Menjelajah dari Jakarta ke Yogyakarta dengan Mobil Listrik
Ini merupakan bagian pertama dari tiga catatan perjalanan Tim Jelajah Energi dan Vakansi menggunakan mobil listrik dari Jakarta hingga Bali. Tim ingin membuktikan apakah mobil listrik cukup tangguh untuk perjalanan jauh.
Oleh
MELATI MEWANGI, DEFRI WERDIONO
·7 menit baca
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO
Tim Jelajah EV berswafoto di tengah perjalanan Jakarta-Bali menggunakan mobil listrik, Senin (5/9/2022). Tim ingin membuktikan apakah mobil listrik cukup tangguh diajak berjalan jauh, lintas kota, lintas provinsi hingga menyeberang pulau. Tim juga ingin melihat apakah infrastruktur yang ada saat ini mampu menunjang perjalanan jauh tersebut.
Ini merupakan bagian pertama dari tiga bagian catatan perjalanan Tim Jelajah Energi dan Vakansi (Jelajah EV) menggunakan mobil listrik dari Jakarta hingga Bali. Tim ingin membuktikan apakah mobil listrik cukup tangguh diajak berjalan jauh, lintas kota, lintas provinsi hingga menyeberang pulau. Kami juga ingin melihat apakah infrastruktur yang ada saat ini mampu menunjang perjalanan jauh tersebut.
Perjalanan kami menggunakan Hyundai Ioniq 5 tipe Signature Long Range, mobil listrik murni dengan baterai berkapasitas 72,6 kwh yang diklaim mampu menempuh jarak melebihi 400 km saat baterai terisi penuh 100 persen. Perjalanan ini tentu tidak bisa dilakukan dalam satu kali tempuh tanpa henti. Tim tentu akan berhenti di sejumlah titik untuk melakukan pengisian daya. Selama pengisian itu, tim akan menjelajahi beberapa destinasi wisata. Karena itu, perjalanan kami kali ini dinamai Jelajah Energi dan Vakansi.
Cirebon
Perjalanan kami dimulai dari Menara Kompas, di Palmerah, Jakarta, pukul 13.50, Senin (5/9/2022). Dengan posisi awal baterai terisi 97 persen, kami memerkirakan bisa menempuh lebih dari 300 kilometer (km) perjalanan melalui tol.
Saat tombol “Start” ditekan, tak terdengar deru mesin. Keheningan amat terasa jika di dalam mobil tak ada obrolan. Saking senyapnya, hanya terdengar putaran roda selama kami melintasi jalan Tol Cikampek dan Tol Cipali.
Keluar pintu Tol Ciperna, pukul 17.25, daya baterai mobil tersisa 41 persen. Kesempatan ini gunakan untuk berkeliling kota sembari melintasi Alun-Alun Kejaksan, Balaikota Cirebon, dan Keraton Kasepuhan. Perhentian malam itu ditutup dengan menu Nasi Jamblang Bu Fitri.
Para konsumen warung Nasi Jamblang Bu Fitri, Jalan Cipto Mangunkusumo, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (5/9/2022). Nasi Jamblang, salah satu makanan khas Cirebon yang hingga kini masih menjadi primadona baik bagi masyarakat lokal maupun pelancong. Keunikan dan kelezatan sajian nasi terbungkus daun jati dan sambal khas berserta aneka pilihan lauk pauk menjadi ciri utama sajian Nasi Jamblang. Selain itu, suasana warung yang merakyat menjadikan sajian Nasi Jamblang menjadi pilihan layak untuk wisata kuliner di Cirebon.
Nasi Jamblang merupakan salah satu kuliner khas Cirebon selain empal getong. Nasi Jamblang Bu Fitri, jadi salah satu nasi jamblang legendaris di Cirebon. Di sana pengunjung bisa memilih lauk untuk menemani nasi yang dibungkus daun jati itu.
Daun jati membuat aroma nasi lebih menguar. Lauk semur daging, tahu kuah, sate kerang, sate ayam, perkedel kentang, balakutak tinta hitam, tempe, dan hati sapi jadi terasa makin lezat saat dimakan dengan nasi tersebut.
Saefur (65) pemilik warung yang juga suami dari Bu Fitri, malam itu menyambut kami ramah. Ia menuturkan, harga lauk yang ia jual bervariasi mulai Rp 2.000 hingga Rp 10.000 per biji.
Porsi nasi jamblang tak ubahnya seperti nasi kucing. Porsi yang sedikit itu membuat setiap orang bisa menghabiskan hingga lima bungkus nasi. “Setidaknya 600 bungkus tandas semalam, begitupun dengan aneka lauknya,” kata Saefur.
Setelah nasi jamblang mendarat di perut, tim Jelajah EV memutuskan untuk beristirahat. Kami memilih untuk tidur di Hotel Santika Cirebon yang sudah menyediakan fasilitas charging station untuk mobil listrik. Malam itu, indikator di mobil menunjukkan baterai kami tersisa 37 persen dengan total jarak tempuh yang telah dilalui sejauh 232,5 km. Malam itu kami mengisi baterai mobil sekaligus menghemat tenaga untuk perjalanan berikutnya.
Kendaraan listrik yang digunakan tim Jelajah Energi dan Vakansi saat hendak mengisi bahan bakal di SPKLU Hotel Santika Cirebon, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (5/9/2022). KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO 25-9-2022
Semarang
Setelah beristirahat semalaman, badan dan mobil listrik kami jadi lebih siap untuk melanjutkan perjalanan. Di hari kedua ini kami akan menempuh perjalanan sejauh 360 km ke perhentian selanjutnya di Yogyakarta.
Secara teori, perjalanan dari Cirebon ke Yogyakarta bisa kami tempuh dalam sekali perjalanan tanpa henti setelah baterai terisi 100 persen. Namun, demi ketenangan kami memilih untuk singgah di Semarang untuk menambah daya baterai sembari makan siang.
Saat tiba di Semarang, baterai kami tersisa 34 persen. Berdasarkan indikator di layar instrumen mobil, sisa daya tersebut hanya cukup untuk menempuh jarak 119 km. Padahal jarak yang harus kami tempuh untuk sampai Yogyakarta masih 113 km lagi. Selisih jarak tempuh yang sangat tipis ini membuat kami mantap memutuskan berhenti untuk mengecas ulang baterai di Semarang.
Soto yang dihidangkan ke pembeli di Warung Soto Pak No di Jalan MH Thamrin, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (6/9/2022). Kuliner Soto Ayam menjadi salah satu kuliner khas yang layak menjadi wisata kuliner di Semarang. KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO 25-9-2022
Selama 133 menit Tim Jelajah EV mengisi daya di Kantor PLN Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan (UP3) Semarang di Jalan Pemuda. Waktu tersebut kami gunakan untuk beristirahat sejenak dan mengisi perut di Soto Ayam Pak No yang hanya berjarak 400 meter dari Kantor PLN. Saat perut telah terisi, baterai mobil yang semula 34 persen, kini menjadi 70 persen. Ini membuat kami semakin percaya diri mampu menempuh perjalanan hingga ke Yogyakarta.
Setibanya di Yogyakarta setelah melalui rute Semarang-Kartasura-Klaten-Yogyakarta, indikator baterai menunjukkan baterai tersisa 34 persen. “Itu artinya, selama perjalanan 147,2 km dari Semarang ke Yogyakarta kita menghabiskan 36 persen. Itu minus 2 persen dari sisa baterai saat kita di Semarang. Untung kita ngisi baterai di Semarang,” ujar Rony Aryanto Fotografer Kompas yang ikut dalam Tim Jelajah EV.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Pengisian daya kendaraan listrik yang digunakan Tim Jelajah Energi dan Vakansi di SPKLU di Kantor PLN Unit Pelayanan 3 Semarang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (6/9/2022). KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO 25-9-2022
Yogyakarta
Jarum jam menunjuk lepas pukul 21.00 namun ingar-bingar suasana Yogyakarta masih terasa. Sejumlah wisatawan domestik yang didominasi anak-anak muda betah nongkrong di simpang empat, tempat tugu ikonik Yogyakarta berdiri.
Suasana Yogyakarta makin lengkap dengan sajian gudeg Mbah Tjokro yang kami santap di trotoar Jalan Pangeran Diponegoro 77. Seperti gudeg-gudeg lain di Yogyakarta, gudeg Mbah Tjokro sangat bersahabat dengan lidah kami. Bedanya, si empunya menambahkan daun pepaya sebagai campuran nangka muda. Seporsi gudeg lengkap dengan sambal krecek pedas dan ayam kampung tandas dalam sekejap.
Gudeg Mbah Tjokro berdiri sejak 1987 tetapi baru enam tahun terakhir menempati lokasi itu. Yu Kartini (61), sang penjual, mengaku resep memasak gudeg berasal dari mertuanya. Gudeg Mbah Tjokro biasa buka sejak pukul 18.30-24.00. Biasanya, warung dia ramai diserbu pembeli pada Kamis-Sabtu malam. Saat seperti itu, Yu Kartini bisa menghabiskan 100 butir telur, 5 ekor ayam, 1 kilogram (kg) krecek, dan 8 kg beras.
Malam itu, pembeli datang silih berganti. Selain rasa yang nikmat, keramahan pasangan itu sepertinya yang membuat para pembeli datang kembali. Memang salah satu yang dirindukan dari Jogja adalah kehangatan mengobrol sepanjang malam. Syahdu!
Yu Kartini (61) melayani pembeli di lesehan Gudeg Mbah Tjokro di Jalan Diponegoro, Kota Yogyakarta, DIY, Selasa (6/9/2022). Makanan khas Gudeg hingga kini masih menjadi pilihan favorit santapan bagi masyarakat lokal maupun pelancong yang datang ke Yogyakarta. Yu Kartini berjualan gudeg sejak tahun 1987. KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO 25-9-2022
Vakansi di Yogyakarta
Berbeda dengan di Cirebon yang hanya kami singgahi semalam untuk beristirahat sembari mengisi daya mobil, di Yogyakarta kami sengaja menyediakan satu hari khusus untuk berwisata. Omah Petroek dan Candi Prambanan jadi sasaran kami bervakansi di hari ketiga, Rabu (7/9/2022).
Rumah Budaya Omah Petroek terletak di Karangkletak, Dusun Wonorejo, Kelurahan Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Suasana sunyi dan damai muncul dari rumpun bambu yang rimbun, membuat kami betah berlama-lama di tempat ini.
Omah Petroek merupakan sebuah taman budaya yang lengkap dan beragam. Di dalamnya ada, antara lain, Rumah Budaya, Museum Anak Bajang, Kopi Petroek, Perpustakaanne Petroek, Taman Yakopan, galeri seni, dan toko buku. Ciri khas Omah Petroek adalah bambu-bambu berukuran besar yang terletak di sudut. Sepoi angin membuat dedaunan pada bambu itu menari-nari, seolah menyambut para pengunjung.
Suasana bagian depan Omah Petroek, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Rabu (7/9/2022). Tempat rekreasi yang terletak di kawasan sebelah utara Kota Yogyakarta ini memberikan pengalaman seni, literasi, serta suasana hunian yang dekat dengan alam kepada setiap pengunjungnya. KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO 30-9-2022
“Nama Petroek merupakan simbol rakyat. Sosoknya dalam perwayangan dianggap begitu dekat dengan rakyat, merakyat, dan berpikiran terbuka. Senada dengan karakter itu, Omah Petroek ingin menjadi wadah yang menyatukan segala budaya, agama, dan kemajemukan masyarakat,” tutur Pengelola Omah Petroek, Agustinus Yulianto.
Usai puas melihat suasana Omah Petroek, kami meluncur menuju Candi Prambanan. Dari luar pagar, Kompleks percandian Hindu yang berada di perbatasan Kabupaten Sleman, DIY, dan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, itu terlihat megah. Sejumlah wisatawan masih tampak berdatangan meski hari sudah sore.
Salah satu alasan kami berkunjung ke Candi Prambanan ialah tersedianya fasilitas stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) yang sudah tersedia di taman parkir Candi Prambanan. Di sana tersedia fasilitas fast charging dengan daya 60 kilowatt (kW) lengkap dengan dua nozel jenis Chademo dan CCS2.
“Sejak Juli lalu SPKLU ini selesai di-install dan dibangun. Peresmiannya bersamaan dengan SPKLU di Borobudur. SPKLU ini siap dimanfaatkan oleh wisatawan dan masyarakat umum,” kata General Manager Taman Wisata Candi (TWC) Prambanan Jamaludin Mawardi.
Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Komplek Taman Wisata Candi Prambanan, Yogyakarta, Rabu (7/9/2022). Penempatan SPKLU di kawasan wisata juga menjadi salah satu fasilitas ketika menuju konvergensi energi bahan bakar kendaraan. KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO 30-9-2022
Jamal mengatakan, keberadaan SPKLU di kawasan Candi Prambanan merupakan upaya pengelola untuk mendukung konsep pariwisata hijau. Candi Prambanan dipilih karena lokasinya yang berada di antara Yogyakarta dan Solo sehingga bisa dimanfaatkan oleh wisatawan maupun warga Yogyakarta dan Solo yang sudah menggunakan mobil listrik.
“Ke depan fasilitas ini juga akan dilengkapi untuk pengisian baterai bus listrik dan swap baterai untuk sepeda motor listrik. Bus Listrik merupakan program rute mandatory DAMRI untuk beberapa destinasi wisata Yogyakarta-Malioboro-Tebing Breksi-Candi Prambanan-Candi Borobudur,” ungkap Jamal.
Jamal menambahkan, keberadaan SPKLU di Candi Prambanan merupakan semangat untuk mengenalkan energy ramah lingkungan sebagai bagian dari upaya mendukung green tourism. Semangat itu dikobarkan dari destinasi-destinasi wisata andalan.
Menghabiskan waktu di Yogyakarta dan sekitarnya kali ini memang membawa keasyikan tersendiri. Selain berhasil menjawab beberapa keraguan sebelum berangkat terkait bagaimana berwisata dengan mobil listrik—apakah aman dan nyaman—kami juga bisa merasakan atmosfer Yogyakarta.
Yogyakarta tetap seperti yang ditembangkan Kla Project. “Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat…”