Euis Suhartati, Melawan Perdagangan Orang
Hampir dua dekade melawan kasus perdagangan orang, Euis tak ingat berapa banyak korban yang pernah ia dan tim dampingi.
trafficking
Euis bergegas meninggalkan rumahnya di Gempol, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (9/1/2023). Ia bahkan tak sempat makan siang. Saking terburu-buru, perempuan lanjut usia ini lupa membawa telepon selulernya. Mobilnya yang berusia belasan tahun pun memutar balik.
Hari itu, Euis dan rekannya mendampingi keluarga Sri Susanti (45), pekerja migran Indonesia di Brunei Darussalam. Pihaknya menduga, Sri menjadi korban tindak pidana perdagangan orang karena prosesnya tidak sesuai prosedur. Misalnya, tidak ada perjanjian kerja antara kedua pihak.
Padahal, Sri yang setahun terakhir menjadi pekerja rumah tangga di negeri itu kerap mengeluh karena pekerjaannya terlampau berat. Perempuan itu bekerja dari pagi hingga malam.
“Dia disuruh angkat semen dan batu. Saya mau kirim jamu, tetapi dilarang majikannya,” ujar Euis.
Baca juga : Nenah Terancam Mati Saat Berjuang Hidup
Pihaknya pun mendatangi perusahaan penyalur PMI di Kecamatan Susukan yang memberangkatkan Sri. Seperti jalan raya yang berlubang menuju lokasi, usaha Euis dan rekannya juga tidak mulus. Perekrut Sri, misalnya, beberapa kali tidak merespons teleponnya.
Bahkan, ketika sampai di kantor perusahaan yang tanpa plang itu, pengelolanya sudah nyaris berangkat dengan mobil. Euis mencegatnya. Mereka akhirnya berdiskusi di ruangan.
“Saya minta Sri dipulangkan bukan dengan ongkos sendiri. Haknya juga harus dipenuhi,” tegasnya.
Pengelola perusahaan penyalur PMI itu beberapa kali mengangguk mendengarkan Euis. Setelah berbicara sekitar sejam, pihak perusahaan sepakat akan memulangkan Sri akhir bulan ini. Euis dan tim lalu membuat surat pernyataan terkait hal tersebut dan ditandatangani di atas materai.
Aan Santoso (51), suami Sri yang ikut hadir, langsung menelepon istrinya. Sambil menangis, Aan menyampaikan, pihak perusahaan akan segera memulangkan Sri.
“Dia sudah tidak tahan. Setiap malam kalau nelepon menangis terus. Semoga bisa berkumpul dengan keluarga,” katanya.
Inilah salah satu kemenangan kecil dari perjuangan Euis dan tim melawan perdagangan orang selama 18 tahun terakhir. Sejak 2004, ia mendalami isu trafficking yang kerap menelan korban anak dan perempuan. Kala itu, Euis menjadi penyiar Radio Siaran Pemerintah Daerah Cirebon.
“Waktu itu banyak razia pekerja seks komersial. Padahal, mereka itu kan ada yang korban KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) suami terus diceraikan. Karena enggak punya skill, mereka jadi PSK,” ungkap Euis yang saat itu juga kerap menjadi penceramah di masjid.
Akhirnya, ia meminta para pendengarnya mengirim surat soal pendapat mereka tentang razia PSK. Tak dinyana, ia menemukan kisah getir perempuan yang jadi korban perdagangan orang hingga jeratan kemiskinan. Euis membcakan cerita itu dengan merahasiakan identitas pengirim.
“Ada juga pejabat yang bilang agar mereka (PSK) dipindahkan saja. Saya bilang, itu bukan solusi. Harusnya mereka dirangkul,” ucapnya. Euis bersama rekannya, Agus Sukmanjaya, Ratu Agung Sedayu dari Keraton Kasepuhan, hingga notaris Morini Basuki pun membentuk Banati.
Didemo warga
Sesuai arti "Banati", yakni anak perempuan yang peduli pada perempuan, lembaga itu juga fokus pada isu perempuan dan anak. Organisasi ini, antara lain, mendampingi PSK yang terjaring razia. Mereka mengajak PSK untuk mengaji hingga menjahit di rumah yang dikontrak lembaga.
“Saya pernah didemo warga. Mereka menggedor pagar rumah. Saya dituduh sebagai germo karena menampung PSK. Kalau saya begitu, apa pernah saya menjual perempuan? Justru kami melindunginya,” ujarnya. Bahkan, pemilik rumah kontrakan sempat mengecek tudingan itu.
“Waktu pemiliknya datang tanpa mengetuk pintu, dia melihat saya dengan PSK lagi ngaji,” ucapnya. Sejak itu, pemilik kontrakan yang keturunan Tionghoa semakin percaya terhadap Euis. Belakangan, anak guru ini membeli rumah itu setelah mencicilnya 10 tahun.
Tidak hanya didemo, orangtua tunggal dari empat anak ini pun pernah diancam preman karena mendampingi mahasiswi yang terpaksa jadi PSK. Seorang pengacara juga sempat ingin melaporkannya ke polisi karena diduga memberikan kesaksian palsu di persidangan.
“Saat itu, saya menjadi saksi ahli yang membela korban KDRT. Saya sempat down (tidak semangat). Akhirnya, laporan itu tidak lanjut. Mungkin dia juga sadar kalau kami membela orang susah yang enggak ada duitnya,” ungkap Euis. Berbagai ujian itu membuatnya tangguh.
Euis dan tim kerap mendampingi PMI yang diduga jadi korban perdagangan orang hingga anak korban kekerasan seksual. Di rumahnya yang juga kantor yayasan, terdapat kamar khusus untuk tempat tinggal korban. Ini penting karena pelaku kekerasan kerap kali orang terdekat korban.
Pada 2005, Euis tergabung dalam gugus tugas pembentukan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam salah satu penelitian di Gintungranjeng, Cirebon, ia menemukan seorang gadis yang jadi korban trafficking dan kekerasan seksual di Timur Tengah.
“Alat vitalnya sampai rusak. Saya merinding. Ini harus dihentikan,” ucapnya. Ia acap kali bolak balik Cirebon dan Jakarta untuk membahas RUU itu. Pemerintah akhirnya menerbitkan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO. Jejak keterlibatan Euis itu tampak di dinding rumahnya.
Misalnya, foto Euis bersama mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta dan Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Sertifikat sebagai pembicara dalam diskusi pencegahan trafficking di berbagai daerah hingga sejumlah piagam penghargaan juga terpajang.
“Saya juga pernah ke Bangladesh, Malaysia, Singapura, Jepang, dan Amerika Serikat terkait isu perdagangan orang,” ucap peraih penghargaan Perempuan Pemerhati Masalah Perempuan dan Anak dari Pemkab Cirebon Tahun 2022 tersebut. Ia juga menyosialisasikan UU TPPO di daerah.
Hampir dua dekade melawan kasus perdagangan orang, Euis tak ingat berapa banyak korban yang pernah ia dan tim dampingi. “Pernah, dalam setahun saja ada 100 laporan ke kami. Kalau ke pasar kadang ketemu korban. Dia bilang, pernah tinggal di tempat saya,” ujarnya tersenyum.
Kini, di usia senjanya, Euis tetap ingin mendukung korban perdagangan orang dan kekerasan. “Jangan khawatir enggak makan. Kalau kita berbuat baik, Allah SWT pasti bantu. Saya sudah bilang ke anak, kalau saya meninggal, perjuangan Yayasan Banati harus diteruskan,” ujarnya.
Baca juga : Yani Risnawati, Bukan Remah-remah Rengginang
Euis Suhartati
Lahir : Sumedang, 3 Februari 1962
Pendidikan:
- SDN Darmaraja Sumedang
- SMPN Darmaraja Sumedang Sekolah Pendidika Guru Ciwaringin (SMK Pesantren Ciwaringin)
Anak:
- Dara Agusti
- Anggun Priyatni
- Virdalasa
- Ibnu Rizal Lazuardi
Penghargaan:
- Penghargaan Perempuan Pemerhati Masalah Perempuan dan Anak dari Bupati Cirebon Tahun 2022
- Penghargaan Bupati Cirebon atas Dukungan Diraihnya Pernghargaan “Swasti Saba Wistara” Cirebon Kabupaten Sehat Tingkat Nasional Tahun 2016
- Penghargaan Badan Narkotika Kabupaten Cirebon atas Dedikasi Penyuluhan dan Penerangan Bahaya Narkoba Tahun 2006