Setelah Perang di Pulau Galang
Hari ini, matahari sore masih terasa panas. Di depan kamp pengungsianku, aku duduk memandangi puluhan anak Vietnam.
Dingin udara malam menusuk tulang saat kapal yang kutumpangi tiba di sebuah pulau. Malam ini tidak hujan sehingga memudahkan kami—orang-orang yang berada di kapal—menurunkan barang-barang bawaan, tanpa ketergesaan. Aku menurunkan barang bawaan dengan menggigil, meskipun jaket melekat pada tubuhku. Setelah barang bawaan tidak ada yang tersisa, kulihat gerombolan lelaki mendekati kapal itu. Mereka membawa kayu dengan api menyala di ujung. Saat berangkat dari Malaysia menuju pulau ini, aku mendengar perbincangan beberapa orang bahwa kapal akan dibakar begitu sampai di tujuan. Kami diusir dari Malaysia karena dianggap mengganggu masyarakat di sekitar tempat yang kami singgahi.
Dengan membakar kapal, kami tidak mungkin diusir lagi. Aku cukup kagum dengan gagasan mereka. Pengalaman pahit selalu menyisakan pelajaran. Api perlahan membesar, membakar kapal. Aku duduk di atas batu, tidak jauh dari kapal itu, bersama seorang lelaki seumuranku. An Phuc namanya. Matanya yang memandang api tampak seperti cahaya bintang yang memantul di lautan. Pandanganku kembali pada kapal. Api begitu terang menyala. Dari kejauhan mungkin akan tampak seperti matahari yang mulai beranjak dari tidurnya.
”Akhirnya kita terhindar juga dari teror,” kata An Phuc. ”Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika kita masih bertahan di Vietnam. Kemungkinan akan terkurung dalam penindasan.”
Aku membenahi dudukku. Api itu kian membesar.
”Memang kita terhindar dari teror. Aku pun lega bisa mengungsi. Tapi masalah baru sudah menghadang kita, An Phuc,” ucapku.
”Masalah?”
”Ya. Kita tidak akan tahu apakah kita bisa bertahan hidup di sini. Sadar tidak sadar, sesungguhnya kita telah menghampiri ketidakjelasan.”
”Kupikir kita punya seribu cara untuk menghadapi masalah yang sedang menimpa kita. Percayalah, keadaan akan sanggup membuat kita menjadi baja.”
”Kau yakin dengan itu?”
***
Aku benar-benar tidak pernah membayangkan hal ini akan kualami. Aku jauh dari negeri yang telah membesarkanku. Kini di negeri orang tanpa hari-hari depan yang jelas. Peperangan selalu gencar melahirkan masalah-masalah yang pelik. Ada sedikit rasa rindu menyelinap ke relung hatiku. Rindu akan negeriku yang telah berlumur darah akibat pemerintahan Ho Chi Minh yang menginginkan Vietnam Selatan tunduk pada komunis. Perang memang sudah selesai pada 1975, ditandai dengan jatuhnya kota Saigon, ibu kota Vietnam Selatan ke Vietnam Utara. Namun, kutegaskan sekali lagi, masalah-masalah muncul dan mendapat tempat di tahun-tahun setelahnya. Aku tidak mau tunduk pada rezim komunis. Orang-orang semacamku benar-benar merasa terancam jiwanya.
Ya. Kita tidak akan tahu apakah kita bisa bertahan hidup di sini. Sadar tidak sadar, sesungguhnya kita telah menghampiri ketidakjelasan
Aku pergi di antara segenap keterpaksaan dan ingin mencari rasa aman, hingga perjalanan berakhir di pulau ini, sebuah pulau bernama Jemaja—nama itu baru kuketahui pada pagi hari setelah pembakaran kapal pada malam itu. Kini selain masalah kebutuhan pangan, kami terus berselisih dengan penduduk setempat. Adu mulut dengan bahasa yang tidak bisa saling dipahami hingga baku hantam dengan apa pun yang dapat digunakan untuk melukai. Aku juga kerap kali mendengar orang-orang kami yang tewas akibat berjibaku. Beberapa orang kudengar, ada yang menjarah ternak penduduk. Aku tidak menyalahkan hal itu.
Kami sedang dalam keadaan terdesak dan karena aku sering menikmati hasil jarahan yang diberikan oleh orang-orang kepadaku.
Permasalahan semakin kompleks, manakala pengungsi terus berdatangan. Sementara tempat yang tersedia terbatas. Suatu pagi, sebuah kapal besar mendekat. Dari kapal itu keluar orang-orang memakai seragam. Mereka membaurkan diri dengan kami. Orang-orang itu ternyata ditugaskan untuk mengurusi para pengungsi. Orang-orang itu adalah aparat negara dan tenaga kesehatan dari negeri yang kusinggahi. Mereka bilang, akan membantu mengatasi kesulitan yang sedang menimpa kami. Dari situ, aku mengenal seorang lelaki bernama Hanafi, saat aku diwawancara untuk keperluan perpindahan pengungsi ke Pulau Galang. Lelaki itu mengabdi pada organisasi Palang Merah Indonesia. Lelaki yang setiap menatapku, selalu menimbulkan rasa nyaman di hatiku.
Pada 1980, dengan perlahan para pengungsi mulai dipindahkan ke Pulau Galang, sebab Pulau Jemaja mulai padat. Kepadatan itu berimbas pada kurangnya sumber air yang layak—alasan pemilihan Pulau Galang sebagai penampungan pengungsi karena jumlah penduduk tidak banyak sehingga menyisakan tempat yang luas. Ketika aku tiba di Pulau Galang, Pemerintah Indonesia sudah menyediakan kamp-kamp untuk tempat tinggal pengungsi. Sebagian masih dalam proses pengerjaan. Hanafi telah berjanji kepadaku bahwa ia sudah pasti ke Pulau Galang.
***
Hari ini, matahari sore masih terasa panas. Di depan kamp pengungsianku, aku duduk memandangi puluhan anak Vietnam. Ada yang kejar-kejaran. Ada yang hanya duduk-duduk. Ada yang bermain batu. Ada yang bermain boneka. Aku melihat berbagai ekspresi, dari tertawa hingga menangis. Pemandangan itu membuat hatiku teriris. Aku miris dengan anak-anak itu. Dengan usia yang masih cukup belia, mereka harus ikut serta mengungsi, untuk mencari kedamaian. Barangkali sebagian dari mereka tidak tahu maksud dari kepergian itu. Beberapa dari mereka bahkan mungkin menganggap kepergian itu adalah sebuah tamasya atau liburan.
”Orangtua mereka mungkin akan meneteskan air mata, melihat rupa polos anak-anak itu, sedangkan mereka harus berjuang untuk bertahan hidup, memperjuangkan anak-anak mereka,” batinku.
An Phuc muncul dengan membawa dua piring makanan, yang setelah kulihat makanan itu adalah mi instan. Salah satu piring yang dibawanya disodorkan padaku. Aku baru saja makan, kataku pada An Phuc. Untuk mengobati kekecewaannya yang mungkin saat ini menguasainya, aku menerima hidangan itu, lalu kucicipi dua sendok, dan kemudian kuletakkan di sampingku. Aku selalu berusaha untuk tidak membuatnya kecewa. Aku mencintainya. Sudah delapan bulan kami menjalin asmara.
”Kriminal masih saja merajalela, An Phuc. Aku masih sering mendengar papan kayu yang hendak digunakan sebagai pembuatan kamp dicuri oleh orang-orang kita untuk membuat penyekat ruang. Masih sering kudengar juga penebangan pohon. Pertikaian dengan penduduk setempat. Sekarang malah ditambah menjamurnya pemerkosaan yang dilakukan orang-orang kita terhadap sesama. Kapan kedamaian akan berkibar?” kataku.
”Aparat yang dikirim oleh pemerintah Indonesia terus berupaya meredam semua itu. Berpikirlah positif, Doan Vien, keadaan akan menjadi lebih baik seiring berjalannya waktu.”
Pada 1985, aku bisa mulai membenarkan perkataan An Phuc. Memang kriminal masih terjadi. Namun, hal itu sudah jauh berkurang. Bantuan pangan dan logistik terus mengalir tidak henti-henti. Selain itu, untuk memperoleh apa yang kami inginkan, kami melakukan barter. Aku mulai nyaman berada di sini dan tidak pernah lagi mempunyai keinginan untuk kembali ke negeriku. Pemerintah Indonesia masih terus bekerja untuk kami. Kudengar dari Hanafi, untuk mempercepat menyelesaikan permasalahan kami, pemerintah sampai meminta bantuan kepada UNHCR dan berbagai organisasi kemanusiaan dunia yang lain.
”Kandunganmu sebentar lagi akan berumur sembilan bulan. Janganlah terlalu banyak beraktivitas,” ujar Hanafi penuh perhatian. Kami berada di belakang sebuah kamp, agak jauh letaknya dari kamp yang kutempati.
Aku memang sedang mengandung. Beberapa kali aku berhubungan badan dengan An Phuc. Aku tidak pernah merasa diperkosa. Aku tidak pernah merasa rugi. Aku mencintai An Phuc. Selain itu memang aku butuh hiburan di tengah suasana yang membosankan. Kehidupan di Pulau Galang tidak membuat kami banyak melakukan mobilitas.
Kandunganmu sebentar lagi akan berumur sembilan bulan. Janganlah terlalu banyak beraktivitas.
Aku berbicara banyak dengan Hanafi. Sekali-kali kami tertawa. Aku sering menggodanya. Yang kusalut darinya ialah ia tidak pernah menggodaku balik. Mungkin ia mengerti, aku milik An Phuc. Akhir-akhir ini aku jarang bertemu dengannya. Pengabdiannya untuk negara telah menyita banyak waktu. Dari Hanafi, aku mendengar bahwa Pemerintah Indonesia mempunyai target, sepuluh tahun lagi permasalahan pengungsian harus sudah selesai. Artinya kami tidak lagi berada di sini. Padahal, dengan segala keterbatasan, aku telah memperoleh rasa nyaman.
”Apakah masih ada pengungsi yang datang?” tanyaku.
”Apa kau lupa? Aku sudah ditugaskan di sini dan tidak pernah dipindahkan dan aku tidak pernah tahu apa yang terjadi di pulau-pulau lain. Aku juga tidak pernah lagi mengetahui data mengenai pengungsi. Tapi kukira, orang yang mengungsi bisa dikatakan sudah tidak ada,” kata Hanafi. ”Mengapa kau tanya itu?”
”Sekadar ingin tahu.”
Aku mengelus perut buncitku. Hanafi memandang seperti orang yang dirundung bahagia. Seorang lelaki datang. An Phuc. Dari mana ia bisa tahu keberadaanku? Sekilas aku menangkap mata An Phuc, seperti sebilah pisau yang menyayat segumpal daging.
***
Bayiku telah lahir. Ia berkelamin perempuan. Ia lahir di puskesmas yang dibangun tidak jauh dari kampku, untuk mengurusi masalah kesehatan para pengungsi. Untuk sampai ke puskesmas, aku ditolong beberapa tenaga medis yang dipanggil An Phuc. Bayiku sendiri bernama Han Phuc.
Dengan hadirnya seorang bayi, aku menjadi mempunyai kewajiban baru. Setiap ia menangis, kusumpalkan puting susuku ke mulutnya. Aku menyanyikan lagu-lagu, menirukan suara hewan-hewan jinak semacam kucing. Saat aku menatap matanya, aku melihat diriku di sana. Aku tidak merasakan kehadiran An Phuc. Tapi aku tetap bahagia.
Suatu pagi, saat bayiku menginjak empat bulan, aku melamun. Aku teringat dengan Hanafi. Lelaki itu tidak pernah lagi berkunjung ke kediamanku. Aku menerka-nerka keberadaan Hanafi dalam kepala. Mungkin ia sibuk di tempat lain. Mungkin Hanafi sudah selesai bertugas. Aku pun memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain yang kemudian membuatku semakin penasaran dengan keberadaannya.
Maka hari berikutnya, kuputuskan untuk mencari Hanafi, untuk menghilangkan rasa penasaran yang telah menjadi hantu dalam benakku. Aku berjalan di antara kamp yang saling berhadapan, sembari menggendong bayiku. Kuharap bertemu dengan Hanafi di tempat di mana ia bertugas. Belum sampai aku di kediaman Hanafi, ternyata aku sudah bertemu dengannya. Hanafi berjalan berlawanan arah denganku. Aku tersenyum. Kutanyakan kabarnya. Ia baik-baik saja. Aku katakan keadaanku. Bayiku berpindah ke gendongan Hanafi. Ia menciuminya, lalu di suatu detik ia tidak mengangkat ciumannya dari pipi Han Phuc. Melihat pemandangan itu, aku terharu.
Mungkin jika ada yang mengetahui apa yang telah kulakukan, orang-orang pasti akan mengutukku. Sejak kehadiran Hanafi dalam hidupku, kuakui atau tidak, perasaanku kepada An Phuc perlahan mulai berubah. Anak yang berada di gendonganku kini, lebih mirip Hanafi daripada An Phuc. Ya, memang. Setelah kelahiran anak itu, An Phuc mudah marah. Aku tidak tahu persis apa yang membuatnya berubah. Tapi aku menduga karena anak itu. Ia jarang sekali memeluknya.
Baca juga: Tak Ada Jalan Balik ke Buru
Ya. Sesuatu telah terjadi di antara aku dan Hanafi. Sejatinya dua bulan sebelum aku bercinta dengan An Phuc untuk yang pertama kalinya, selama rentang waktu itu, aku tidak datang bulan. Dua bulan sebelum itu, Hanafi-lah yang telah membuatku tidak datang bulan. Hanafi juga tahu, apa yang dilakukan An Phuc padaku—aku bercerita apa adanya. Hanafi tidak sakit hati. Ia tidak peduli, sebab An Phuc tidak memberi efek apa-apa.
Tiga hari kemudian, kudengar dari teman Hanafi, lelaki itu telah tewas, di bagian perutnya terdapat bekas tusukan benda tajam. Air mataku pecah. Padahal, di anganku sudah tergambar kehidupan pada masa mendatang; kami bahagia hidup bersama dengan buah hati. Padahal, aku baru akan mencari cara bagaimana supaya An Phuc tersingkir dari kehidupanku. Ya, demi Hanafi. Hati ini semakin hancur, ketika aparat kepolisian di Pulau Galang berhasil menangkap pelaku penghilangan nyawa terhadap Hanafi, yang tidak lain adalah An Phuc.
Jejak Imaji, 2020
***
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji dan Luar Ruang. Bermukim di Bantul, Yogyakarta. Bisa dihubungi di IG @risen_ridho.