Bekas Napi Korupsi Diizinkan ”Nyaleg”, MA dan Bawaslu Gagal Perbaiki Demokrasi
Oleh
Satrio Pangarso Wisanggeni
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung dan Badan Pengawas Pemilu dinilai gagal memanfaatkan peluang untuk mewujudkan pemilihan umum yang beintegritas dengan memperbolehkan partai politik mengajukan bekas narapidana kasus korupsi dalam kontestasi pemilu legislatif mendatang. Putusan ini akan semakin melanggengkan kaderisasi partai politik yang buruk.
Mahkamah Agung membatalkan Peraturan KPU Nomor 20/2018 dan Nomor 26/2018 yang melarang bekas narapidana perkara korupsi menjadi calon anggota legislatif pada pertengahan pekan lalu. Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz, Minggu (16/9/2018) di Jakarta, menilai, putusan ini menunjukkan kegagalan MA untuk berkontribusi pada pemilu yang berintegritas.
”Dengan dibatalkannya PKPU (pelarangan bekas napi) oleh MA, partai politik akan mencalonkan kembali bekas napi kasus korupsi. Ini jelas berdampak bagi masyarakat pemilih,” kata Donal.
Selain kerugian bagi pemilih, Donal juga menilai, institusi MA juga akan terdampak oleh keputusan tersebut. Sebab, jajaran hakim agung MA di masa depan dapat dianggap sebagai pilihan-pilihan anggota DPR yang mencakup bekas napi kasus korupsi.
Baca juga Analisa Politik Azyumardi Azra: Pemilu Berintegritas
Hal senada disampaikan pengamat pemilu Wahidah Suaib yang juga mantan anggota Bawaslu. Ia menyayangkan kontrasnya sikap Bawaslu dan KPU terhadap permasalahan ini. Padahal, menurut dia, Bawaslu dan KPU yang sama-sama diikat oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memiliki tugas yang sama untuk menciptakan pemilu yang adil dan berintegiritas.
”Bawaslu seperti tidak sadar momentum bahwa korupsi inilah yang menjadi bahaya laten dalam demokrasi,” kata Wahidah.
Dengan demikian, perlu ada solusi praktis untuk menginformasikan kepada masyarakat mengenai calon legislatif mana saja yang merupakan bekas napi kasus korupsi. Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai usulan pemberian keterangan pada surat suara adalah cara yang tepat agar masyakarat tidak salah memberikan pilihan.
Dalam jangka panjang, Donal mengatakan, perlu ada revisi pada UU Pilkada dan UU Pemilu untuk memasukkan klausul pelarangan bekas napi korupsi maju sebagai caleg.
Kaderisasi parpol
Penolakan beberapa partai politik terhadap larangan yang dibuat oleh KPU tersebut menandakan kaderisasi di dalam partai tidak berjalan baik, seolah-olah tidak ada kader lain yang lebih kredibel dan mampu mendapatkan suara bagi partai tersebut.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP UI Aditya Perdana mengatakan, keberatan yang ditunjukkan oleh sejumlah partai politik untuk mengganti caleg disebabkan cara berpikir yang mengutamakan keuntungan elektoral di atas segala-segalanya.
”Mereka menolak (larangan) karena caleg-caleg itu punya kemampuan menang di dapil masing-masing. Mereka tidak mau kehilangan sejumlah caleg itu,” kata Aditya.