Janji Setia Johni dari Balik Kemudi Ambulans
Selama 17 tahun terakhir, Johni Derajat ikut memberikan kesempatan akses kesehatan yang sama bagi orang di sekitarnya. Semua dilakukan tanpa biaya dan turut menumbuhkan kebaikan-kebaikan lainnya.
Tahun ini umurnya 70 tahun. Namun, Johni Derajat masih setia menularkan banyak hal baik dari balik kemudi ambulans.
”Farel, usia tujuh hari, TPU Majalaya,” tulis Johni di buku buatan sendiri dari susunan kertas ukuran A4, Jumat (13/1/2023). ”Sejak pertama menjadi pengemudi ambulans, data semua yang saya antar selalu ditulis untuk data pribadi,” katanya.
Johni adalah legenda pengemudi ambulans di selatan Kabupaten Bandung. Tahun ini dia sudah 17 tahun menjalani profesi itu. Dari rumahnya di Talun, Kecamatan Ibun, sekitar 35 kilometer dari Kota Bandung, sedikitnya 500 orang per tahun atau kurang lebih 8.500 orang sudah ia bantu.
”Ada yang membutuhkan perawatan atau dimakamkan. Sebagian besar warga sekitar Kecamatan Majalaya, Paseh, Ibun, dan Kecamatan Solokan Jeruk. Sering juga melayani warga Kota Bandung atau daerah lain di Kabupaten Bandung hingga Pangandaran,” ujarnya.
Baca juga: Nahla Jovial Nisa, Menyebar Terang di Puskesmas Terpencil
Menariknya, jumlah itu lebih dari sekadar barisan angka fantastis. Semua dilakukannya tanpa berharap imbalan. Ada atau tiada uang tidak menjadi masalah baginya. Urusan kemanusiaan harus di atas semuanya.
”Saya biasanya langsung pulang setelah selesai mengantar. Saya takut dikasih uang. Banyak juga yang datang ke rumah untuk memberi uang, tapi biasanya saya tolak. Dari awal, saya memang hanya ingin membantu, bukan mencari untung,” kata Johni.
Kiprahnya mengemudikan ambulans dimulai tahun 2005. Ketika itu, Johni baru saja pensiun dari perusahaan tekstil multinasional di Bandung. Di perusahaan itu, ia mengerjakan banyak hal selama 30 tahun. Johni mengurus personalia hingga bagian kelistrikan. ”Saya senang mengerjakan banyak hal,” katanya.
Oleh karena itu, saat waktu pensiun itu tiba, tubuh dan pikirannya seperti menolak istirahat. Sebulan setelah pensiun, Johni jatuh sakit. Dia lantas meminta Mamat, mantri desa sekaligus kawannya, datang ke rumah untuk memeriksanya.
”Ini stres, butuh gerak,” kata Mamat setelah memeriksa kondisi tubuh Johni.
”Terus obatnya apa?” tanya Johni.
Lama mencari solusi, Mamat lalu mengusulkan agar Johni membantunya membawa warga yang membutuhkan rujukan ke rumah sakit yang lebih besar.
”Warga yang punya uang biasa pakai mobil pribadi. Sebagian lainnya harus sewa mobil beserta sopirnya. Namun, mereka yang tidak punya uang terpaksa pakai angkutan umum atau justru menunda waktu periksa,” katanya.
Strategi pun dibuat bersama Mantri Mamat. Tidak punya kendaraan, mereka memutuskan menyewa mobil. Biaya sewa kendaraan dan bahan bakar ditanggung bersama, antara beberapa keluarga warga.
Biasanya, setiap keluarga mengeluarkan Rp 50.000 per pasien. Sering kali Johni dan Mamat mengeluarkan uang dari kantong sendiri untuk menutupi kekurangan. Untuk pasien rujukan, biasanya mereka membawa pasien dari Majalaya dan sekitarnya menuju rumah sakit rujukan, seperti Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) atau Al Islam di Kota Bandung.
”Saya yang bawa mobil. Mantri Mamat mendampingi pasien berobat. Tidak ada sepeser rupiah masuk kantong kami,” katanya.
Cara itu dilakukan selama dua tahun hingga kiprah Johni didengar rekan-rekannya. Salah seorang temannya lantas meminjamkan mobil bekas layak pakai untuk dimodifikasi menjadi ambulan. Johni menerimanya. Ia berpikir, mobil itu bisa menghemat biaya keluarga pasien.
Memunculkan kebaikan
Selain bantuan mobil, kisah ban dan kacamata juga tidak bisa ia lupakan. Tidak terduga, kawannya pemilik toko optik di Majalaya, memberi berkah tidak terduga. Dari awalnya hanya ingin memperbaiki kacamata, Johni pulang membawa ban baru sekitar Rp 3 juta.
”Mau ke mana lagi?” kata rekannya saat Johni pamit pulang.
”Mau cari ban yang terjangkau untuk ambulans. Setahun sekali, ambulans wajib ganti ban baru,” kata Johni.
”Kenapa harus terjangkau?” kata pemilik toko lagi.
”Uangnya kurang euy. Kurang Rp 2 juta-an,” jawab Johni.
”Kalau saya bantu kurangnya, bagaimana,” kata rekannya lagi.
”Serius,” kata Johni kebingungan.
”Iya,” ujar pemilik optik itu sembari memberi sejumlah uang.
Seiring waktu, kiprah Johni tidak hanya dikenal kenalan dan orang dekat. Namanya menjadi rekomendasi bagi mereka yang membutuhkan ambulans tanpa harus mengeluarkan biaya.
Puncaknya saat Johni membutuhkan mobil baru untuk melayani permintaan antar-jemput ambulans yang kian banyak. Mobil tua yang dipinjamkan padanya sudah ngos-ngosan melayani warga.
Baca juga: Yusthinus Thobias Male, Jalan Terjal Profesor Merkuri
Untuk itu, bersama Dewan Kesejahteraan Masjid di Masjid Agung Majalaya, Johni membuka donasi pembelian ambulans baru tahun 2015. ”Tidak disangka hanya dua tahun, terkumpul Rp 120 juta dan digunakan membeli mobil baru. Mobil yang lama digunakan untuk operasional bersih-bersih masjid di sekitar Majalaya,” katanya.
Jumlah itu sebenarnya masih kurang untuk membeli van seharga Rp 140 juta. Namun, ia nekat mengajukan penawaran pada dealer mobil terdekat. Seperti dibukakan jalan, ada fasilitas cashback Rp 16 juta bagi mobil incarannya. Meski begitu, uangnya masih kurang Rp 4 juta.
”Ketika ditanya mobil mau dipakai apa, petugas dealermobilseperti tersentuh saat bilang mau dipakai ambulan. Dia langsung bilang deal kalau untuk itu,” katanya.
Akan tetapi, sejak awal Johni memang tidak ingin berpangku tangan. Pada tahun 2015, ia memutuskan membeli mobil baru untuk dijadikan ambulans. Uangnya dirogoh dari tabungan sendiri. Dia masih menyimpan uang pensiun Rp 147 juta. Dia kembali mendapat kemurahan hati para donatur seperti untuk pembelian kasur panjang, sirene, dan tabung oksigen.
”Satu per satu, kebaikan datang tanpa diminta,” kata Johni yang kini menjadi Koordinator Forum Komunikasi Driver Ambulans bekerja sama dengan Yayasan HTD. Saat ini, total ada 70 orang, 38 pengemudi ambulans dan 32 pendamping di Majalaya dan sekitarnya.
Kepercayaan warga tidak dia sia-siakan. Dia semakin sibuk berada di balik kemudi ambulans. Siapa saja yang membutuhkan pertolongan, seperti korban kecelakaan lalu lintas hingga tawuran, dia angkut. Johni juga terlibat dalam evakuasi bencana mulai dari banjir Bandung hingga tsunami Pangandaran.
”Ada yang kenal, tapi banyak yang tidak kenal. Saya mencoba adil. Yang paling membutuhkan pertolongan akan dilayani lebih dulu,” katanya.
Terkait dengan hal itu, Johni pernah diuji beberapa tahun lalu. Ketika itu, ia hendak mengantar salah satu anaknya yang menderita kanker memeriksakan kesehatannya ke RSHS Bandung.
Akan tetapi, keduanya mengurungkan perjalanan. Johni menerima panggilan darurat. Ada warga lain juga meminta segera diantar segera ke RSHS. Sempat kebingungan, justru anaknya sendiri yang meminta Johni mengantarkan warga itu lebih dulu.
”Sebesar itu dukungan keluarga bagi saya. Kerelaan mereka membuat saya lebih nyaman menjalani ini semua,” katanya.
Meski mengorbankan banyak hal dan kepentingan pribadi, kiprah Johni tidak selamanya diterima sebagian warga. Niatnya tak menarik biaya kerap disebut pencitraan. Namun, anggapan itu tidak pernah ia hiraukan.
”Lama-kelamaan nada sumbang itu hilang sendiri. Mereka yang ragu justru ikut saya tolong,” katanya, yang merasa sejak menjadi pengemudi ambulans, keluarga mendapat banyak rezeki saat berwirausaha benang.
Penggiat mitigasi bencana di Majalaya, Riki Waskita (45), mengatakan, kiprah Johni terbilang langka. Saat banyak orang mencari untung dari keahlian yang dimiliki, Johni justru takut diberi uang. Riki berharap, jejak Johni bakal menjadi inspirasi serupa bagi orang di sekitarnya.
Toni Suhendi (47), sesama pengemudi ambulans, berharap usia hanya barisan angka. Sudah lama Johni menjadi inspirasi. Dia mengutamakan kemanusiaan di atas banyak hal. ”Risiko tertular penyakit dikesampingkan, yang penting warga terbantu dulu,” katanya.
Risiko tertular memang sulit dilepaskan. Covid-19, misalnya, hampir merenggut nyawa Johni pada tahun 2022. Diduga ia tertular setelah mengantar warga asing yang belakangan diketahui positif Covid-19.
Tidak mudah mendapat kamar di rumah sakit, dia diisolasi di rumah selama dua minggu. ”Saat mendengar sirene ambulans, takut bukan main. Bisa jadi giliran saya tidak lama lagi. Saya beruntung bisa sembuh,” kata Johni.
Ke depan, Johni mengatakan belum akan berhenti. Dia merasa masih banyak orang membutuhkan jasanya. Hanya saja, Johni tidak bisa menutupi satu hal yang kini membuatnya galau.
Baca juga: Euis Suhartati, Melawan Perdagangan Orang
Bukan usia senja atau nyawa taruhannya. Masalah datang saat nomor telepon selulernya kini tidak bisa dikontak lagi. Sekarang, Johni hanya bisa dihubungi via panggilan dan teks Whatsapp. Padahal, nomor miliknya, 081224072559, sudah telanjur diketahui banyak orang.
”Saya dulu lupa isi pulsa. Saat mau diisi, nomornya sudah tidak aktif. Kata kantor operatornya harus mengurus sendiri ke Jakarta,” katanya. ”Semoga nanti ada solusinya. Saya kasihan warga yang belum punya telepon pintar. Saya kepikiran bagaimana bila mereka mencoba menghubungi saya?” katanya.
Semangat Johni ikut memberikan kesempatan akses kesehatan yang sama bagi orang di sekitarnya masih tinggi. Semoga semua tidak terhenti gara-gara nomor telepon yang tidak bisa dihubungi.
Johni Derajat
Lahir: Bandung, 25 Juli 1952
Istri: Mien Hermina
Anak: 6 orang
Pendidikan: STM Majalaya (lulus 1969)