Nahla Jovial Nisa Menyebar Terang di Puskesmas Terpencil
Gerakan patungan listrik untuk puskesmas terpencil menyalurkan bantuan ke puskesmas diderah yang tidak dialiari listrik dan tak terjangkau sinyal ponsel. Gerakan ini berhasil meningkatkan layanan puskesmas.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·5 menit baca
ARSIP NAHLA JOVIAL NISA
NAHLA JOVIAL NISA
Prihatin oleh penderitaan warga yang harus melahirkan di tengah kegelapan, Nahla Jovial Nisa berinisiasi membuat gerakan patungan listrik untuk puskesmas terpencil. Bersama rekannya, Arriyatul Qolbi, dia mendirikan Pelita Khatulistiwa, organisasi nirlaba yang menaungi gerakan patungan listrik tadi. Kini makin banyak puskesmas bercahaya dan meningkat pelayanannya berkat patungan listrik.
Nahla menjelaskan, sekarang sudah ada 10 puskesmas yang dijangkau dan dibantu Pelita Khatulistiwa lewat program patungan listrik untuk puskesmas terpencil. Program ini akan terus menjangkau puskesmas lain yang berada di daerah terpencil dan kesulitan mendapatkan pasokan listrik. Beberapa puskesmas tersebut antara lain Puskesmas Gaura di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur dan Puskesmas Laonti, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.
Di Puskesmas Gaura, sebanyak 9.853 jiwa tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan secara maksimal, terutama rawat inap, lantaran ketiadaan listrik. Begitu juga di Laonti, karena posisinya harus menyeberang laut dan jauh dari pusat kota, listrik sulit masuk. Mereka mengandalkan genset tetapi biaya operasional tinggi lantaran harga bahan bakar minyak yang juga tinggi. Puskesmas ini sekarang lebih berdaya setelah mendapat bantuan panel solar listrik.
Gerakan patungan listrik untuk puskesmas terpencil menyalurkan bantuan ke Puskesmas Laonti setelah menjalin kerja sama dengan sebuah perusahaan yang bersedia menyalurkan program Corporate Social Responsibility (CSR). Puskesmas ini mampu menampung rawat inap hingga 65 pasien tiap bulan.
Nahla menambahkan, dampak lain dari patungan listrik ini adalah meningkatnya status puskesmas karena mereka akhirnya dapat meningkatkan pelayanan sekaligus memenuhi berkas-berkas akreditasi. Ini misalnya terjadi pada Puskesmas Hoibeti di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Puskesmas ini sekarang dialiri listrik selama 24 jam sehari. Dokumen-dokumen yang harus dicetak tak lagi perlu dibawa ke tetangga Kecamatan, Kolbano, seperti biasanya. Sekarang petugas puskesmas Hoibeti mencetak di puskesmas. Komputer maupun laptop dapat beroperasi kapan saja untuk menunjang akreditasi, termasuk jika harus lembur. Semua berkat patungan listrik. Februari 2020 lalu, Puskesmas Hobeti naik status dari Dasar ke Madya.
Melahirkan di kegelapan
Pada suatu malam di tahun 2014, Nahla membantu seorang ibu melahirkan dalam kegelapan di Puskesmas Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Dia juga sering mendapati warga yang sakit memilih dirawat di rumah daripada di puskesmas lantaran tidak ada listrik. “Kami pernah membantu ibu keguguran sampai harus ditandu. Di sana kesulitan kebutuhan dasar kalau sakit atau kenapa napa. Lebih sedih lagi karena banyak fasilitas yang tidak mendukung,” kata Nahla yang saat itu sebagai perawat dalam program Pencerah Nusantara.
ARSIP NAHLA JOVIAL NISA
NAHLA JOVIAL NISA
Pencerah Nusantara merupakan inisiasi dari Center for Indonesia’s Strategic dalam bidang revitalisasi pelayanan kesehatan primer. Nahla bergabung dalam kurun waktu 2014-2016 antara lain sebagai perawat sekaligus ketua tim untuk wilayah Sulawesi Tengah. Tugasnya mengkoordinasi tenaga kesehatan untuk melayani sekitar 5.400 penduduk di daerah terpencil yang tidak terjangkau listrik dan sinyal telepon seluler. Dia dan rekan -rekannya juga mengadvokasi kepala daerah setempat untuk mengembangkan program inovatif di bidang kesehatan. Lalu, melatih puluhan aparatur sipil negara tentang pelayanan kesehatan primer dan manajemen gizi. Kasus di Puskesmas Lindu menjadi titik penting.
Nah, setelah berjibaku menolong warga di Lindu itu, Nahla mendapat kesempatan ngomong di salah satu stasiun televisi. Saat itulah Arriyatul Qolbi menonton dan tergerak untuk mengajak Nahla bekerja sama menggalang dana. Qolbi yang terbiasa dengan program-program energi terbarukan. “Akhirnya kami mikir agar menjadi sesuatu. Kalau harus menunggu bantuan lembaga atau perusahaan akan lama, akhirnya crowd funding,” kata Nahla yang saat itu memili Kitabisa.com untuk mengumpulkan dana.
Mereka lalu mendirikan Pelita Khatulistiwa, sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di bidang peningkatan kualitas masyarakat melalui energi terbarukan yang dapat mendukung kemajuan masyarakat terpencil. “Awal-awal kita bikin patungan. Kita buka di Kitabisa.com dan sumbangan mencapai yang kita butuhkan,” kata Nahla yang baru saja wisuda di International Social Studies Erasmus University of Rotterdam, Belanda ini.
Patungan listrik ini berjalan sejak Januari 2015. Awalnya setiap tahun 1 puskesmas, lalu beberapa tahun kemudian ada yang 2 puskesmas dalam setahun. Kriterianya harus di desa terpencil dan punya akses ke sana. “Tidak harus bagus masuk jalannya dan selalu ga pernah bagus puskesmas yg kita kasih,” kata Nahla.
Dia menambahkan, gerakan yang diinisiasi anak muda seperti dia perlu lebih progresif. Dalam hal puskesmas saja, dia mencatat masih ada 9 persen puskesmas yang belum dialiri listrik. Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2021, jumlah puskesmas di Indonesia mencapai 10.260 unit. Artinya masih ada sekitar puskesmas 923,4 puskesmas yang belum dialiri listrik. Inilah ladang kegiatan sosial Nahla dan teman-temannya.
Menurut Nahla, proyek di Puskesmas Lindu itu mendapat respons yang amat bagus dan banyak yang ikut tergerak. Teman-teman dia yang bekerja di bidang kesehatan dan Teknik pun ikut membantu. Kini Pelita Khatulistiwa diawaki Nahla dan tujuh orang yang terus bekerja membantu puskesmas yang kesulitan listrik.
Nahla dan teman-temannya tidak begitu saja memberi bantuan. Mereka aktif memonitor penerima bantuan terutama tentang perawatan alat. Mereka diajari agar mandiri dalam merawat dan mengoperasikannya. Proses pemberian bantuan juga tidak mudah. Bisa sampai enam bulan mulai pengumpulan dana sampai instalasi panel tenaga surya. Dananya antara Rp 60 sampai 90 juta.
Meskipun bukan hal mudah dalam proses penggalangan dan penyaluran bantuan tersebut, Nahla menikmatinya. Ayahnya yang seorang dosen dan ibunya yang seorang guru mengajarkan kepada Nahla untuk peduli sejak kecil. Ketika di bangku sekolah pun dia aktif dalam kegiatan sosial yang kemudian mengantarkannya sebagai ketua OSIS di MAN 4 Jakarta. Begitu kuliah, dia aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa yang makin menebalkan rasa pedulinya terhadap sesama.
Kepeduliannya itu yang kemudian di ganjar penghargaan. Salah satunya penghargaan Satu Indonesia Award pada 2018 oleh Astra.
Nahla Jovial Nisa
Lahir: Yogyakarta, 11 July 1991
Pandidikan: 2021 – 2022: Program Magister di Universitas Erasmus Rotterdam, Belanda.
2013– 2014: Pendidikan Profesi Keperawatan, Fakultas Keperawatan, Universitas Indonesia
2009 – 2013: Fakultas Keperawatan, Universitas Indonesia
Prestasi:
2012 – 2013 Lulusan terbaik tiga besar Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia.
2018: Satu Indonesia Award
2020: Dipilih sebagai Country Fellowship dari Indonesia 2021 dalam SEATCA’s 20th Anniversary Fellowship Program in Tobacco Control.
2021: Perwakilan Indonesia dalam John Hopkins Global Leader for Tobacco Control Training.