Dosa Seorang Istri yang Tidur pada Pukul 19.00
Sepanjang perjalanan, di antara liku jalan dan kilat daun berkeramas embun, pikirannya selalu dibayang-bayangi tentang suami, surga dan neraka.
Duya mematut wajahnya di cermin; lelah berparam butir keringat dengan latar rambut acak tergerai ke punggung. Sepasang matanya redup dan berkedip lemah. Di lehernya ada bekas gigitan halus warna merah. Sebentar ia raba dengan jemarinya yang kurus. Bahunya yang tanpa lilitan tali kutang menampakkan lekukan tulang, senada dengan tonjolan di bagian atas pipinya yang kian menonjol. Ia merasa dirinya semakin kurus. Tulang-tulang di bagian atas dadanya yang hanya tertutup sarung juga demikian, menegaskan tugas berat seorang istri yang berusaha taat pada suami.
Azan subuh terdengar, Duya lekas gegas ke kamar mandi. Karena selain junub, ia juga harus pergi bekerja pagi-pagi. Sepintas ia menoleh ke arah suaminya yang masih tidur; mendengkur, memeluk bantal. Ia lanjut melangkah melawan irisan dingin.
Selesai salat Subuh, tas tua penuh sobekan yang terbuat dari anyaman lidi siwalan telah ia sesaki dengan peralatan kerjanya. Ada sabit, kapak, batu pengasah, sarung tangan, tali rafia juga sebotol kopi dan camilan. Lalu ia mengikat tas lusuh itu di bagian belakang sepeda ontelnya yang penyok penuh karat.
Sebentar ia kembali ke depan cermin. Mematut wajahnya kembali. Wajahnya yang tirus berminyak, kini sedikit rapi karena rambutnya tersanggul dalam balutan capil pandan yang bundar lebar. Tubuhnya tanpa lipstik dan parfum. Ia abaikan semuanya alami seolah sengaja diserasikan dengan nasibnya sebagai buruh tani. Sisa bau keringat yang sejak kemarin lekat di bajunya ia hidu sebagai lagu hidup penuh makna.
Kadang ia tersenyum, kadang meneteskan air mata. Suaminya masih mendengkur.
”Harus sekeras inikah untuk menjadi istri yang salehah?” gumamnya perih.
Sebagaimana hari-hari sebelumnya, ia senantiasa sabar membangunkan suaminya dengan lembut agar bisa pamit dengan baik. Ia tak bosan dan tak sedikit pun marah meski tangan kurusnya harus berkali-kali mengguncang tubuh suaminya agar bisa bangun. Ia tetap tersenyum meski kadang dibentak oleh suaminya.
Setelah suaminya bangun—meski masih berbaring dan matanya setengah terbuka—ia lalu mencium punggung tangan suaminya itu. Kemudian pamit untuk berangkat. Suaminya menjawab dengan suara serak sambil menguap karena mengantuk, kadang menggeliat seperti tak ada keinginan untuk membuka mata.
”Jangan lupa hari ini kamu harus pulang lebih siang, karena nanti malam Jumat,” suaminya melirik dengan tatap yang didera ngantuk. Duya tak menjawab, hanya melempar senyum dari balik capil daun pandan yang membuat wajahnya hanya bisa dilihat sebatas alis.
”Apa bahan-bahan jamuku sudah kau persiapkan? Telur, madu, pinang muda, dan jahe,” suara suaminya kembali seperti orang mabuk, matanya terpejam dan mulai memeluk guling.
”Sudah siap, Mas,” ia menoleh ke arah suaminya, mengaduk beragam rasa antara malu, lucu, dan diam-diam sedikit enek.
”Bagus. Seorang istri kalau mau masuk surga dan selamat dari neraka ya harus begitu, harus taat kepada suaminya,” sambung suaminya masih dalam keadaan merem. Duya hanya tersenyum kecut, tangannya pelan mulai menuntun sepeda ontelnya ke arah pintu.
Sebentar ia menoleh, suaminya sudah erat memeluk guling dan samar-samar mendengkur kembali. Ia menggeleng, lalu dengan seucap Basmalah, mulai mengayuh sepedanya, menembus jalan kampung yang masih gelap. Rasa dingin semakin menusuk, serasa tandas hingga tulangnya. Sepanjang perjalanan, di antara liku jalan dan kilat daun berkeramas embun, pikirannya selalu dibayang-bayangi tentang suami, surga dan neraka. Ia merasa seorang istri tak berhak menolak dan menyanggah bahkan sekadar bertanya pun tak boleh saat ia sudah berhadap-hadapan dengan suami. Sebab, seolah neraka berada di balik punggung setiap istri.
#
Suami Duya merupakan lelaki pilihan almarhum ayahnya. Hanya dia yang diterima oleh ayahnya dari sekian lelaki yang datang melamar. Kata ayahnya, lelaki itu orang yang pandai ilmu agama, ia bakal menyelamatkan keluarga dari api neraka. Saat itu, sebenarnya Duya masih kurang berkeinginan untuk berumah tangga, karena masih belia dan ingin menikmati masa remajanya dengan belajar. Tapi, ayahnya tetap bersikeras untuk segera menikahkan dia dengan lelaki itu, ayahnya takut si lelaki itu mundur dan menikah dengan gadis lain.
Ayahnya kemudian minta tolong kepada Husna, teman karib Duya, supaya membujuk Duya agar segera menikah dengan lelaki itu. Husna melaksanakan tugas itu dengan segera. Ia bercerita tentang pernikahan yang akan mendatangkan banyak keindahan di dunia dan kelak di akhirat. Bujukan itu tak cukup hanya sekali, Husna selalu mengulanginya setiap kali bertemu dengannya dalam waktu kurang lebih setengah bulan. Hingga suatu hari, ia terpikat dengan bujukan itu, terlebih ketika Husna mengatakan bahwa pernikahan itu adalah ladang ibadah yang memungkinkan seorang wanita bisa mudah masuk surga.
#
Sudah empat tahun Duya menjalin rumah tangga, tapi masih belum punya keturunan dan ia berpikir tak mungkin akan punya keturunan, sebab suaminya melarangnya hamil. Ia selalu disuruh minum pil kontrasepsi secara rutin. Suatu ketika, ia diam-diam pernah telat, tapi saat suaminya tahu, ia langsung marah dan menyuruh Duya supaya tidak sampai hamil. Tangisnya selalu pecah setiap mengingat hal itu, padahal dirinya sangat mendamba seorang anak. Ia ingin rumahnya ramai dengan suara anak-anak seperti rumah Husna.
”Aku hanya ingin bermain denganmu di kamar setiap malam, tapi jangan sampai kamu hamil. Jika keinginanku ini kau tolak, maka kamu akan jadi istri yang durhaka, akan masuk neraka,” suaminya selalu berkata demikian setiap ia mengutarakan keinginannya untuk punya anak.
Duya memendam segala luka jiwanya sendirian, hingga di suatu pagi yang tak disangka, setelah dua tahun tidak bertemu, ia akhirnya bisa mencurahkan isi hatinya kepada Husna. Sepasang mata Husna tak berkedip saat pertama kali melihat keadaan Duya saat itu, tubuhnya kurus, tirus dan berwajah muram.
Husna menganga, jarang merespons kata-kata yang tercurah dari bibir Duya, ia seperti terkejut melihatnya. Husna semakin heran setelah ia bercerita tentang suaminya yang tidak bekerja kecuali hanya mengumbar dalil-dalil agama. Minta jatah tiap malam lengkap dengan racikan jamunya, tapi melarang Duya hamil.
”Begitukah keindahan atau ladang ibadah yang kau maksud dulu, Hus?” tanya Duya dengan suara serak.
Sebentar ia kembali ke depan cermin. Mematut wajahnya kembali. Wajahnya yang tirus berminyak, kini sedikit rapi karena rambutnya tersanggul dalam balutan capil pandan yang bundar lebar.
Husna mengernyitkan dahi dan menelan ludahnya spontan, ia baru sadar jika dari tadi dirinya tercengang. Sebelum menjawab, Husna memeluknya begitu erat seraya menangis. Telapak tangan Husna mengelus punggungnya dengan lembut. Ia tidak menyangka teman karibnya itu akan mengalami nasib seburuk itu. Ia lalu bercerita kehidupan diri dan suaminya, tepatnya bagaimana pernikahan yang sesungguhnya, tugas pokok seorang suami yang sebenarnya. Duya menyimak penjelasan Husna dengan tatap tajam, tapi butiran air dingin terus merembes dari sudut matanya yang cekung.
”Jika suami menafkahi istri secara baik, barulah istri berdosa jika ia tidak mau ketika diajak ke kamar oleh suaminya. Tapi jika suami tidak menafkahi, aku rasa istri berhak menolak,” kedua telapak tangan Husna mengelus pipi Duya. Husna berusaha menembakkan senyum. Tapi Duya merespons senyum itu dengan cucuran air mata.
#
Di balik mukena, mata Duya yang mengantuk berusaha tidak terpejam demi menunggu waktu Isya tiba. Seharian bekerja di ladang membuat tubuhnya begitu lelah. Ia menyiasati sepasang matanya supaya tidak terlelap dengan memandangi potret dirinya yang terpampang dalam perut pigura kuning emas di atas meja; ia bergaun putih, kedua tangannya mendekap serumpun bunga di dada. Pipinya masih kenyal dengan aura wajah jelita menganyam sebentuk senyum di balik kerudung biru.
Itu potret lima tahun lalu, sebelum ia menikah. Bila dibandingkan dengan keadaannya saat ini, jauh sangat berbeda. Kini, dirinya serupa sulur kangkung di tanah cadas; kurus, terlunta dengan segala kekang, tekanan dan ancaman suaminya. Semua itu membuat tubuhnya nyaris tak berdaging. Lekuk tulangnya menyerupai akar belukar yang menonjol ke beberapa bagian permukaan kulit, serasi dengan raut wajahnya yang sering terlihat muram, bermata cekung, redup dan kerap membutirkan cairan bening beserta suara isak, butiran itu melilntas di bibirnya yang kering, berjatuhan ke datar tubuhnya yang sering gemetar.
Baca juga : Alena: Seorang Lelaki dan Bangku Tua
Kesehariannya ia gunakan untuk menyelamatkan diri dari dosa, agar tidak terjerumus ke dalam api neraka—sebagaimana yang sering dijadikan bahan ancaman oleh suaminya dengan dalil-dalil berbahasa Arab—ia rela memanggang tubuhnya di bawah matahari demi mengais rezeki untuk suami, sedang di malam hari harus melayani suaminya dalam kamar tidur meski kadang dalam puncak lelah yang mencekik. Begitulah siklus hidup yang ia jalani setiap hari; siang di ladang, malam di ranjang. Sedang suaminya hanya di rumah, makan, minum kopi, dan merokok seraya terus mencari dalil-dalil agama yang bisa menjerat dia supaya takluk dalam kekangannya atas nama ketaatan.
Malam itu, sesudah salat Isya ia tertidur, wajahnya terlihat tenang dalam lelap, ditimpa cahaya lampu yang agak redup. Hanya beberapa menit dan belum mengurangi rasa ngantuknya sedikit pun, tiba-tiba suaminya membangunkannya dengan kasar sambil membentak-bentak, ia ditarik paksa hingga berdiri tergopoh, menguap dan mengucek-ngucek mata.
”Ini malam Jumat. Seorang istri yang tidur pada pukul 19.00 sepertimu akan mendapat dosa besar. Mestinya kau meracik jamu lalu melayaniku di dalam kamar,” sepasang mata suaminya terbelalak laiknya singa hendak menerkam.
”Ayo cepat ke dapur, buatkan aku jamu. Nanti jangan tidur lagi, kita akan bermain hingga dini hari,” suaminya mengedipkan sebelah mata.
Duya melangkah tertatih ke arah dapur dengan rasa kantuk yang mendera. Berkali-kali ia menguap. ”Jika suami hanya minta jatah di kasur, tapi tidak menafkahi istri dan melarang hamil, apa itu juga tidak berdosa,” pikiran Duya mulai memantikkan gumam pemberontakan.
Saat menyeduh jamu, tiba-tiba ia teringat dengan pil tidur yang sengaja ia pesan kepada temannya tadi siang. Ia mencampurnya dengan racikan jamu itu.
”Selamat tidur wahai nerakaku!” ucap Duya lirih.
Rumah FilzaIbel, 2020
***
A. Warits Rovi lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, dan artikel dimuat di berbagai media nasional dan lokal, antara lain Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, MAJAS, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Indo Pos, Majalah FEMINA, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Bali Post, basabasi.co, Sinar Harapan, Padang Ekspres, Riau Pos, Banjarmasin Post, Haluan Padang, Minggu Pagi, Suara NTB, Koran Merapi, Radar Surabaya, Majalah Sagang, Majalah Bong-ang, Radar Banyuwangi, Radar Madura Jawa Pos Group, Buletin Jejak, dan beberapa media online. Peringkat II Lomba Cipta Cerpen ICLaw Pen Award 2019. Buku Cerpennya yang telah terbit Dukun Carok & Tongkat Kayu (Basabasi, 2018). Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura. Email: waritsrovi@gmail.com.