DPR Kehilangan Arah
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat terkesan kehilangan arah dalam menentukan kebijakan. Di satu sisi, DPR membuat produk yang memberi ruang pada kritik, tetapi pada saat bersamaan membuat undang-undang yang memberangus kritik.
Sebelumnya, DPR meresmikan pusat pelayanan terpadu pengaduan masyarakat dengan aplikasi DPR-NOW. Aplikasi itu dijadikan ruang bagi masyarakat mengkritik kinerja anggota dewan yang terhormat.
Pada saat yang sama, penyelipan Pasal 122 dalam Revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) akan memberangus kritik masyarakat.
Pasal itu memberi kuasa kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) mengambil langkah hukum terhadap orang yang merendahkan kehormatan DPR.
Direktur PARA Syndicate Ari Nurcahyo mengatakan, kedua kebijakan yang diambil DPR itu sangat bertolak belakang. Di satu sisi, DPR membuka pintu kritik. Akan tetapi, DPR secara tidak langsung membungkam kritik dengan menyiapkan hukum pasal karet.
Pasal revisi itu dinilai tidak memiliki batasan yang jelas dan bisa dijadikan alat kriminalisasi kepada siapa pun pengkritik DPR.
”Ini kontradiktif, DPR seperti kehilangan orientasinya. Revisi itu ditujukan untuk menjaga kehormatan DPR. Padahal, mereka yang sering merendahkan kehormatan dengan kinerja yang buruk, salah satunya pasal karet ini,” kata Ari, Kamis (15/2), pada acara Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) di Matraman, Jakarta.
Bahkan, pada Rapat Paripurna DPR, Rabu (14/2), sempat ada tulisan ”Kami Butuh Kritik” di layar besar.
Menurut Ari, tulisan itu sama sekali tidak sejalan dengan revisi UU MD3. Dia menilai setiap logika di dunia politik Indonesia harus dibalik, seperti yang sedang dilakukan DPR itu.
”Misalnya DPR bilang kami butuh kritik, berarti dia tidak mau dikritik. Hal itu jelas terlihat dari produk hukum yang dihasilkan. Pasal itu menerangkan, kehormatan DPR jangan sampai terganggu oleh kritik,” kata Ari.
Apalagi, DPR sudah lari dari fokus awal Revisi UU. Menurut Ari, awalnya perubahan UU MD3 ditujukan pada penambahan pimpinan DPR.
Lalu, tiba-tiba Pasal 122 tentang kehormatan DPR dan Pasal 245 yang mengharuskan pemeriksaaan hukum melalui izin MKD dan Presiden muncul.
Direktur The Indonesian Institute Adinda Muchtar mengatakan, DPR semakin tidak fokus. Penetapan Pasal 121 dan 245 yang mendadak rampung lebih dahulu dari prioritas Program Legislasi Nasional.
”Padahal, Prolegnas adalah prioritas utama seharusnya. Kan jadi aneh, kenapa dua pasal itu yang rampung?” kata Adinda.
Menurut Adinda, DPR tidak bisa melihat secara jelas bahwa kritik bukanlah barang asing. Kritik menjadi hal wajar sejak era reformasi. ”Kritik itu hal bagus, jadi ada masukan untuk kinerja DPR,” ucapnya.
Sebelumnya, pada rapat paripurna, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, masyarakat tidak perlu khawatir.
Menurut dia, setiap profesi harus mendapatkan perlindungan hukum atas kehormatannya, termasuk anggota Dewan. Bahkan, kritik dinilainya sebagai vitamin yang harus diterima.
MOU dengan Kapolri
Sementara itu, peneliti bidang kelembagaan Formappi, I Made Leo Wiratma, mengatakan, kerja sama antara DPR dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) memperlihatkan kekuatan DPR yang sangat besar dan tidak tersentuh.
Sebelumnya, pada hari yang sama dengan rapat paripurna, Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengunjungi DPR untuk penandatanganan terkait kerja sama penjagaan kompleks DPR.
Menurut Made, DPR terlihat semakin kehilangan arah. Seharusnya kewenangan untuk meminta kerja sama itu adalah milik eksekutif.
”DPR mengambil peran eksekutif. Seharusnya, DPR sebagai legislatif meminta kepada Presiden terlebih dahulu. Baru Presiden yang akan meminta kepada Polri. Mereka sudah terlihat sangat berkuasa sampai mengambil peran itu,” katanya.
Pada Rabu (14/2), Tito mengatakan, kerja sama itu tidak ada hubungannya dengan UU MD3 atau imunitas DPR. Menurut dia, kerja sama itu sudah dirancang beberapa tahun sebelumnya untuk mengamankan kompleks DPR dari ancaman, seperti teror bom.
Sejak Setnov
Rangkaian ketidakjelasan arah kebijakan DPR dinilai Ari sebagai ketakutan setelah ditangkapnya mantan Ketua DPR Setya Novanto oleh KPK. ”Sejak itu mereka kehilangan arah karena takut hal yang dialami Setnov terjadi lagi,” katanya.
Hal itu merupakan rangkaian kritik dari masyarakat melalui media sosial. Masyarakat beramai-ramai mendukung KPK dan menghujat tindakan Novanto yang disangka korupsi uang kartu tanda penduduk elektronik.
”Mereka takut kritik itu terjadi juga. Setnov saja yang berkuasa tidak bisa meredamnya, apalagi anggota lain yang tidak sehebat Setnov,” ucap Ari. (DD06)