Delima Silalahi menerima penghargaan Goldman untuk apresiasi perjuangan hak tanah masyarakat adat Tano Batak, Sumatera Utara.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·6 menit baca
Goldman Environmental Foundation di San Fransisco, Amerika Serikat, Senin (24/4/2023) mengumumkan satu dari enam penerima penghargaan Anugerah Lingkungan Goldman tahun ini adalah seorang perempuan dari Tano Batak, Sumatera Utara, Delima Silalahi (46). Siapapun yang mengenal Delima dengan baik akan berujar, ia layak mendapatkan penghargaan itu.
Belasan tahun Delima mendampingi warga perdesaan di tepi Danau Toba, Sumatera Utara mendapatkan hak atas tanahnya. Suaranya lantangnya diamplifikasi oleh seluruh jaringan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), lembawa swadaya masyarakat yang ia pimpin, hingga sekitar 7.000 hektar hutan adat milik enam kelompok masyarakat adat di Kabupaten Humbang Hasundutan, Toba, dan Tapanuli Utara diakui negara. Empat diantaranya mendapatkan Surat Keputusan (SK) Hutan Adat dan dua merupakan SK Pencadangan Hutan.
Multi diskriminasi yang ia terima tak meyurutkan langkahnya berjuang di jalan terjal, yang menurut Delima bahkan penuh liku dan berkabut. Ketika tawaran berkarya di lingkup yang lebih besar, lebih prestise, lebih menjanjikan secara ekonomi berdatangan, ia memilih tetap bersama warga di akar rumput.
“Secara pribadi, saya sangat mengapresiasi penghargaan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya ini, karena memang sejak awal terlibat dalam gerakan-gerakan lingkungan dan masyarakat adat, tidak membayangkan akan mendapatkan penghargaan,” kata Delima pertengahan April lalu. Penghargaan itu meskipun diberikan pada individu, kata dia, juga merupakan penghargaan pada KSPPM dan penghargaan untuk gerakan masyarakat adat di Tano Batak.
Pendampingan pengakuan atas tanah dimulai pada Juni 2009 saat masyarakat Desa Pandumaan dan Sipituhuta di Humbang Hasundutan menuntut haknya atas lahan kemenyan di hutan yang kemudian ternyata merupakan kawasan hak pengelolaan hutan perusahaan pulp di Toba. Padahal warga telah mengusahaan tanaman kemenyan itu bergenerasi.
Rangkaian demonstrasi warga dan amuk massa karena perusakan lahan kemenyan masyarakat oleh perusahaan membuat delapan warga ditangkap dan lima orang masuk daftar pencarian saat itu. Puncaknya pada Februari 2013 sebanyak 36 orang ditahan oleh polisi. Terakhir 16 orang ditahan dan sisanya dilepas. Meskipun tekanan terus mendera, warga bersikukuh hutan kemenyan harus dikembalikan ke mereka karena itu warisan nenek moyang.
Pada awal kasus itu, Delima dan warga sering ditertawai orang. Bahkan ada pejabat yang berujar, "Potong leher ini, tidak akan berhasil. Siapa yang mampu melawan “raksasa”. Yang dimaksud raksasa adalah perusahaan pemilik hutan tanaman industri di kawasan itu.
Pertemuan dengan pemangku kepentingan dari daerah sampai pusat terus dilakukan tiada henti. Dinamika konflik yang masif diimbangi perjuangan jaringan masyarakat adat membuahkan harapan ketika pada 2016, Presiden Joko Widodo menyerahkan SK Pencadangan Hutan untuk warga.
Setelah itu, ternyata ada 2 versi SK. SK yang diberikan Presiden berbeda dengan SK yang beredar di lapangan karena ada satu poin penetapan yang hilang. Penandatangan sama namun isinya berbeda.
SK direvisi kembali pada 2017 dan isinya berbeda pula, karena hutan kemenyan yang diberikan ke masyarakat hanya 2.000 hektar. Sebanyak 2.400 hektar hilang masuk dalam program ketahanan pangan pemerintah. Masyarakat menolak. Baru pada 2021, keluar SK sesuai dengan peta usulan masyarakata adat.
Hingga kini pemerintah telah mengakui enam hutan adat masyarakat adat di sekeliling Danau Toba seluas sekitar 7.000 hektar. Yang terluas adalah hutan adat di Pandumaan Sipituhuta, di Kabupaten Humbang Hasundutan seluas 4.380 hektar. Sedangkan lainnya ada di Onan Harbangan dan Nagasaribu di Tapanuli Utara, Bius Hutaginjang dan Aek Godang di Tapanuli Utara. Perjuangan masyarakat adat pada kawasan lain masih banyak.
Bukan perkara mudah bagi Delima memilih jalan pendampingan di perdesaan Tano Batak yang sarat dengan budaya patriarki.
Pertama, bergelut dalam isu-isu gerakan masyarakat adat dan petani pedesaan bukanlah sesuatu yang menjanjikan bagi keluarga. “Ini sebuah pilihan yang aneh, apalagi bagi perempuan,” kata Delima.
Pertanyaan pertama datang dari ibunya saat ia mulai bergabung denga KSPPM pada 1999, karena Delima akan sering meninggalkan keluarga untuk turun ke kampung-kampung melakukan penguatan warga. Bagaimana nanti anak dan suaminya? Tapi Delima kadung menyukai KSPPM, karena saat kecil sering melihat para aktivis KSPPM bertemu masyarakat di desanya dan berdiskusi. Apalagi kantor KSPPM dekat dengan rumahnya. "Mereka terlihat pintar-pintar sekali," kata Delima.
Setelah berkeluarga, tantangan itu berada di depan mata karena berhari-hari harus meninggalkan rumah, pergi ke desa-desa melakukan penguatan masyarakat. Beruntung ia mempunyai suami yang paham gender, sehingga mereduksi masalah.
Sedangkan di komunitas, tantangannya adalah meyakinkan warga bahwa perempuan juga bisa mempunyai kapasitas.
“Jadi saya masing ingat beberapa kali misalnya dalam pertemuan, laki-laki diposisikan di tempat yang paling terhormat. Kita bukan mau duduk di tempat terhormat itu,” kata dia. Tapi dirinya sadar, pemosisian perempuan di dekat pintu atau dekat dapur adalah salah satu bentuk penolakan bahwa perempuan ipunya kapasitas untuk berbicara karena biasanya orang yang memiliki kapasitaslah yang duduk di tempat terhormat.
Saat bekerja mendamping warga, bahkan ada pejabat yang berucap, "Kok tega sekali ya suamimu ngasih kau bekerja seperti ini. Kalau kau jadi istriku kau akan ku buat di rumah, menerima gaji. Artinya mereka menganggap perempuan yang bekerja di luar itu adalah perempuan-perempuan yang bermasalah," kata Delima.
Dalam acara pemerintah, tunjuk tangan untuk memberikan pendapat sering dinomor kesekiankan. Namun ia berjuang untuk merebut ruang itu. “Di awal ada perasaan malu, perasaan tidak dianggap, kadang pendapat kita itu juga tidak dianggap,” kata Delima.
Namun seturut waktu, banyak orang mulai memerhatikan dan mendengarkan isu yang ia usung. Kuncinya ada keteguhan hati dan dialog. "Saya memang menyukai dunia ini," kata dia.
Ia acapkali juga mengajak anak dan suami turun ke lapangan. Hal itu telah menginspirasi banyak orang bahwa tidak apa-apa perempuan pergi ke luar desa, dengan tujuan jelas. “Jadi kalau KSPPM melakuan pelatihan bagi perempuan, tidak sukar sekarang untuk mengumpulkannya,” kata dia.
Pada 2013 saat menempuh studi S2 di Yogyakarta, Delima mengetahui dirinya menderita kanker stadium dua. Namun kegembiraannya mendampingi masyarakat dan rasa optimis yang selalu ia bangun membuat kanker tidak berkembang hingga kini. “Ini seperti sakit kepala saja, jadi harus gembira dan berdamai dengan ini,” kata penyintas yang tidak mau terjebak dalam upaya mengasihani diri itu.
Ia merasa penghargaan ini adalah bentuk apresiasi internasional pada kerja-kerja di tingkat lokal. "Sekecil apapun yang kita lakukan di Tano Batak ternyata itu mendapat apresiasi dari banyak orang," kata Delima. Apa yang dilakukan Delima sesuai dengan semangat pendiri Goldman Environmental Prize Richard dan Rhoda Goldman, pemuka masyarakat dan filantropis dari San Francisco, Amerika Serikat. Selama 34 tahun, Goldman Environmental Prize telah memberi penghargaan kepada 219 pemenang, termasuk 98 perempuan di 95 negara.
Ke depan ia berharap penghargaan semakin menambah motivasi bagi diri pribadinya, KSPPM dan secara umu gerakan masyarakat adat di Tano Batak untuk tetap berjuang dalam isu-isu lingkungan dan gerakan masyarakat adat. Selama ini masyarakat adat dengan gigih tanpa pamrih melakukan upaya-upaya pemulihan melalui skema-skema yang mereka miliki secara tradisional.
Penghargaan ini juga menjadi kesempatan kita untuk melakukan pemulihan hutan di Tano Batak.
Apalagi perubahan iklim bukan lagi bisa dianggap wacana. Bencana ekologi telah terjadi rutin, sehingga penting bergerak di isu ini. Masyarakat adat lah pihak yang paling strategis membantu dunia dan pemerintah dalam isu perubahan iklim karena mereka tidak bicara program atau proyek, tapi terkait hidup mereka sehari-hari yang berhubungan dengan penyelamatan hutan.
Tidak bisa lagi berbicara pertumbuhan ekonomi jika hutan dan lingkungan telah rusak. Oleh karena itu, seru Delima, pemerintah perlu mempercepat proses pengakuan masyarakat adat dan hutannya.