Keberpihakan pada Perempuan Perdesaan dan Difabel Menjadi Fokus Utama W20
Afirmasi pada perempuan perdesaan dan difabel diperlukan bagi dua kelompok warga marjinal itu. W20 akan membawa isu itu ke G20.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·2 menit baca
PARAPAT, KOMPAS — Keberpihakan pada nasib perempuan perdesaan dan difabel menjadi kebutuhan penting mewujudkan tata dunia berkeadilan. Hal itu juga diperlukan untuk meringankan beban hidup mereka sekaligus menyiapkan masa depan ideal untuk generasi berikutnya.
Hal tersebut mengemuka dalam pembukaan pertemuan W20 di Parapat, Silalungun, Sumatera Utara, Selasa (19/7/2022). Pertemuan itu dihadiri delegasi 15 negara dan Uni Eropa.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak I Gusti Bintang Ayu Dharmawati mengatakan, akses perempuan penyandang disabilitas dan perdesaan untuk mendapatkan layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan formal harus terus dilakukan. Selain menjadi dukungan untuk memulihkan diri dari dampak Covid-19, hal itu juga diperlukan agar generasi selanjutnya memiliki nasib dan masa depan lebih baik.
Chair W20 Handriani Uli Silalahi sepakat, perempuan perdesaan rentan dalam isu pertanian, konflik penyediaan pangan, hingga digitalisasi usaha mikro-kecil menengah. Bersama perempuan difabel, mereka termarjinalkan secara sistematis. ”Isu ini akan dibawa ke Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali November 2022. G20 mempunyai kekuatan mendorong pemerintah secara global menjalankan kesetaraan,” ujarnya.
Co Chair W20 Dian Siswarini menambahkan, perempuan perdesaan dan difabel hingga kini menanggung beban ganda. Selain karena perempuan, mereka juga tidak banyak bisa mengakses kemajuan teknologi hingga layanan kesehatan ideal. Perempuan penyandang disabilitas juga terstigma dengan kondisi tubuhnya.
Oleh karena itu, dia berharap anggota G20 membangun infastruktur terkait perempuan perdesaan dan difabel, seperti sanitasi hingga ketersediaan energi. Mereka juga diminta mempekerjakan perempuan difabel di angka 3 persen, baik di sektor pemerintahan maupun swasta.
Dian yakin isu itu akan menjadi pembicaraan penting di KTT G20. Negara-negara maju, misalnya, berprinsip kesejahteraan tidak bisa tercapai tanpa pemerataan.
Sementara itu, masih di Parapat, puluhan perempuan petani dan adat di Sumut menggelar INA Summit. Koordinator Forum Perempuan Tani dan Adat Sumut Delima Silalahi mengatakan, acara ini bertujuan mengangkat permasalahan perempuan adat dan tani. Kedua isu itu dipandang urung menjadi bahasan utama dalam W20.
Padahal, kata Delima, nasib perempuan tani dan adat tidak kalah penting. Saat ini, banyak terjadi perampasan tanah untuk industri tambang, pangan, dan pariwisata dengan korban perempuan.
”Isu ini sebelumnya sudah kami sampaikan pada pihak W20,” katanya.