Masyarakat Indonesia sangat beragam. Karena itu membuka ruang pendidikan yang inklusif yang memberi ruang perjumpaan ragam kelompok agar terjadi kesempatan saling belajar menjadi utama untuk dilakukan.
Oleh
ANGGI AFRIANSYAH
Β·6 menit baca
DIDIE SW
-
Di platform LinkedIn saya terhubung dengan banyak anak yang dahulu pernah saya ajar di sekolah. Saat ini mereka sudah pada tahap bekerja di berbagai sektor. Dari LinkedIn saya mendapat informasi tentang di mana mereka kuliah, bekerja, pada posisi pekerjaan, ataupun bisnis yang sedang digeluti. Saya juga mengetahui capaian-capaian terkait prestasi di bidang pendidikan maupun pekerjaan. Sebagai orang yang pernah berinteraksi di ruang persekolahan selama dua tahun, saya turut senang dengan berbagai capaian yang sudah diperoleh oleh anak-anak tersebut.
Saya kemudian teringat momen mengajar beberapa tahun lalu. Ketika mengajar, tidak semua anak ini termotivasi untuk belajar dan telaten di bidang akademik. Bahkan di awal-awal mengajar saya merasakan kesulitan untuk mencari pola pembelajaran yang menarik bagi anak-anak kelas menengah atas ini.
Saya bercerita kepada beberapa guru senior, juga rekan guru-guru muda perihal kesulitan saya menghadapi anak-anak di kelas. Salah seorang guru menganjurkan agar saya mencari pola pembelajaran yang menarik hati anak-anak sehingga mereka mau belajar dan mendengarkan secara seksama apa yang saya sampaikan.
Guru tersebut menyampaikan bahwa perlu cara yang tepat untuk memotivasi anak-anak, karena mereka berasal dari keluarga kaya yang tidak pernah merasakan kesulitan secara material. Untuk sebagian besar anak, tanpa rajin belajar pun mereka akan tetap terfasilitasi hidupnya.
Akhirnya saya mengubah pola dengan melakukan lebih banyak mendengarkan, berdiskusi, dan belajar memahami anak-anak secara personal. Dari situ saya mendapat ragam cerita soal gaya hidup, asal usul keluarga, ragam problematika yang dihadapi, juga aspirasi terkait pembelajaran. Ketika saya berupaya memahami mereka, anak-anak pun menjadi lebih tertarik belajar.
Menjadi anak-anak dari keluarga menengah atas merupakan sebuah privilese. Mereka mendapat pendidikan terbaik, guru-guru yang peduli, liburan yang menyenangkan, juga fasilitas pendukung untuk meraih kompetensi yang mumpuni. Meski di sekolah prestasi akademik biasa saja, cultural capital yang mereka miliki tersebut sangat mendukung kompetensi yang mereka miliki ketika mereka mulai masuk di dunia kerja. Tak mengherankan jika anak-anak yang ketika bersekolah dahulu prestasi akademiknya kurang baik, bahkan kesulitan mendapat nilai yang sesuai dengan Kriteria Ketuntasan Minimimal (KKM), sudah bekerja di berbagai bidang dengan sangat baik.
KOMPAS/SUSIE BERINDRA
Siswa SMA di Pematang Siantar, Sumatera Utara mengikuti Pelatihan Jurnalistik di SMA Katolik Assisi, Siantar, Sumatera Utara selama dua hari, 1-2 Oktober 2015.
Reproduksi sosial
Mengapa demikian? Jika merujuk pada Pierre Bourdieu dan Jean-Claude Passeron (1990) dalam Reproduction in Education, Society and Culture disebutkan betapa pentingnya cultural capital, salah satunya kapital linguistik. Anak-anak dari keluarga menengah atas memiliki kesempatan menguasai bahasa lebih baik dibanding keluarga yang kurang mampu.
Kemampuan linguistik tersebut sangat berpengaruh pada kemampuan mengikuti pembelajaran di ruang kelas. Kurikulum yang ada di sekolah memang cenderung memudahkan kelas menengah atas sehingga adaptasi yang lebih ekstra perlu dilakukan anak-anak yang berasal dari keluarga kelas menengah bawah.
Kurikulum yang ada di sekolah memang cenderung memudahkan kelas menengah atas sehingga adaptasi yang lebih ekstra perlu dilakukan anak-anak yang berasal dari keluarga kelas menengah bawah.
Anak-anak dari keluarga menengah atas memang mendapatkan privilese baik akses maupun budaya yang ada di sekolah. Belum lagi jika dipotret secara lebih umum. Ada jaringan keluarga maupun jaringan pertemanan yang terbentuk di sekolah.
Dari segi lingkungan persekolahan, anak-anak keluarga menengah atas akan berkumpul di sekolah yang sama, khususnya di sekolah-sekolah swasta elite. Di sekolah-sekolah negeri unggulan di wilayah perkotaan, meski sudah ada kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi, tetap saja masih berkumpul anak-anak dari keluarga menengah atas yang memang lebih unggul dalam seleksi penerimaan.
Chris Hamnett dan Tim Butler (2013) dalam Distance, Education and Inequality menyebutkan bahwa di tingkat sekolah sangat terlihat perbedaan kurikulum, pendanaan, kualitas gedung, etos, pengalaman, dan kualitas guru. Kemudian keduanya menyebut untuk konteks siswa terdapat perbedaan kelas sosial, etnis, pendapatan keluarga, dan hal tersebut secara langsung maupun tidak berkaitan dengan pencapaian pendidikan.
Ditinjau dari geografi sosial, konteks kelas, pendapatan dan etnis juga sangat erat kaitannya dengan pilihan tempat tinggal. Selain itu, wilayah rumah tangga yang lebih makmur, yang berasal dari keluarga menengah dan menengah atas, cenderung memiliki hasil pendidikan yang lebih tinggi. Riset tersebut dilakukan di London, Inggris. Namun jika kita amati secara seksama juga ada kemiripan dengan konteks Indonesia, khususnya di wilayah perkotaan.
Saat ini berkembangnya perumahan-perumahan elite juga diimbangi dengan pembangunan fasilitas pendidikan. Ragam sekolah hadir dengan berbagai nasional, nasional plus, berbasis agama, maupun internasional disediakan di perumahan-perumahan elite. Sekolah-sekolah tersebut hadir karena adanya supply dari keluarga-keluarga menengah atas.
Posisi ini tentu memudahkan anak-anak kelas menengah atas untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Belum lagi topangan lembaga bimbingan belajar dan kursus (bahasa, seni, robotik, coding, bela diri, dan lainnya) yang juga menjamur di lokasi perumahan-perumahan tersebut. Coba bandingkan dengan struktur pendidikan di daerah.
Di banyak tempat di Indonesia, banyak anak masih perlu berjuang keras untuk mengakses sekolah. Laporan bertajuk Situasi Anak-Anak dan Kaum Muda di Kota-Kota di Indonesia dari Bappenas, UI, Puskapa, dan Unicef (2021) menyebutkan, meskipun di daerah perkotaan indikator pendidikan anak-anak lebih baik dari pada di daerah perdesanan, namun untuk mereka yang tinggal di pemukiman kumuh masih kesulitan mengakses sekolah dan internet secara layak. Di masa pandemi mereka kesulitan beradaptasi dengan metode belajar daring. Berbeda dengan anak-anak mampu yang tetap terfasilitasi belajar dengan sangat baik.
Kajian kami di Sorong dan Tambrauw, Papua Barat (Pendidikan sebagai Jalan Terang: Membangun Pendidikan yang Responsif terhadap Kondisi Geografis, Demografi, Sosial, dan Budaya Orang Asli Papua (OAP), Pustaka Obor, 2019) menunjukkan anak-anak Papua tidak terfasilitasi dengan baik. Pendidikan yang ada tidak sesuai dengan konteks sosio-kultural orang asli Papua, ketidakhadiran guru sangat tinggi, dan akses penunjang penting seperti aliran listrik, internet, dan buku-buku tidak memadai.
Jika merefleksikan kembali bagaimana siswa-siswa yang saya ajar dahulu bisa meraih pencapaian di bidang pekerjaan dengan baik, tentu itu bergantung pada ketekunan masing-masing mereka dalam mengeksplorasi minat dan bakat mereka. Namun, ada bagian penting mengenai pengaruh cultural capital terkait kemampuan linguistik, relasi pertemanan dan keluarga, juga ekosistem yang mendukung mereka meraih mimpi. Medan juang yang ditempuh bisa saja berat, namun mereka relatif sudah memiliki paparan mengenai dunia kerja dan bisnis dari orangtua, rekan orangtua ataupun teman-temannya. Berbeda dengan anak-anak dari keluarga miskin yang menempuh perjuangan yang lebih berlapis karena dihadapkan dengan berbagai keterbatasan.
Keberpihakan kebijakan yang memberi ruang kepada kelas menengah bawah untuk dapat mengakses pendidikan juga kultur yang dapat memberi mereka memiliki imajinasi mengenai pekerjaan dan kemajuan menjadi sangat penting. Meski memang, seperti yang disampaikan oleh Paulo Freire (1993), menciptakan pendidikan yang demokratis yang berpihak pada kelas bawah akan menemui banyak hambatan. Maka sangat penting untuk membuka ruang pendidikan yang inklusif yang memberi ruang perjumpaan ragam kelompok agar terjadi kesempatan saling belajar menjadi utama untuk dilakukan.
Anggi Afriansyah, Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN