Nenah Arsinah, pekerja migran Indonesia, ditahan di Uni Emirat Arab dan dekat dengan hukuman mati. Pendampingan negara perlu diperkuat karena masalah hukum seperti ini kerap dialami pekerja migran Indonesia.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·6 menit baca
Berjuang menyambung hidup di negeri jauh, nyawa Nenah Arsinah (38) kini justru di ujung maut. Pekerja migran Indonesia asal Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, itu dituduh melakukan pembunuhan di Uni Emirat Arab. Dia bahkan sudah terkurung di penjara selama tujuh tahun terakhir.
Enung Arminah (41), kakak Nenah, menunjukkan dua kerajinan tangan dari plastik bekas di rumahnya di Desa Ranji Wetan, Kecamatan Kasokandel, Majalengka, Senin (24/5/2021). ”Ini buatan adik saya dari penjara. Dia bikin kerajinan untuk dijual. Namun, hasilnya diambil petugas penjara,” ucapnya.
Enung menjadikan anyaman yang di kemasannya terdapat tulisan Arab itu sebagai wadah jualan di warungnya. Karya itu dibawa teman Nenah dua tahun lalu bersama pesan bahwa sang adik terancam hukuman mati, dituduh membunuh dan berzinah dengan sopir majikannya di Uni Emirat Arab (UEA).
Nenah pergi ke Timur Tengah pada 2011 melalui perusahaan penyalur pekerja migran Indonesia (PMI) di Jakarta Timur. Berdasarkan salinan dokumen yang dipegang keluarga, anak petani itu memiliki paspor, perjanjian kerja, dan sertifikat kompetensi sebagai penata laksana rumah tangga. Pada 2006, ia juga sempat ke Arab Saudi.
Keberangkatan Nenah untuk kedua kali tersebut demi memperbaiki ekonomi keluarga. Setelah lulus SD, anak kedua dari empat bersaudara ini langsung bekerja di pabrik genteng di Jatiwangi, kecamatan tetangga. Hasilnya, ia bisa membeli kasur dan bufet. Sayangnya, ia tak lagi mengecap bangku sekolah.
Hingga akhirnya, industri genteng Jatiwangi mulai sempoyongan pada 2000-an. Banyak pabrik tutup. Saking melimpahnya, genteng tak lagi di atap, tetapi di tembok menggantikan bata. Nenah lalu mencoba peruntungan ke Jakarta dan Bandung sebagai pengasuh anak.
”Tetapi, gajinya cuma Rp 500.000 per bulan, sedangkan di Arab sudah Rp 1,5 juta,” lanjut Enung. Nenah pun ke luar negeri lagi. Dalam tiga bulan, ia bisa mengirim uang Rp 7 juta untuk kebutuhan keluarga, termasuk biaya sekolah menengah pertama dua adiknya.
Tiga tahun di UEA, Nenah akhirnya pulang kampung pada 2014 atau 40 hari setelah ibunya meninggal karena sakit. Selain membiayai pemakaman ibunya, ia juga membeli tanah keluarga seharga Rp 9 juta. ”Waktu itu, dia kurus kering. Cuma tiga hari di rumah, dia kembali ke sana,” katanya.
Saat itu, Nenah berkisah, majikannya ingin menikahkannya dengan seorang duda. Ia lalu diminta menandatangani sebuah surat. ”Katanya, mau dikasih duit. Dia tanda tangan meskipun enggak bisa baca tulisannya. Ternyata, setelah itu polisi datang. Dia diborgol, disuruh mengaku berzinah dan membunuh sopir majikannya,” tutur Enung.
Saya juga sudah pernah dipenjara 21 hari karena dituduh injak-injak majikan. Padahal, enggak. Di penjara, makannya hanya sehari sekali. Siang malam saya zikir, berdoa.
Nenah juga dituding meracuni warga India itu. Padahal, menurut Enung, adiknya itu melihat bekas jeratan tambang di leher sopir tersebut. Namun, adiknya tetap dipenjara di daerah Dubai dengan ancaman hukuman mati. Keluarga menolak berbagai tuduhan itu.
”Saya juga sudah pernah dipenjara 21 hari karena dituduh injak-injak majikan. Padahal, enggak. Di penjara, makannya hanya sehari sekali. Siang malam saya zikir, berdoa,” kata Enung yang sempat menjadi PMI di Kuwait dan Suriah selama 2,8 tahun.
Setelah menelepon suaminya dan melapor ke departemen pencarian orang, Enung dibebaskan. Pengalaman kelam itu membuatnya enggan menjadi PMI lagi meskipun tidak dapat dipungkiri bisa membangun rumah dari hasil keringatnya di sana.
Ingin pulang
Upaya membebaskan Nenah sudah dilakukan, mulai dari melapor ke Pemkab Majalengka hingga anggota Komisi IX DPR pada 2017. Namun, hasilnya nihil.
Baru-baru ini, keluarga meminta bantuan Forum Perlindungan Migran Indonesia (FPMI) Jabar. Pemerintah Desa Ranji Wetan juga mengirimkan surat ke Kementerian Luar Negeri pada 3 Mei 2021 untuk membantu melepaskan jerat hukuman mati.
”Tiga hari setelah Lebaran (13 Mei), dia menelepon pakai HP (handphone) temannya di penjara. Dia mau pulang, enggak tahan di penjara. Rambutnya sudah sampai tanah karena enggak dipotong. Saya bilang, sabar. Kamu jaga kesehatan saja,” tutur Enung.
Berusaha menenangkan Nenah, Enung juga mengaku rapuh. Membebaskan adiknya tentu butuh modal. Padahal, penghasilan dari warung kecilnya tidak seberapa. Apalagi, setelah pandemi, pendapatannya anjlok 50 persen. Belum lagi saingan dengan empat warung lainnya dalam 1 RT.
Hasil panen ayahnya juga hanya 9 karung atau sekitar 400 kilogram gabah setelah dimakan tikus. Padahal, produksinya lebih dari 5 kuintal gabah. Musim tanam kali ini juga dibayangi kekeringan karena minimnya infrastruktur pengairan.
Kuwu (Kepala Desa) Ranji Wetan Saeful Imam mengatakan, kasus hukuman mati bagi PMI baru terjadi di desanya. ”Ada sekitar 70 warga kami yang jadi PMI. Mereka ingin memperbaiki ekonomi, seperti bangun rumah dan lainnya,” kata Saeful yang juga pernah jadi sopir di Arab selama 10 tahun.
Kepala Bidang Penempatan, Pelatihan, dan Perluasan Kesempatan Kerja di Dinas Ketenagakerjaan, Koperasi, dan Usaha Kecil Menengah Kabupaten Majalengka Momon Rukman belum mengetahui ancaman hukuman mati untuk Nenah. ”Kami akan menelusuri kasus ini. Soalnya, sebelum 2019, pendataannya belum online,” katanya.
Kasus hukuman mati yang menjerat PMI asal Majalengka bukan kali ini saja terjadi. Pada 2018, Tuti Tursilawati, warga Sukahaji, dihukum pancung di Arab Saudi. Ia didakwa membunuh ayah majikannya yang sebelumnya berusaha memerkosanya (Kompas, 1/11/2018).
Secara nasional, dalam arsip Kompas, hingga akhir 2018 ada lebih dari 160 WNI terancam hukuman mati di sejumlah negara. Sebanyak 11 orang di antaranya di Arab Saudi. Indonesia juga telah membebaskan total 461 WNI dari hukuman mati di negara lain, seperti Sumartini, Warnah, dan Siti Aisyah.
Pemerintah harus memperkuat negosiasinya dengan Timur Tengah. Jangan salahkan PMI yang minim pengetahuan dan dalam kondisi tertekan.
Terkait kasus Nenah, FPMI Jabar telah bersurat ke instansi terkait, seperti Badan Perlindungan PMI dan Kementerian Luar Negeri. Surat balasan yang ditandatangani Koordinator Perlindungan Kawasan Timur Tengah II BP2MI Jimin Naryono pada 20 Mei itu menegaskan, BP2MI terus berkoordinasi dengan Konsulat Jenderal RI Dubai.
Surat itu, antara lain, menyebutkan Mahkamah Sharjah menunda hasil keputusan sidang banding Nenah karena masih berupaya berkomunikasi dengan keluarga korban di India. Tujuannya, agar mencabut tuntutan hukuman mati terhadap Nenah dan menerima diyat. KJRI Dubai juga mengusulkan perwakilan RI di India agar bertemu dengan keluarga korban.
Ketua FPMI Jabar Dhani Rahmad menilai, kasus yang berlarut-larut menunjukkan pengadilan sulit membuktikan Nenah bersalah. Selain itu, pemerintah juga dinilai kurang responsif. ”Pemerintah harus memperkuat negosiasinya dengan Timur Tengah. Jangan salahkan PMI yang minim pengetahuan dan dalam kondisi tertekan,” katanya.
Apalagi, selama ini, PMI di Timur Tengah tercatat paling banyak membawa devisa bagi negara. BP2MI mencatat, hingga September 2020, remitansi PMI asal kawasan itu sebanyak 2,5 miliar dollar AS atau Rp 38 triliun. Pada 2019, jumlahnya mencapai 4,2 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 59 triliun.
Jumlah ini lebih besar dibandingkan anggaran padat karya tunai desa (PKTD), yakni Rp 37,08 triliun. Program ini ditargetkan menyerap 4,2 juta tenaga kerja.
Kini, diplomasi Indonesia kembali diuji dalam kasus Nenah. Belakangan, UEA makin mesra dengan Pemerintah Indonesia. Nama Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated ditetapkan menjadi Jalan Layang Sheikh Mohamed bin Zayed atau MBZ.
Sheikh Mohamed bin Zayed adalah Pangeran Mahkota Kerajaan Emirat Abu Dhabi. Nama Presiden Joko Widodo juga diabadikan sebagai nama jalan di UEA. Selain itu, tengah dibangun juga Masjid Raya Sheikh Zayed di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Pembiayaan pembangunan masjid sekitar Rp 300 miliar itu berasal dari Pemerintah UEA.
UEA juga merupakan salah satu investor terbesar di Indonesia. Salah satunya, investasi senilai 10 miliar dollar AS atau sekitar Rp 140 triliun pada Indonesia Investment Authority, lembaga pengelola investasi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Kisah Nenah mungkin tidak semenarik penanaman modal asing. Namun, keluarga berharap Nenah bisa bebas dari hukuman mati dan pulang kampung, bukan berpulang untuk selamanya, seperti Tuti Tursilawati dan nama lainnya yang sekadar berakhir di batu nisan. Pulanglah kau ke rumah, Nenah.