Tantangan Makin Besar untuk Mengatasi Kesenjangan Pendidikan
Pandemi Covid-19 bisa menjadi lompatan besar menuju transformasi teknologi pendidikan, tetapi juga rentan meninggalkan mereka yang terkendala akses teknologi. Perlu kebijakan khusus untuk meminimalisir kesenjangan ini.
Oleh
Yovita Arika
Β·4 menit baca
KOMPAS/MELATI MEWANGI
Siswa SDN Cijati, Kecamatan Maniis, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ), Senin(31/8/2020). Dia menggunakan ponsel pintarnya untuk mencari jawaban dari tugas.
Dalam pidato pertamanya setelah dilantik sebagai Presiden periode 2019 β 2024 pada 20 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo mengatakan, pembangunan sumber daya manusia menjadi prioritas utama pemerintahannya. Salah satunya melalui pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan.
Masalah utama pendidikan di Tanah Air selama ini kesenjangan pendidikan, baik antara si kaya dan si miskin, antara kota dan desa, serta Jawa dan luar Jawa. Kondisi ini berkorelasi positif pada akses pendidikan yang berkualitas.
Namun belum lima bulan pemerintahan berjalan, pandemi Covid-19 mendisrupsi semua sektor, termasuk pendidikan. Dampaknya tidak hanya mengubah metode pembelajaran dari tatap muka menjadi jarak jauh, tetapi juga memengaruhi aksesibilitas pendidikan.
Pendidikan jarak jauh (PJJ) menyebabkan akses layanan dan pendidikan yang berkualitas menjadi terbatas bagi siswa dari keluarga miskin. Bagi siswa yang mempunyai modalitas kuat, baik infrastruktur untuk PJJ maupun dukungan sumber daya guru yang berkualitas seperti di sekolah-sekolah favorit, tetap dapat menikmati pendidikan yang berkualitas.
Akibatnya, kesenjangan akses ke layanan dan pendidikan berkualitas yang selama ini berusaha diratakan melalui program beasiswa dan kebijakan zonasi kini justru semakin lebar. PJJ yang tidak efektif juga rentan menurunkan kualitas hasil belajar.
Survei Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 5-18 Agustus 2018 menunjukkan, interaksi guru-siswa dalam pembelajaran daring menurun, banyak siswa yang tidak belajar setiap hari. Berkurangnya paparan kegiatan belajar yang rutin berpotensi membuat siswa kehilangan pengalaman belajar (lost learning) dan menurun kemampuan belajarnya.
Karena itu menurut Anggi Afriansyah, peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, kebijakan yang berpihak pada semua kalangan menjadi hal utama untuk meminimalisir kesenjangan. Kebijakan bagi kelompok siswa yang memiliki akses ke teknologi digital dan internet sudah banyak, mulai dari pemberian kuota internet hingga peningkatan kualitas sumber daya guru melalui sejumlah pelatihan secara daring.
Sense of crisis terhadap permasalahan nyata yang dihadapi anak-anak, khususnya dari keluarga miskin baik di perkotaan maupun perdesaan, juga mereka yang ada di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) menjadi sangat mendesak.(Anggi Afriansyah)
βSense of crisis terhadap permasalahan nyata yang dihadapi anak-anak, khususnya dari keluarga miskin baik di perkotaan maupun perdesaan, juga mereka yang ada di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) menjadi sangat mendesak,β kata Anggi, Selasa (20/20/2020).
Apalagi, krisis akibat pandemi Covid-19 membuat anak-anak dari keluarga miskin di daerah 3T berisiko lebih besar mengalami putus sekolah daripada anak-anak miskin di daerah lain. Menurut Direktur Pendidikan dan Agama Kementerian PPN/Bappenas Amich Alhumami beberapa waktu lalu, anak putus sekolah paling rawan terjadi Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Papua Barat, Papua, Maluku, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
Kebijakan khusus
Untuk meminimalisir hal tersebut, menurut Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud, Evy Mulyani, Kemendikbud juga membuat program Belajar dari Rumah di TVRI dan radio, serta membuat modul-modul pembelajaran yang dapat diakses di situs web Kemendikbud dan juga didistribusikan ke sekolah-sekolah yang belum ada akses internet. Selain itu ada guru kunjung untuk menjangkau siswa yang tidak bisa mengikuti pembelajaran daring, dan kurikulum dalam kondisi khusus untuk pembelajaran di masa pandemi ini.
Berbagai alternatif PJJ, kata Evy telah dan terus dilakukan pemerintah untuk mengatasi tantangan PJJ. Termasuk juga mengeluarkan kebijakan penyesuaian zonasi untuk pembelajaran tatap muka yang memperluas izin pembelajaran tatap muka dari zona hijau ke zona hijau dan kuning. Seluruh kebijakan dan program juga senantiasa diikuti dengan monitoring dan evaluasi.
Namun, kebijakan-kebijakan tersebut dinilai belum cukup untuk mengatasi masalah pendidikan yang terdisrupsi pandemi ini. Menurut Anggi, perlu kebijakan khusus yang fleksibel, cepat, transparan, dan dialogis. Beberapa kali pemerintah baru merespon setelah dikritik oleh organisasi guru, pengamat, dan aktivis pendidikan, seperti kurikulum kondisi khusus dan kuota internet.
Dampak pandemi pada pendidikan ini sangat besar dan jangka panjang. Menurunnya bahkan hilangnya keterampilan kognitif siswa akan berdampak pada masa depan mereka, yaitu rendahnya daya saing mereka ketika memasuki pasar kerja. Tenaga kerja yang kurang terampil juga berimplikasi pada laju pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.
Kompas
Dampak Ekonomi "Lost Learning"
Kajian Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang dipublikasi pada September 2020 menunjukkan, kehilangan sepertiga tahun pembelajaran efektif akibat penutupan sekolah pada periode pertama PJJ akan menurunkan produk domestik bruto (PDB) suatu negara sebesar rata-rata 1,5 persen. Kerugian untuk Indonesia sekitar 2,2 triliun dollar AS.
Dengan tantangan yang semakin besar mengatasi permasalahan pendidikan, kata Anggi, pemerintah harus lebih transparan dan membuka ruang dialog bagi seluruh elemen yang peduli terhadap pendidikan. Terutama dalam hal ini kepada para guru yang berhadapan langsung dengan siswa dan menjadi ujung tombak keberhasilan pendidikan.
Pemerintah juga harus menggerakkan mesin birokrasi hingga ke level pemerintah daerah. Kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri menjadi sangat penting agar mesin birokrasi pemerintahan menjadi bagian penting dalam menyukseskan kebijakan pendidikan.