Vigili
Dalam kekacauan hati yang tiba-tiba, Frank tua memejamkan kedua mata. Dia membuka pandang, kelahiran Yesus kembali dia kenang.
Malam yang gerah, rembulan yang gelisah, keduanya menemani seorang lelaki tua yang matanya basah. Frank tua sedang membaca tulisan tangan yang berbaris tak rapi pada dinding tahanan yang pengap dan berbau tak sedap. Beginilah tulisan itu: ”Alkisah, ada seorang yang terombang-ambing di atas sampan, sendirian di tengah lautan. Berita buruknya adalah dia tidak tahu ada di mana dan akan ke mana. Sementara berita baiknya adalah dia sendirian.”
Lirih suara batin menghampiri indra yang prihatin. Kesenyapan berganti desau, suara intim yang mustahil didengar orang lain menemani risau. Frank tua mengolah suara itu merasuk hingga ke dalam dirinya dan tanpa permisi sengatan listrik menusuk di dada. ”Diriku, tolong jelaskan padaku, mengapa aku harus merelakan malam ini menjadi pesakitan di dalam tahanan?” Dia berteriak di dalam hati.
***
Hampir tujuh jam sudah, Frank tua berada di sana. Subuh pun mengada setelah malam Natal yang gulita. Kemarin malam, sesaat lepas misa vigili Natal di kapel dekat rumah bersama istri dan anak-anaknya, langit seolah runtuh. Frank tua sudah membayangkan pulang dan berjalan kaki lebih dulu, tiba-tiba pundaknya dirangkul seorang pria asing. Frank tua dicokok olehnya dan dipaksa naik motor bertiga. Dia bingung tidak tahu akan dibawa ke mana dan dia hanya sempat sedikit menawar, ”Tolong tunggulah sebentar, biar istri dan anakku kuberi kabar. Kutakut mereka khawatir.”
Dan senjata api tak terawat di saku celana jins pria itu timbul menjadi petunjuk untuk memecahkan teka-teki akan menjadi seperti apa malam itu. Betul, Frank tua kemudian tiba di sebuah kantor polisi kecil yang letaknya di pusat kota. Kantor polisi kecil itu dekat dengan sekolah anak bungsunya.
***
Dalam kekacauan hati yang tiba-tiba, Frank tua memejamkan kedua mata. Dia membuka pandang, kelahiran Yesus kembali dia kenang. Dia melihat kantor polisi kecil itu berubah menjadi kandang hewan seperti kambing dan sapi. Di tempat di mana sekarang dia terduduk, dia merasa sedang menghadap ke arah palungan dikelilingi rumput yang runduk. Di sana ada banyak sekali gembala, sebagian dari mereka berseragam coklat dengan tanda pangkat dan sisanya berpakaian preman. Dari tutur kata dan laku mereka, Frank tua memandang gembala sebagai makhluk yang polos, tulus, dan hanya menjalankan tugas. Persis sama seperti kebanyakan orang dari miliaran penduduk bumi. Justru karena kepolos-tulusan para gembala pula, Frank tua merasa takut dan semakin takut.
Di kantor polisi kecil itu, dia melihat lelaki pesakitan lain yang juga sedang dikelilingi para gembala. Para gembala tertawa terbahak-bahak, sementara lelaki itu hanya mengitarkan pandang ke mereka kemudian menunduk. Frank tua merasa bahwa mungkin lelaki itu adalah Yusuf, ayah Yesus. Dia bertanya-tanya,
”Lantas, di manakah Maria dan bayi Yesus? Kenapa mereka tidak ada di tempat ini?” Frank tua kembali merasa semakin takut dan takut kemudian tertidur di dalam lelah dan perih yang makin larut.
***
Frank tua terbangun, dan ternyata dia masih di petarangan para gembala. Si lelaki yang dirasa-rasanya sebagai Yusuf juga masih di sana, tanpa Maria dan bayi Yesus. Memikirkan Maria, Frank tua terlintas istrinya yang mungkin tidur sulit karena menunggunya balik. Seorang ibu rumah tangga yang sederhana, setia dan jujur, mungkin tidak akan pernah menyangka bahwa hal buruk seperti ini dapat menimpa ayah dari anak-anaknya. Anak-anaknya pun bisa jadi telah melampaui risau. Berlima mereka berangka,t namun hanya empat dari mereka yang mujur pulang ke rumah. Rumah yang karena kebersamaannya, di waktu-waktu tertentu menjadi lebih tampan sebagai tempat perayaan. Meski tanpa kemegahan dan segala hal yang menandakan kesuksesan hidup pemiliknya, rumah tetaplah rumah. Frank tua merasa sedih dan semakin sedih. Dia mengerang perih dalam batinnya, ”Tuhan, Engkau di mana?”.
***
Braakkk!!! Gembala gempal menuju ke Frank tua, mengguit sangkar pintu tatkala masuk ke situ. Dia menarik paksa Frank tua untuk bangun dan berjalan menuju ruang lain. Di sana lebih nyaman, ada sofa dan pendingin ruangan. Bangkit seorang lelaki wangi yang tangannya berhiaskan gelang-gelang emas menyambut Frank tua. Sepertinya dia adalah kepala gembala karena gembala gempal sangat hormat kepadanya.
Kepala gembala memandangi Frank tua dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tampak olehnya Frank tua yang kini tak bersepatu. Kepala gembala memandangnya remeh. Dia tersenyum sinis pada Frank tua seolah jijik menemukan sesuatu yang semestinya tidak perlu dia ketemukan. Dia menghujani Frank tua dengan beberapa pertanyaan.
Alkisah, ada seorang yang terombang-ambing di atas sampan, sendirian di tengah lautan. Berita buruknya adalah dia tidak tahu ada di mana dan akan ke mana. Sementara berita baiknya adalah dia sendirian.
”Pak Tua, kulitmu legam dan telapak tanganmu kasar. Apa pekerjaanmu? Merampok, mencuri, menggendam?!!”
”Sekarang lihat pula pakaianmu, sudah seharusnya diganti yang baru. Apakah hanya karena miskin, kamu tega menggendam untuk mengambil paksa milik orang lain?”
Frank tua heran, bukankah semuanya sudah dia jelaskan dengan gamblang. Bahwa dia punya pekerjaan dan keluarga yang baik. Bahwa dia bukan ahli gendam sebagaimana dituduhkan para gembala. Perihal fisiknya yang memang seperti buruh kasar, bukankah menjadi buruh kasar juga bukanlah suatu kejahatan? Frank tua memang orang lapangan. Menjadi pegawai konstruksi di perusahaan negara dengan peran sebagai wakil pelaksana utama adalah sumber nafkahnya bagi keluarga. Hanya karena dia lulusan STM sajalah dia tidak bisa menjadi pelaksana utama. Para insinyur-insinyur sipil muda pun senang berguru kepadanya. Frank tua punya tiga anak yang semuanya sudah sarjana dan sayang padanya: Ajar, Akhlak, dan Adab. Ajar, si sulung, hidup bebas dan berteman dengan banyak intel polisi. Akhlak, si tengah, berhati halus. Adab, si bungsu, baru pulang bertugas dari luar negeri karena ingin lebih dekat dengan Frank tua. Di antara mereka bertiga, si bungsulah yang mengenal baik beberapa pejabat tinggi di ibu kota. Andai saja Frank tua diluluskan untuk menelepon keluar mungkin semua akan jadi lebih mudah.
Karena Frank tua merasa sebelum-sebelumnya penjelasan yang diberinya tidak pernah digubris, maka pertanyaan kepala gembala tidak disambut oleh Frank tua. Dia diam saja. Karena diamnya justru sepatu bot hitam kepala gembala menghantam tulang tibia di bawah lututnya. Frank tua kesakitan, mengaduh sembari menyeka darah dari luka yang baru tercipta. Luka itu menggenapi saki di jempol kakinya yang sudah bengkak diinjak kaki meja. Frank tua tetap diam.
”Hey Pak tua, jangan cuma melamun, bikinlah sesuatu yang lebih berguna, mengakulah!!” teriak gembala gempal kepada Frank tua. Kata-kata itu membuatnya bersijingkat dalam keterkejutan. Kemudian dia mengendur, membuka bibirnya yang juga bengkak di bagian atas, menatap lantai-lantai keramik putih yang berlumut di tepian dan menjaga agar tak ada kata yang keluar. Kakinya sakit, pipinya sakit, pun hatinya lebih sakit. Frank tua merasa sedih dan semakin sedih. Dia kembali masuk ke ruang tahanan yang sepi.
***
Pukul satu siang, sudah enam belas jam Frank tua di kandang hewan ternak itu. Berlama-lama bersama para gembala, Frank tua masih melihat si lelaki yang dirasa-rasanya mirip Yusuf, namun tidak ada Maria dan bayi Yesus. Dia merasa sosok mirip Yusuf tersebut sungguh hadir seperti orang kebanyakan, persis sepertinya.
Frank tua merasa sangat lapar dan haus. Namun, dia enggan meminta air pada gembala. Dia hanya membayangkan betapa dahaganya akan digantikan oleh kelegaan seperti bayi baru lahir yang menyusu pada buah dada perempuan yang adalah ibunya. Frank tua bersyukur tidak melihat Maria dan bayi Yesus di tempat itu. Dia berpikir, mungkin ibu dan anak lebih tak bisa dipisahkan, maka biarkan saja ayahnya yang menapak dengan kaki telanjang di atas terjalnya dunia. Yusuf, ayah Yesus, adalah tukang kayu. Bisa jadi karena dia pekerja kasar, maka para gembala juga menyangkanya sebagai perampok.
Memikirkan bahwa istri dan anak-anaknya saat ini sedikit lebih nyaman dibanding dirinya, Frank tua menjadi tenang. Dia melatihkan hatinya untuk sumeleh, meletakkan seluruh rasa susahnya dan hanya ingin menggantinya dengan rasa syukur atas berkat-Nya. Frank tua menjangkakan kedua tangannya membentuk citra sayap dan berkata: ”Sekarang adalah hari-Nya, vigili telah bersulih menjadi raya. Aku serahkan semua kepada-Mu, Tuhan. Hari ini adalah hari raya dan ajari kami untuk mensyukuri bahwa sekaranglah waktu untuk merayakannya. Tuhan, aku tidak pernah sendirian, aku merayakan bersama-Mu, Tuhan”. Sekarang dia telah lega.
Ketika Frank tua sudah memutuskan untuk membiarkan hatinya gembira di hari raya itu, segala di luar dirinya menjadi tampil dalam wajah berbeda. Frank tua pun merasa kembali menjadi dirinya. Mentari terik di tengah hari dirasakannya hangat dan rasa lapar serta haus yang mendera dirasakannya sebagai bentuk laku pantang. Baginya, semua derita hanya sarana untuk menisbikan diri, tak lebih dan tak istimewa. Dia percaya jika dia tak sendirian, Gusti boten sare, dan istri serta anak-anaknya pasti akan bisa menemukan dan membebaskannya dari tuduhan palsu ini. Dan segala percaya berubah menjadi nyata.
***
Tak berapa lama, awan membiarkan sinar matahari menembusinya. Ketika jarum jam yang pendek melewati angka satu dan yang panjang di angka enam, seorang gembala lain datang ke kantor itu. Dia yang menyandang tiga bunga melati di pundak-pundaknya terlihat panik, memancarkan sinar mata antara malu dan marah. Dia bergegas mencari kepala gembala di kantor kecil itu dan langsung menjumpainya. Kepala gembala menghormat kemudian menunduk, dia ketakutan. Dia panggil gembala gempal dan mustaka si gembala gempal mengangguk-angguk sangat cepat. Tergopoh-gopoh dia pergi setengah berlari ke warung dekat kantor polisi kecil itu.
Baca juga : Syal Merah Jambu
Gembala gempal pergi dari warung ke ruang tahanan. Dia bawakan roti sobek dan minuman kemasan untuk Frank tua, kemudian memintanya untuk mengenakan kaus kaki dan sepatu juga merapikan kemejanya. Frank tua menikmati rasa perih dari luka-lukanya, vigili telah dijalaninya hingga paripurna. Frank tua merasa semakin tenang dan nyaman dalam menikmati hari raya ini.
***
Sebelum Frank tua meninggalkan kantor polisi kecil itu, matanya mencari lelaki mirip Yusuf namun tidak menemukannya. Kemudian dia meminjam spidol dari gembala gempal. Dia membubuhkan beberapa kata pada tulisan di dinding tempatnya bermalam sejak vigili: ”Alkisah, ada seorang yang terombang-ambing di atas sampan, sendirian di tengah lautan. Berita buruknya adalah dia tidak tahu ada di mana dan akan ke mana. Sementara berita baiknya adalah dia percaya kalau dia tidak sendirian.”
***fin***
Windhu Wee adalah seorang penggemar baca, auditor negara dan doktor ilmu administrasi dari Universitas Indonesia. Segala tulisan berkenaan sastra adalah sahabatnya.