam.
”Waalaikum salam,” balas saya seraya menuju pintu menyambut suara itu.
Seorang lelaki yang sedang berada di hadapan saya ialah orang yang kunanti seharian dengan penuh kegelisahan. Namun, saya tidak tahu siapa gerangan perempuan yang berada di sebelahnya. Perempuan yang seusia dengan saya dengan balutan busana berwarna senada dengan bibirnya.
Baca juga : Nyonya Betty
”Nensi,” katanya sembari mengulurkan tangannya kepada saya.
”Sari,” jawabku datar dan setengah mematung.
”Masuklah. Aku sudah tak sabar menghirup udara rumah ini,” sela Mas Husin langsung melenggang masuk.
”Sar, sinilah,” ucap Mas Husin menyuruh saya duduk di sampingnya. Lantas ia melanjutkan, ”Karena kau sudah tahu namanya, tak perlulah saya perkenalkan kembali. Saya hanya memberi tahumu, bahwa inilah hadiah untukmu. Kejutan yang tempo kemarin aku katakan padamu. Aku tidak berdusta kepadamu, bahwa ia akan menjadi temanmu.”
Inilah kejutan yang sesungguhnya bagi saya. Saya benar-benar terkejut atas hadiahnya, bahkan sampai tak sepatah kata pun yang mampu lolos dari mulut saya untuk menjawab atau apalagi memprotesnya. Bubar sudah angan-angan indah yang berpendar-pendar di kepala saya. Dan hidangan yang telah kupersiapkan untuk menyambut kedatangannya bagai sia-sia belaka.
***
Kanya Ahayu Ning Yatika Akasawakya atau karib disapa Jeng Kanya, di samping bekerja sebagai penulis cerpen dan novel, ia juga peneliti dalam bidang seni film dan kini menjadi tim redaksi situs web https://monoskrin.com.