Dolop
Sungguh Burdah kapok melakukan hal seperti itu, tapi kini ia ingin berhenti karena mereka sudah mulai bermain fisik.
Hari sudah siang, tapi Burdah tampak masih tidur nyenyak dan ia baru bangun kalau sinar matahari sudah menerobos melalui ventilasi jendela kamarnya. Seperti saat sekarang ini, begitu jidatnya yang berkerut kasar itu kena sinar matahari, ia baru bangun dengan refleks tangannya otomatis menangkis sinar matahari yang menumpahkan cahayanya berlimpah ruah.
”Matahari sialan!” umpat Burdah bersungut-sungut sambil bergegas menuju ke halaman, tapi kemudian segera cepat menyambar handuk di jemuran kawat yang sekali sambar membuat kawat bergetar hingga beberapa pakaiannya yang dijemur berjatuhan.
Burdah menyumpah-nyumpah, tapi hanya bisa ngedumel, marah-marah sendiri. Di tempat kosnya sudah tak orang lain, kecuali ia sendiri yang sesiang itu masih belum berangkat kerja. Tak ada orang yang bisa dijadikan pelampiasan. Kecuali membentak kecoa yang tampak masih menikmati dedak kopinya sisa begadang semalam, yang sekali bentak kecoa itu langsung lari terbirit-birit. Setelah itu, ia buru-buru memakai baju dan kemudian langsung bergegas untuk cepat-cepat berangkat kerja.
Berjalan setengah berlari ke ujung gang, Burdah langsung naik ojek yang cepat mengantarnya sampai ke tempat kerja di seputar pojok pasar. Kalau sedang buru-buru memang ia lebih memilih naik ojek, agar bisa menembus kemacetan jalan Jakarta yang sudah siang masih tetap saja macet parah.
***
Sampai di pasar, Burdah langsung menembus kerumunan orang yang sedang ramai melakukan transaksi jual-beli dengan berpusat pada seorang pedagang yang begitu sangat gencar menawarkan barang dagangannya. Sebenarnya saat pandemi virus korona ini orang tidak boleh berkerumun, tapi tergiur barang dengan ”harga miring” yang membuat orang-orang tidak mengindahkan himbauan pemerintah untuk menjaga jarak.
”Ayo bapak-ibu, jam tangan ini sudah ditawar orang itu seharga tiga ratus ribu, siapa yang berani menawar dengan harga lebih tinggi lagi jam tangan ini akan saya lepas,” ucap pedagang yang memakai masker bergambar tengkorak itu tampak begitu sangat bersemangat memperlihatkan sebuah jam tangan.
Mata orang-orang berkerumun memakai masker pandangannya langsung tertuju pada jam tangan itu. Sebuah jam tangan yang tampak begitu sangat bagus, seperti jam tangan branded merek Rolex, tapi kw alias palsu. Tidak lama seorang ibu muncul dari kerumunan dan langsung mengajukan penawaran harga lebih tinggi, ”Empat ratus, Pak!”
”Nah, ibu itu berani nawar empat ratus ribu,” ujar sang pedagang dan kemudian kembali melemparkan tawaran; ”Ayo siapa lagi yang berani menawar lebih tinggi?”
”Saya berani lima ratus,” tawar salah seorang yang wajahnya hanya timbul-tenggelam di antara kerumunan orang-orang yang begitu sangat penuh sesak berdesak-desakan.
Burdah memperhatikan tawaran demi tawaran itu dengan seksama. Ia tampak memutar otak untuk ikut bursa penawaran jam tangan itu. Tali masker yang dikenakannya semakin dikencangkan agar tidak melorot.
”Enam ratus,” suara salah seorang lagi menawar lebih tinggi. Wajahnya tidak tampak karena saking rimbunnya kerumunan orang.
”Nah, bapak itu berani enam ratus, ayo siapa yang berani menawar lebih tinggi lagi?” sang pedagang masih saja membuka tawaran yang lebih tinggi. ”Ayo dong, siapa berani menawar harga lebih tinggi.”
Ibu yang tadi menawar empat ratus itu sepertinya tak mau kalah dan kemudian mengajukan tawaran harga yang lebih tinggi lagi, ”Saya berani sembilan ratus, ayo siapa yang berani lebih tinggi dari harga tawaran saya?”
”Wah jangan menantang begitu dong, Bu,” ujar Burdah kini mulai angkat bicara, ”Saya berani satu juta.”
Tiba-tiba kaki Burdah diinjak seseorang yang sepertinya memberi isyarat untuk mengalah dengan ibu yang tampak sangat royal dengan gelang-gelangnya yang terdengar gemerincing.
”Ok, terakhir siapa yang berani lebih tinggi dengan harga dari saya, satu juta dua ratus,” ucap ibu tampak marah dengan nada suaranya lebih tinggi.
Burdah ingin menawar lagi tapi orang yang tadi menginjak kaki kini begitu telak menyikut dadanya dengan sangat keras! Tentu saja Burdah jadi mengaduh kesakitan sehingga ia kini sudah tak bisa menawar lagi. Napasnya semakin gelagapan dengan memakai masker.
Tiba-tiba kaki Burdah diinjak seseorang yang sepertinya memberi isyarat untuk mengalah dengan ibu yang tampak sangat royal dengan gelang-gelangnya yang terdengar gemerincing.
”Baik, para hadirin semua, sekarang harga tawaran yang paling tinggi adalah ibu itu yang berani menawar satu juta dua ratus,” sang pedagang kali ini memutuskan, tapi masih tetap memberi kesempatan pada lainnya untuk menawar,”Siapa yang berani lebih tinggi?”
Orang-orang yang berkerumun jadi terdiam seperti menunggu siapa yang berani menawar lebih tinggi. Sebenarnya Burdah masih ingin menawar dengan tawaran lebih tinggi lagi, tapi orang yang tadi menginjak kaki, menyikut dada, kini seakan tidak kenal ampun memberinya bogem mentah tepat mengenai perutnya. Bugs!
”Saya hitung sampai tiga, kalau sampai tiga kali tak ada orang yang menawar lebih tinggi maka saya tetapkan ibu itu yang menang dengan tawaran paling tinggi satu juta dua ratus,” ucap sang pedagang seraya mengendorkan maskernya agar ucapannya bisa cetar membahana dan kemudian menyapu pandangan ke semua orang yang mengerumuninya, ”Sa-tu, du-a, ti...ga, baik dengan demikian ibu itu yang berhak memiliki jam tangan ini.”
Sang pedagang menyerahkan jam tangan pada ibu itu, tapi tentu dengan lebih dulu ibu itu yang memberikan uangnya sejumlah tawarannya yang paling tinggi; yaitu satu juta dua ratus. Dengan penyerahan jam tangan itu maka selesailah sudah transaksi tawar-menawar harga jam tangan dan kemudian orang-orang yang berkerumun dengan sendirinya kini membubarkan diri.
***
Orang-orang yang berkerumun sudah membubarkan diri. Tinggal sang pedagang yang tampak begitu sangat gembira menghitung uang hasil transaksinya, juga beberapa orang, termasuk orang yang memberi bogem mentah pada Burdah. Begitu juga dengan Burdah masih saja tetap bertahan dengan dada dan perutnya yang kesakitan.
”Payah ah, Burdah!” umpat orang pemberi bogem mentah menyumpah-nyumpah. Maskernya dibuka hingga tampak kumis jamblangnya mencuat yang memperlihatkan keangkeran wajahnya. Apalagi matanya melotot-lotot.
”Eit, Toni, kamu yang payah, dari tadi kerjanya hanya diam saja,” ucap sang pedagang tampak membela Burdah dengan melepas masker yang juga menampakkan kumis jamblangnya. Wajahnya keras dan suaranya tegas memberi kewibawaan tersendiri sebagai seorang pemimpin, ”Saya malah salut pada Burdah yang hebat sekali sandiwaranya jadi kita sukses transaksi jam tangan tadi.”
”Hebat apanya,” Toni, pemberi bogem mentah itu, tak mau kalah mengajukan alasan sambil mengibas-ngibaskan maskernya, ”Kalau tidak saya bogem mentah, Burdah pasti akan mengacaukan transaksinya.”
Saya malah salut pada Burdah yang hebat sekali sandiwaranya jadi kita sukses transaksi jam tangan tadi.
”Burdah, betul begitu?”
Burdah mengangguk tapi kemudian protes, ”Tapi bogem mentahnya kok benar-benar sungguhan jadi aku masih merasakan sakit sekali dada dan perutku.”
”Sudah, sudah, kalian jangan saling menyalahkan. Sekarang pembagian hasil, jam tangan ini harga sebenarnya empat ratus jadi kita untung delapan ratus.” Sang pedagang mulai mengadakan hitung-hitungan pembagian hasil, ”Empat ratus buat saya yang punya modal dan jadi pedagangnya, kalian berempat jadi saya bagi rata semuanya masing-masing seratusan.”
Burdah protes, ”Saya minta tambahan untuk beli obat dong karena dada dan perutku masih sakit sekali.”
”Itu sudah resikomu sebagai dolop.”
”Tapi Bos....”
”Eit, sudahlah Burdah...,” pedagang yang dipanggil Bos itu tampak sekali pintar bicara, ”Lagian kamu parah sekali hari ini berangkatnya siang sekali, jadi kamu tidak tahu kesepakatan kita hari ini dan memang tadi kamu nyaris mengacaukan transaksi jam tangan, makanya Toni memberi pelajaran sama kamu dengan bogem mentah itu.”
Pada akhirnya Burdah memang harus menerima uang seratus ribu itu sambil tetap masih mengaduh kesakitan.
”Toni tolong jelaskan kesepakatan kita!” sang bos memberi perintah.
”Nggak usahlah, Bos, bogem mentah itu tentu sudah lebih dari cukup,” ucap Toni tampak malas bicara dan karena badannya kekar lebih suka bicara dengan bahasa fisik.
Karena dada dan perut masih terasa sakit sekali, Burdah pun buru-buru pulang meninggalkan mereka. Burdah tak peduli kesepakatan apa yang akan diucapkan Toni, karena yang pasti ia bukan saja sakit fisik, tapi juga sakit hati. Dalam hati, Burdah tiada henti menyumpah-nyumpah.
***
Pulang ke kos, Burdah tampak masih terasa sakit dada dan perutnya. Ia menjadi terpikir untuk berhenti saja menjadi dolop. Sebuah pekerjaan yang berkomplot untuk menipu orang-orang kecil yang tak berdosa. ”Kecuali mungkin kalau para pejabat besar yang korupsi uang negara milyaran,” Burdah kecut membatin dalam hati sendiri.
Sebenarnya pikiran untuk berhenti menjadi dolop sudah berulang kali tebersit di benaknya. Tapi sampai sekarang belum berhenti juga.
”Sungguh aku merasa dungu sendiri. Sebagai seorang sarjana, aku malah dibohongi mereka yang tidak berpendidikan,” bisik Burdah dalam hati menyesali diri.
Burdah yang lulus kuliah karena dibujuk saudaranya yang menjadi pejabat dengan diiming-imingi langsung akan mendapat pekerjaan. Maka ia pun lulus dan begitu lulus langsung mendapat pekerjaan. Tapi tidak lama bekerja ternyata saudaranya terlibat kasus korupsi sehingga kemudian dipecat dengan tidak terhormat dan setelah itu masuk penjara, sehingga ia pun mendapat getahnya turut dikeluarkan dari pekerjaan.
Pada awalnya Burdah tertipu mereka dengan membeli barang yang harganya jauh lebih tinggi dari harga sebenarnya karena terjebak tipu daya dolop yang menyamar jadi pembeli dengan menawar harga tinggi-tinggi. Padahal, itu hanya sebagai strategi untuk menaikkan harga lebih tinggi. Lama menganggur Burdah ditawari mereka untuk bekerja menjadi seorang dolop, menjadi seorang penipu berkedok pembeli.
Pada awal bekerja sebagai dolop, Burdah menyasar untuk menipu ibu-ibu pejabat yang suaminya bekerja hanya menghabiskan uang rakyat. Burdah mulanya belajar menjadi dolop pada Toni yang lebih dulu bekerja menjadi dolop, tapi kemudian Burdah yang memang sarjana itu tentu kemampuan berpikirnya jauh melampaui Toni. Tapi lama-kelamaan karena sasaran mereka bergeser pada siapa saja yang bodoh dan bisa untuk dibodoh-bodohi yang kemudian membuat Burdah muak dan ingin berhenti menjadi dolop. Karena Burdah tidak tega pada masyarakat bawah yang sudah susah dibuat semakin susah.
Tapi sebelum berhenti, Burdah ingin membuat mereka sadar dengan cara membuat mereka rugi besar. Tapi tampaknya itu tak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Karena ia pernah mengalahkan orang yang menawar harga dengan harga sangat tinggi, tapi rugi besarnya ternyata dibebankan hanya pada dirinya.
”Burdah sialan!” umpat bos menyumpah-nyumpah, ”Orang sudah menawar harga sangat tinggi, kok ditawar dengan harga lebih tinggi lagi. Memangnya kamu punya uang sebanyak itu? Maka dari itu saya anggap kamu berutang besar sebesar harga tawaranmu yang pembayaran utangnya dengan pemotongan bayaranmu setiap pembagian hasil. “
Sungguh Burdah kapok melakukan hal seperti itu, tapi kini ia ingin berhenti karena mereka sudah mulai bermain fisik. Namanya juga preman selalu bicara dengan fisik alias kekerasan. Sebenarnya Burdah memaklumi karena mereka tidak berpendidikan jadi bahasa mereka memang adalah bahasa fisik. Tapi hanya Burdah yang sering dapat perlakuan fisik. Seperti tadi pagi yang baru saja ia alami dengan bogem mentah di perutnya yang begitu sangat menyakitkan.
Orang sudah menawar harga sangat tinggi, kok ditawar dengan harga lebih tinggi lagi. Memangnya kamu punya uang sebanyak itu? Maka dari itu saya anggap kamu berutang besar sebesar harga tawaranmu yang pembayaran utangnya dengan pemotongan bayaranmu setiap pembagian hasil.
Tiba-tiba seekor kecoa terbang dan langsung mendarat di jidat Burdah membuatnya tersadar dari lamunan. Serta-merta ia langsung menangkap kecoa itu dan kemudian melemparkannya jauh-jauh keluar dari kamarnya.
”Kecoa sialan!” umpat Burdah menyumpah-nyumpah karena kecoa pipis di tangannya.
Rencananya Burdah hari ini akan tidur sore dan tidak begadang lagi agar besoknya bisa berangkat kerja pagi-pagi sekali. Ia ingin tahu bagaimana mereka melakukan kesepakatan agar ia tidak diberi bogem mentah lagi. Bahkan ia ingin membalas bogem mentah pada Toni.
***
Besoknya, Burdah sudah bangun pagi-pagi sekali. Meski ia masih merasakan sakit di perutnya tapi ia tetap berangkat kerja pagi-pagi sekali. Sebelum berangkat, ia masih sempat makan nasi uduk di warung Mbok Jum dan kali ini tak perlu naik ojek karena memang masih pagi jadi ia jalan kaki pergi ke tempat kerjanya di pasar. Hari itu ia bertekad akan mengakhiri pekerjaannya sebagai dolop. Sebab ia sudah sangat muak kerja berkomplot sebagai dolop yang sudah banyak menipu masyarakat.
Sesampainya di pasar di tempat biasa Burdah kerja sebagai dolop tampak suasananya masih sepi. Tidak ada orang-orang yang berkerumun. Burdah tampak bangga karena biasanya dia berangkat siang, tapi kini bisa datang pagi-pagi sekali. Bosnya, Toni, dan teman-temannya sesama dolop juga belum tampak di sana. Tanah lapang pojok pasar itu benar-benar sepi. Mungkin mereka sudah sudah sadar menurut himbauan pemerintah untuk tidak berkerumun agar dapat memutus penyebaran virus korona.
Baca juga: Setelah Perang di Pulau Galang
Ditunggu sekian lama mereka belum juga datang. Ketika Burdah sedang berpikir macam-macam tentang mereka, tiba-tiba datang seorang ibu-ibu yang kemarin membeli jam tangan. Burdah tentu saja senang sekali bertemu lagi dengan ibu pembeli yang tampak royal itu.
”Waktu yang tepat saya bisa mengakhiri mereka,” bisik Burdah dengan menebar senyum penuh keramahan kepada ibu itu.
”Bapak yang bernama Burdah?” tanya ibu itu.
”Ya, benar sayalah orangnya yang bernama Burdah.”
”Anda ditangkap,” ucap ibu itu dengan langsung memborgol tangan Burdah dan kemudian menerangkan, ”Saya adalah polwan yang kemarin menyamar jadi pembeli. Saya sudah mendapat laporan banyak dari masyarakat bahwa Anda dan komplotannya sangat meresahkan masyarakat karena menjual barang-barang selundupan. Apalagi kalian bandel membuat aktivitas jual beli membuat orang-orang berkerumun tentu sangat berisiko kena korona.”
Burdah sungguh sangat kaget bukan alang-kepalang dan dalam hatinya menebak-nebak tentang kesepakatan yang kemarin akan mereka katakan, apakah sepakat tidak berangkat hari ini karena akan ada penyergapan polisi ataukah bogem mentah itu juga sebagai isyarat agar dirinya tidak berangkat? Sungguh Burdah tiada henti-hentinya bertanya seiring ia digelandang oleh ibu yang ternyata adalah seorang polwan yang sedang menyamar jadi pembeli itu menuju ke tempat penahanan.
Rencana Burdah untuk benar-benar bisa mengakhiri pekerjaannya sebagai dolop memang kini terwujud, tapi sialnya diwujudkan dengan ia berada di dalam tahanan yang membuatnya merasa sebagai seorang pecundang.
***
Akhmad Sekhu, lahir 27 Mei 1971 di Desa Jatibogor, Suradadi, Tegal. Kumpulan cerpennya: Lelaki Tua yang Lekat di Dinding Masjid (siap terbit). Novelnya: Jejak Gelisah (2005), Chemistry (2018), dan Pocinta (siap terbit).