Yusthinus Thobias Male, Jalan Terjal ”Profesor Merkuri”
Satu dawasarsa terakhir, Yusthinus Thobias Male berjuang melawan penggunaan merkuri untuk pengolahan emas. Ia mengalami tekanan yang tidak mudah. Dihadang aparat bersenjata hingga diintai oleh orang tak dikenal.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Langkah Yusthinus Thobias Male terhenti di sebuah jalan setapak menuju puncak Gunung Botak. Bersama mahasiswanya, sang dosen dihadang aparat bersenjata yang menjaga lokasi tambang emas liar. Meski Yusthinus menunjukkan surat izin penelitian, aparat tetap melarang mereka masuk ke sana.
Ia sempat berdebat dengan aparat yang mengaku hanya menjalankan perintah. Padahal, jelas-jelas, praktik tambang emas di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, itu ilegal. Awal 2015 itu, lebih dari 20.000 orang menambang emas secara liar di sana. Lebih parah mereka menggunakan bahan berbahaya merkuri untuk mengolah emas.
Gagal melewati jalur itu, Yusthinus mencoba cara lain untuk mendapatkan data yang dibutuhkan. Ia ingin mengukur konsentrasi merkuri di lokasi tambang. ”Saya coba berkomunikasi dengan tokoh adat di sekitar tambang dan mereka mendukung apa yang saya lakukan,” katanya.
Penelitian merkuri di Gunung Botak sudah direncanakan lama. Ia mulai mengumpulkan dana dengan menggelar bazar makanan. Hasilnya digunakan untuk operasional penelitian, mulai dari biaya perjalanan dari Ambon ke Gunung Botak hingga pemeriksaan sampel di laboratorium. Dana yang terkumpul tidak cukup, ia merogoh kantong pribadi.
Perjalanan ke lokasi tambang juga tidak mudah. Dari Ambon, ia bersama mahasiswa menumpang kapal laut selama hampir tujuh jam. Tiba di sana, mereka menggunakan kendaraan darat selama lebih dari dua jam melewati jalan tanah. Akses ke Gunung Botak rusak lantaran sering dilewati kendaraan pengangkut material tambang.
Selesai dari lokasi tambang, mereka mendatangi tempat pengolahan emas yang menggunakan merkuri. Limbah pengolahan dibuang ke sungai yang airnya digunakan untuk pengairan lahan pertanian di Pulau Buru. Air sungai itu juga mengalir ke laut. Yusthinus mengambil sampel dari sungai hingga muara serta sampel pada petambang dan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi tambang.
Penelitian itu bertujuan mengukur konsentrasi merkuri di sedimen, air, biota laut, dan manusia di sekitar tambang yang mulai beroperasi pada 2011 itu.
Diintai
Selepas dari lokasi penelitian, mereka kembali ke Namlea, ibu kota Kabupaten Buru dan selanjutnya pulang ke Ambon. Dari situ ia merasa diintai. ”Selama di tempat penginapan ada orang yang menguntit kami. Bahkan, ada yang mengikuti kami sampai dalam pelayaran kembali ke Ambon,” ujarnya.
Pengintaian berikutnya ia ketahui saat membawa sampel untuk diuji di laboratorium yang berada di luar Maluku. Selama di kota tujuan itu ia beberapa kali berpindah hotel dan mengganti moda transportasi. Ia semakin waspada. ”Saat di pesawat, saya tidak berani makan,” ucapnya.
Pertengahan 2015, ia sudah mendapatkan hasil uji laboratorium. Ia membuka hasil penelitian itu kepada media agar dipublikasikan. ”Pertama kali saya buka ke harian Kompas. Padahal, rencana saya, publikasi dulu lewat jurnal ilmiah. Saya yakin, lewat media massa akan ada perubahan,” ucapnya. Penelitian itu mengungkapkan konsentrasi merkuri yang sudah melebihi ambang batas ditemukan di sedimen, air, dan biota laut. Yang lebih mencengangkan, sejumlah petambang dan warga sekitar sudah terkontaminasi merkuri dengan konsentrasi tinggi.
Sehari setelah pemberitaan, sejumlah media nasional yang bermarkas di Jakarta mengirim tim datang ke Pulau Buru. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga mengutus pejabatnya ke sana. Lokasi tambang itu pun ditutup. Yusthinus senang harapannya terpenuhi.
Namun, ia semakin khawatir dengan keselamatannya lantaran ia banyak mendapat panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Di kampus, di tempat ia biasa ngopi dan makan, ia semakin sering diintai. Ia pun meminta ditemani keluarganya saat bepergian. Kaca mobil selalu ditutup. ”Waktu itu lagi ramai penyiram air keras. Itu yang saya takutkan,” ucapnya.
Berbasis penelitian itu, Yusthinus sering menjadi narasumber untuk berbicara tentang bahaya merkuri, mulai dari level lokal hingga internasional. Ia pernah berbicara hingga ke Jepang, negara yang memiliki pengalaman kelam mengenai bahaya merkuri. Dunia mengenalnya dengan tragedi Minamata.
Pada 7 Desember 2022, Yusthinus dikukuhkan menjadi guru besar dalam bidang kimia anorganik di Universitas Pattimura, Ambon. Predikat guru besar yang ia sandang tidak lepas dari kerja ilmiah yang ia tekuni dalam kampanye penghapusan merkuri di Gunung Botak, tambang emas ilegal terbesar di Indonesia.
Ia bersyukur dengan pencapaian itu. Namun, ia mengingat masih ada pekerjaan rumah yang menanti dituntaskan, yakni bagaimana memulihkan lingkungan di sana. Ia sudah merekomendasikan beberapa hal, seperti penanaman tanaman yang dapat mereduksi merkuri dan pengerukan sedimen. ”Itu belum jalan,” katanya.
Ia khawatir konsentrasi merkuri pada sumber pangan semakin tinggi. Pulau Buru merupakan lumbung pangan di Maluku. Pertanian di sana pertama kali dikerjakan oleh para tahanan politik Orde Baru kemudian transmigran dari Pulau Jawa.
Bukan hanya di darat, pencemaran merkuri di teluk juga berpotensi menyebar hingga ke ikan di perairan yang lebih luas. Terdekat adalah Laut Banda yang terhubung langsung dengan pesisir Pulau Buru. Laut Banda terkenal sebagai penghasil tuna dan cakalang menjadi bagian dari lumbung ikan nasional.
Menurut Yusthinus, pencemaran merkuri di Gunung Botak bak bom waktu yang menunggu saatnya meledak. Merkuri dapat menyebabkan mutasi genetika. Bayi yang lahir dari rahim yang terpapar merkuri dalam konsentrasi tinggi akan mengalami kelainan. Tidak tertutup kemungkinan, tragedi Minamata di Jepang dapat terulang kembali di Pulau Buru.
Rektor Universitas Pattimura MJ Sapteno mengapresiasi pencapaian Yusthinus. Ia berharap semakin banyak karya yang dihasilkan Yusthinus untuk kemajuan dunia penelitian.
Lewat penelitian, Yusthinus sudah membuka fakta mengenai kerusakan lingkungan dan bahaya merkuri bagi manusia. Ia termasuk salah satu figur di Maluku yang menentang penggunaan merkuri untuk pengelolahan emas. Sebagian orang sengaja memanggilnya ”Profesor Merkuri”.