Penjabat Kepala Daerah Berkompetensi Tinggi Lebih Dibutuhkan
Problem di setiap daerah bisa dijadikan tolok ukur menetapkan penjabat kepala daerah. Dari 101 daerah yang jabatan kepala daerahnya kosong pada 2022, sekitar 50 persen tingkat kemiskinan dan penganggurannya cukup tinggi.
Untuk mengisi kekosongan 101 kepala daerah, pemerintah pusat akan menunjuk penjabat yang akan memimpin daerah tersebut. Meski waktunya relatif pendek, tetap dibutuhkan penjabat yang memiliki kompetensi tinggi dalam berbagai aspek untuk mengatasi persoalan yang kompleks.
Tidak hanya terkait dengan profesionalisme pekerjaan, tetapi juga harus memiliki kecakapan memimpin dan bekerjasama dengan berbagai bidang lintas sektoral. Selain itu, mereka harus memahami betul kondisi wilayahnya sehingga mampu mengakselerasi peningkatan kualitas pembangunan daerah.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang, antara lain, menyebutkan, pejabat yang mengisi kekosongan posisi kepala daerah akan memimpin sampai pemilihan kepala daerah serentak pada 2024.
Artinya, penjabat kepala daerah terpilih memiliki waktu pengabdian lebih kurang sekitar dua tahun. Waktu yang relatif cukup lama untuk jabatan penting yang bukan berasal dari proses pemilihan langsung dari masyarakat. Oleh sebab itu, setiap kandidat yang diajukan sebagai calon penjabat itu harus benar-benar mengedepankan unsur kompetensi tinggi. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan untuk menjalin relasi kuat dengan unsur politik guna mencari kesepahaman dan dukungan. Hal ini juga penting karena ketika kandidat bersangkutan terpilih untuk menjabat, kekuatan politik akan menjadi partner strategis dalam mengontrol jalannya pemerintahan.
Pada 2022 ini, ada sekitar 101 daerah yang akan diisi oleh pejabat yang berasal dari proses penunjukan atau persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri dan Presiden. Rinciannya terdiri dari 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota. Untuk mengisi 101 pejabat daerah itu ada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi oleh para calon kandidat. Salah satunya adalah terkait dengan kategori jabatan yang berhak diajukan.
Berdasarkan UU No 10/2016, penjabat gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya dan untuk penjabat bupati/wali kota berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama. Jabatan tinggi madya setara dengan eselon 1 yang setidaknya terdiri dari sekretaris jenderal kementerian, sekretaris utama, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, kepala badan, staf ahli menteri, sekretaris daerah provinsi, kepala sekretaris kepresidenan, dan sekretaris militer kepresidenan. Untuk jabatan tinggi pratama setara dengan eselon 2 di antaranya terdiri dari direktur, kepala biro, sekretaris badan, kepala pusat, kepala balai besar, asisten sekretariat daerah provinsi, sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala dinas provinsi, dan sekretaris DPRD.
Bila dilihat dari kriteria tersebut, hampir dapat dipastikan para kandidat merupakan ASN atau pejabat pemerintah yang berkualitas. Para pejabat tinggi yang sudah mengabdi dan berkarier cukup lama di wilayahnya masing-masing tentu saja tidak diragukan lagi kompetensinya. Relatif tidak sulit bagi sejumlah kandidat untuk memahami dan menyesuaikan dengan program-program yang akan dilanjutkan. Memperbaiki sejumlah kendala dan kelemahan di wilayahnya, mengakselerasi program-program yang menjadi andalah daerah, serta meningkatkan segenap aspek kemajuan daerah baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.
Baca juga: Menyoal Polemik Penjabat Kepala Daerah
Parameter penting
Dalam menjalankan roda pemerintahan di daerah, ada sejumlah urusan konkuren yang dapat digunakan sebagai acuan penting dalam melihat perkembangan suatu wilayah. Urusan konkuren ini terbagi menjadi urusan pemerintah wajib dan pilihan. Urusan pemerintah yang bersifat wajib terbagi lagi menjadi dua, yakni yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan tidak berkaitan dengan pelayanan dasar.
Pelayanan dasar terdiri dari urusan pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan tata ruang, perumahan, ketenteraman dan ketertiban, serta sosial. Urusan wajib tidak terkait pelayanan dasar, di antaranya terdiri dari tenaga kerja, pangan, perhubungan, statistik, komunikasi, investasi, administrasi kependudukan, dan pemberdayaan masyarakat. Untuk urusan yang bersifat pilihan umumnya terkait dengan potensi suatu daerah, seperti bidang pertanian, kelautan-perikanan, kehutanan, energi, sumber daya mineral, perindustrian, dan perdagangan.
Untuk melihat secara singkat kinerja segala macam urusan tersebut dapat dipersempit dengan melihat sejumlah indikator yang menjadi kunci penting kemajuan suatu daerah. Di antaranya sosial-ekonomi dan kinerja pemerintahan. Indikator sosial-ekonomi terdiri dari variabel pertumbuhan ekonomi,Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pengangguran, kemiskinan, dan gini ratio. Untuk melihat kinerja pemerintahan di antarnya dapat dilihat dari skor Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), skor Survei Penilaian Integritas (SPI) untuk memetakan risiko korupsi, dan opini dari audit BPK terhadap laporan keuangan pemerintah daerah.
Dari analisis data sosial-ekonomi terlihat bahwa 101 kabupaten/kota dan provinsi yang akan dipimpin pejabat daerah penunjukan itu memiliki kondisi beragam. Mayoritas datanya belum menggembirakan. Sebagian besar daerah tersebut, yakni 66 kabupaten/kota dan 4 provinsi, memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata kemiskinan nasional yang sebesar 9,71 persen. Bahkan, untuk sebagian daerah di Papua, tingkat kemiskiannya lebih dari 40 persen.
Untuk tingkat pengangguran juga demikian, sekitar 55 daerah atau 54 persen memiliki tingkat pengangguran di atas rata-rata nasional yang mencapai 6,49 persen. Sebagian besar daerah ini memiliki tingkat unemployment lebih tinggi dari daerah lainnya di Indonesia. Dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan yang relatif tinggi, tingkat kesejahteraan secara umum juga relatif minim di sebagian besar daerah itu.
Dari 101 daerah tersebut, sekitar 55 persen memiliki tingkat IPM dalam kategori sedang dan rendah. Padahal, IPM merupakan indikator penting yang mengukur bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Semakin rendah IPM, tingkat kesejahteraan masyarakat juga cenderung menurun. Kurang menggembirakannya tingkat IPM linear dengan indeks gini di 101 daerah tersebut yang sebagian besar juga di atas rata-rata nasional. Ada sekitar 57 persen daerah yang gini rasionya lebih tinggi dari rata-rata daerah lainnya. Hal ini mengindikasikan apabila terjadi kesenjangan tingkat pendapatan di sebagian besar daerah itu.
Dengan tingkat kemiskinan yang relatif masih tinggi, pengangguran yang cukup banyak, serta ketimpangan pendapatan yang cukup lebar membuat sebagian besar daerah tersebut belum optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Pada 2021, baru sekitar 20 daerah yang tingkat pertumbuhan ekonominya di atas rata-rata nasional. Sisanya, sebagian besar masih relatif rendah. Selain karena dampak wabah korona, relatif rendahnya kemajuan ekonomi di daerah disinyalir karena minimnya investasi sehingga perekonomian tidak berjalan optimal. Akibatnya, menimbulkan pengangguran dan juga kemiskinan karena sebagian angkatan kerja tidak terserap dalam mata rantai produksi barang dan jasa.
Baca juga: Penjabat Kepala Daerah Jangan Titipan
Setali tiga uang, kinerja sosial ekonomi wilayah tersebut berkaitan erat dengan sistem layanan pemerintah daerah setempat. Skor Survei Penilaian Integritas (SPI) dari KPK menunjukkan, sekitar 69 daerah itu memiliki skor di bawah rata-rata nasional. Hal ini cukup mengkhawatirkan karena skor SPI bertujuan memetakan risiko korupsi, menilai pengelolaan anggaran dan SDM, mengukur efektifitas pencegahan korupsi, serta budaya organisasi. Dengan skor SPI yang relatif rendah, segala risiko yang mengarah pada ”korupsi” semakin besar.
Menjadi kian berisiko lagi ketika sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) masih belum menjadi budaya kerja pemerintahan. Menurut laporan Kemenpan-RB, baru 49 daerah saja yang sudah memiliki SPBE dengan kualitas baik. Selebihnya, masih dirasa kurang sehingga membuat sistem pelayanan belum efektif dan efisien. Bahkan, ada 32 daerah yang belum ada penilaian SPBE-nya. Bisa jadi daerah ini belum sama sekali memanfaatkan teknologi informasi sebagai basis pelayanan kepada masyarakat.
Kabar baiknya, meskipun dengan segala keterbatasan terkait pelayanan masyarakat itu, sebagian besar daerah sudah baik dalam pengelolaan anggaran dan juga pelaporannya. Sekitar 88 persen daerah sudah mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari hasil audit BPK. Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas pemerintah daerah sudah berupaya menuju zona integritas bebas dari korupsi serta menciptakan birokrasi yang bersih dan melayani.
Dari sejumlah uraian tersebut mengindikasikan bahwa masih banyak kendala dalam tata kelola pemerintahan dan sekaligus harapan yang besar dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, kehadiran para penjabat kepala daerah yang mampu menerjemahkan kondisi wilayah dan mampu menciptakan akselerasi bagi kemajuan daerah sangat dibutuhkan. Kandidat terbaik dan berkompeten menjadi syarat mutlak untuk diajukan.