Alena: Seorang Lelaki dan Bangku Tua
Mereka sudah sedekade bersama. Tapi ketika binar itu meredup tatkala pandang si wanita mengarah pada sekumpulan anak yang bermain bola di lapangan seberang jalan, terkuaklah mereka sebetulnya tidak benar-benar bahagia.
Ada juga yang meminati bangku tua itu selain dirinya. Seorang lelaki muda. Tidak menggeser pandangan dari entah puing asbes atau lelumutan dinding, serasa arca yang kehilangan kemampuan bergerak, pun sekadar intuisi bahwa seorang gadis muda yang berdiri di dekatnya begitu menginginkan kepergiannya.
Tapi keinginan itu tak terjadi, hingga Alena bagai tiada pilihan dan memang harus menegurnya, ”Itu bangku saya.”
Baru lelaki itu menoleh, menghadirkan pandangan aneh. ”Saya baru tiba di kota ini. Tidak tahu ada peraturan bahwa sesuatu di tempat umum bisa menjadi milik pribadi.”
Kau cukup bernyali, batin Alena. Meski di sisi yang berbeda ia tak bisa mengingkari bahwa yang dikatakan lelaki itu benar belaka. Bangku tua yang diakuinya sebagai milik sejatinya adalah bagian dari ruang tunggu di muka bioskop pada masa lalu.
Ketika itu Alena masih SMP. Dari para guru ia curi dengar bahwa bangunan bioskop telah menjadi kontroversi sejak lama. Poster berisi potongan adegan pemain film dengan busana kelewat vulgar sungguh berironi karena lokasinya berdekatan dengan dua gedung sekolah.
Entah apa yang kemudian terjadi, pada suatu hari, plang di muka bioskop tiba-tiba bersih dari reklame. Bangku ruang tunggu tidak lagi diisi oleh muda-mudi yang keluar dari loket antrian dengan karcis di tangan. Pun orang-orang berseliweran di dalam ruangan yang dulunya tampak dari pintu kaca tembus pandang. Semua berakhir begitu saja. Serupa tidak pernah ada sebelumnya.
Hingga pemerintah daerah melakukan pembebasan lahan di kanan-kiri bioskop yang memang berdekatan dengan lokasi taman kota dan hendak memperluasnya. Herannya, bangunan bioskop tidak dialihkan untuk pelayanan publik. Mungkin karena posisinya yang berada di ujung taman. Berdiri rapuh bagai manula yang menunggu tiba waktunya meninggalkan kehidupan dunia.
Bangku panjang besi telah dilumuri karat. Temboknya banyak yang berlubang dan bermetamorfosa dari putih bersih kepada coklat tua. Pun atap, tiang, bingkai pintu, juga kaca, menjelaskan usianya yang purba dengan cara masing-masing. Retak, bersarang laba-laba, ber-anai. Wajar jika tak ada yang memedulikannya, kecuali seorang gadis muda. Setiap sore sampai senja, seusainya jam kerja.
Di ujung taman yang lain, di mana ditumbuhi jenis-jenis bunga, sebagaimana fungsinya sebagai tempat hiburan keluarga, dilengkapilah dengan ayunan, perosotan, tak ketinggalan air mancur. Banyak pedagang makanan dan minuman di sepanjang sisinya sebab berhimpitan dengan jalan ramai.
Karenanya, aneh bagi mereka pada awalnya ketika seorang gadis berwajah keruh membeli sebungkus besar gulali, es lemon, seplastik pentol kuah dengan sedikit sambal dan kecap, lalu membawanya jauh ke sudut taman yang berbeda, sudut yang sepi. Terlebih dengan bangunan bioskop yang hampir seperti runtuh, sungguh menopangnya sebagai tempat mengubur jasad orang mati.
Cantik-cantik gila, kata abang gulali.
Ah, tidak rasanya. Mungkin ia seseorang yang sedang mencari ilham dengan kesendirian, timpal abang cilok dengan koran di tangannya yang ketika itu tiba pada halaman puisi. Pandangannya terpaku pada kata ’obituari’. Ia ingat berita tempo hari. Dunia sastra berduka bersebab kepergian penyair sepuh yang melegenda.
Alena berlalu menuju si bangku. Tak penting baginya dunia dengan segala sudut pandang mereka. Awalnya ia hanya bermodal perasaan heran, bagaimana sebuah bangku bisa begitu melenakan. Apa keistimewaannya hingga ada yang begitu tergila-gila padanya?
Itulah awal kebersamaan Alena dengan bangku tua sudut taman kota. Sebuah tempat yang memberinya kebebasan bercerita tanpa khawatir ada yang akan bosan mendengarkannya. Karena memang tak ada siapa-siapa di sana. Mulailah ia menasbihkan dirinya sebagai pemilik bangku. Sebelum kemudian muncul lelaki itu. Dengan kamera tergantung di lehernya. Puing-puing bioskop itu memang cukup artistik. Mungkinkah ia datang dengan kepentingan untuk mengabadikannya dalam sebuah lensa?
”Bagaimana kalau kita berbagi saja,” tawar lelaki itu tiba-tiba, setiba-tiba menghilangnya dari kepala Alena akan bayangan bangku di belakang rumahnya.
Pandangan memohon lelaki itu, nyatanya berhasil mencairkan kebekuan Alena. Baginya tak apa berbagi bangku yang sama, terlebih setelah lelaki itu berjanji tidak akan terganggu dengan kebiasaannya bercerita. Belakangan ia bahkan mulai menimpali.
”Ia punya istri yang setia dan lembut hatinya.”
”Tapi ia juga punya dua orang tua yang sudah senja,” kata lelaki itu, menghadirkan pendar-pendar kecewa di wajah Alena. Apakah rata-rata begitu jalan pikiran lelaki?
Mereka tak bicara apa-apa lagi sampai senja kemudian tiba dan Alena harus buru-buru pulang dengan lebih dulu mampir ke bangku belakang rumahnya. Sudah seharian seseorang menanakkan pantat di atasnya.
”Dia belum kembali. Mungkin sebentar lagi. Ayo kita masuk dulu. Angin malam tidak baik untuk kesehatan,” bisik Alena lembut sambil menggamit lengan keriput mendaki tangga beranda.
***
Mereka sudah sedekade bersama. Tapi ketika binar itu meredup tatkala pandang si wanita mengarah pada sekumpulan anak yang bermain bola di lapangan seberang jalan, terkuaklah bahwa mereka sebetulnya tidak benar-benar bahagia. Kata-kata seorang lelaki dengan jas putih pada ia dan suaminya, terkadang bisa menenangkannya, ”Anda berdua tidak ada masalah apa-apa. Mungkin hanya belum waktunya saja.”
Tapi tidak dengan kata-kata mertua perempuannya pada sebuah mudik lebaran beberapa waktu silam. ”Kami berdua sudah semakin tua.” Mertua lelaki mengangguk-anggukkan kepala. Ia dan suaminya menunduk saja.
Sejak saat itulah, suaminya mulai sering beralasan ditugaskan ke luar kota oleh kantor tempatnya bekerja. Terkadang dua minggu sekali. Bahkan pernah seminggu sekali, selama tiga hari. Ponselnya sering sulit dihubungi. Maka ia tak bisa segera menyampaikan pada suaminya ketika suatu hari merasa tidak enak badan dan digenapkan oleh telat datang bulan. Lalu pergi ke dokter sendirian.
”Selamat, Nyonya,” kata lelaki berjas putih dengan wajah begitu terharu. Seolah ia adalah suaminya atau mertua lelaki yang dulu mengangguk-anggukkan kepala.
Beberapa bulan kemudian, wanita itu dikaruniai seorang bayi perempuan. Suaminya begitu bahagia. Pun kedua mertua andaikan mereka masih ada di dunia. Sayangnya maut tak mau sedikit saja memberi kelonggaran waktu. Tak apa, mereka juga pasti ikut bahagia di atas sana, hibur suaminya.
Dan ulah waktu atas perasaan bahagia adalah seolah mempercepat perputarannya. Gadis kecil itu seperti disulap dan bukannya berproses ketika tiba di usia lima. Wanita itu direpotkan oleh begitu banyak tanya dan ia selalu berusaha menjawabnya dengan wajah ceria. Berbeda dengan suaminya yang justru menjawab dengan tatapan sendu ketika gadis mereka bertanya, ”Kenapa Papa tidak ada saat aku berulang tahun?”
Pertanyaan itu pula yang sebelumnya pernah dilontarkan si wanita dan suaminya diam saja. Barisan pesan yang masuk ke ponsel suaminya beberapa waktu kemudian dan tanpa sengaja terbaca olehnya, ia anggap sebagai jawaban itu. Perempuan di ujung sana dengan membawa kabar tentang seorang bocah di kondisi membaik. Dan artinya, ketiadaan suaminya adalah dalam rangka menunggui bocah tersebut yang ketika itu sedang sakit.
Ia menunjukkan pada suaminya perihal pesan-pesan itu dengan mata berkaca-kaca. Suaminya menunduk sambil berkata, ”Sebagai semata wayang, aku tak sanggup menolak keinginan orang tuaku. Mana aku tahu bahwa setahun kemudian kamu juga akan berbadan dua. Aku telanjur menikahinya dan seorang buah hati telah hadir karenanya.”
Sejak saat itu, wanita tersebut tidak lagi suka memasak, bernyanyi, bercengkerama dengan gadis kecilnya. Yang disukainya adalah duduk berlama-lama. Pada bangku di tepian jendela, ia menyarangkan semua sakit, luka, dan kecewa. Awalnya hanya berupa gerakan diam sambil sesekali menyeka air mata. Lama-lama diajaknya bicara juga almari kaca, meja kamar, cericit burung di luar bingkai kayu.
Dan ketika dirasanya beban itu tak lagi dapat ditanggungnya, tangan gadis kecil itu digamitnya pada sebuah hari melewati ambang pintu, ”Kita akan pergi ke tempat yang jauh, Nak.”
Tapi nyatanya, di tempat yang baru, nyaris tak ada yang berubah dari wanita itu. Ia semakin sibuk dengan bangku. Bicaranya semakin tak tertata. Sampai lupa waktu. Sampai lupa siapa dirinya. Alpa bahwa gadisnya telah beranjak dewasa. Tanyanya selalu sama di ujung senja, ”Apakah Papa-mu sudah pulang, Nak?”
Ingatan wanita itu terhenti pada masa-masa penuh romansa ketika duduk termangu di bangku beranda jelang kepulangan suaminya dari bekerja.
***
”Hari ini tepat dua bulan kita bertemu,” kejut lelaki itu.
”Kamu menghitungnya? Adakah pesta perayaan?” Alena tertawa.
”Sebuah pengakuan. Entah apakah itu bisa disebut perayaan.”
Ada yang menguncup di hati Alena.
Baca juga: Rindu Tak Mati Mati
”Ini tentang lelaki yang selalu kamu ceritakan. Sebenarnya ia tidak benar-benar bahagia dalam kehidupannya. Ia masih sering datang ke rumah kalian, berharap kau dan ibumu tiba-tiba pulang lalu mau diajak memperbaiki semuanya.”
Mereka sedang berada di bangku tua. Seperti biasa.
”Setahun lalu lelaki itu meninggal dengan sebuah pesan pada anak lelakinya untuk terus mencari istri dan anak perempuannya, memintakan maaf sekaligus menyampaikan jumlah rindu yang demikian menyiksanya.”
Ada yang tak sempurna tumbuh. Dari kuncup langsung layu dan jatuh.
”Itulah alasanku berbagi bangku denganmu waktu itu,” tutup lelaki itu.
Tidak seperti biasanya yang menunggu senja, kali ini Alena buru-buru pulang. Tidak pula berjalan dengan langkah ringan, wajah terang, selayaknya baru meletakkan beban. Melainkan berlari kencang dengan mata basah dan hati patah. Ia ingin segera menemui seseorang di bangku belakang rumahnya untuk mengatakan, ”Dia tidak akan kembali, Ma. Papa sudah pergi jauh dan Mama tidak perlu lagi menanti kepulangannya.”
***
Pasini, berdomisili di Ngawi. Mitra BPS Kabupaten Ngawi sebagai tenaga entry data. Menulis cerpen yang termuat di sejumlah media cetak dan daring.