Kehidupan nelayan belum beranjak lebih baik. Kesejahteraan nelayan masih menjadi pekerjaan rumah. Profesi ini pun banyak ditinggalkan generasi penerusnya.
Oleh
Arita Nugraheni
·4 menit baca
FRANSISKUS PATI HERIN
Potret kehidupan nelayan di Desa Tulehu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku.
Pada 6 April mendatang, Hari Nelayan Nasional akan diperingati. Sejenak kita mengapresiasi kerja-kerja para nelayan di seantero negeri, khususnya bagi mereka yang masih bergulat dalam menyejahterakan diri. Peringatan ini juga diharapkan sebagai momen pemerintah untuk kembali memprioritaskan kemakmuran nelayan kecil.
Pertanyaan yang sama masih terus berulang terkait kesejahteraan para nelayan. Setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, momen peringatan untuk pengarung laut ini masih diisi seruan seputar belenggu kemiskinan. Peringatan Hari Nelayan Nasional tahun ini harapannya tidak menjadi momen kosong tanpa penghayatan berarti.
Menyitir arsip Kompas pada periode 2010 hingga 2018, problema nelayan setidaknya dapat disarikan kedalam tiga hal. Pertama, adanya arus alih profesi nelayan ke sektor lain karena ketidakpastian penghidupan. Kondisi ini pun terbukti dari jumlah profesi nelayan yang mengalami penurunan ataupun stagnan kendati permintaan di bidang perikanan terus meningkat.
Peringatan Hari Nelayan Nasional tahun ini harapannya tidak menjadi momen kosong tanpa penghayatan berarti.
Dalam sepuluh tahun terakhir, peningkatan jumlah nelayan hanya tercatat pada 2011, 2014, dan 2019. Sisanya, jumlah nelayan laut dan darat mengalami penurunan.
Penurunan terdalam terlihat pada 2013 dengan -3,96 persen. Pada tahun ini pula gejolak krisis nelayan mengemuka, termasuk hilangnya minat kalangan milenial untuk berprofesi sebagai nelayan.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diakses pada 2 April 2022 menunjukkan jumlah nelayan laut mengalami stagnasi dan cenderung menurun selama sepuluh tahun terakhir. Pada 2019, jumlah nelayan laut tercatat sekitar 2,1 juta orang. Angka ini turun jika dibandingkan tahun 2018 yang mencapai sekitar 2,3 juta orang.
Kawan sejawat nelayan laut di bidang budidaya ikan juga menurun. Pada 2020, jumlah pembudidaya ikan laut, payau, dan tawar terdata berjumlah 2,2 juta orang. Angka ini menyusut hingga setengahnya jika dibandingkan jumlah pembudidaya pada 2012 yang tercatat sebanyak 4,5 juta orang.
Kenaikan justru nampak pada nelayan perairan umum daratan (PUD). Jumlah nelayan PUD pada 2019 terdata sekitar 647.000 orang.
Angka ini tertinggi sepanjang sepuluh tahun terakhir atau hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2016. Meski naik, jumlah nelayan PUD tidak signifikan jika dibandingkan nelayan laut.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Kapal nelayan di Kelurahan Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur, Natuna, Kepulauan Riau, bersandar di Pelabuhan Teluk Baruk, Jumat (6/3/2020). Nelayan khawatir dengan kedatangan nelayan asal pantai utara Kota Tegal, Jawa Tengah, minggu depan. Cantrang, alat tangkap ikan yang dipakai nelayan pantura, merusak ekosistem laut, sandaran utama mayoritas nelayan Natuna.
Dinamika profesi di bidang perikanan yang ditunjukkan oleh data di atas menyumbang gambaran terkait kurang menjanjikannya kehidupan di sektor ini. Ketidakpastian ini khususnya dirasakan oleh nelayan dari rumah tangga kecil yang didera kemiskinan.
Kemiskinan pada nelayan disumbang oleh berbagai faktor, di antaranya sistem bagi hasil antara nelayan dan juragan yang timpang serta kurang adil bagi nelayan. Kemiskinan menjadikan nelayan lemah baik secara sosial maupun politik (Kompas, 27 Oktober 2020).
Peringatan Hari Nelayan Nasional di tahun sebelumnya juga menyerukan tentang kemiskinan kaum pesisir ini. Nelayan kadang kala tidak mendapatkan keuntungan atau bahkan merugi. Nilai tukar nelayan dan pembudidaya ikan (NTNP) sebagai salah satu indikator imbal hasil yang diterima nelayan cenderung kecil.
NTNP pada tahun 2021 tercatat di poin 103,97. Angka ini naik dibandingkan tahun 2020 yang hanya mencapai 100,35. Indikator nilai tukar ini mengukur surplus dan defisit pendapatan. Angka lebih dari 100 berarti mengalami surplus atau pendapatan lebih besar daripada pengeluaran.
Dengan capaian tersebut, dapat dikatakan nelayan dan pembudidaya ikan secara umum nyaris tidak mendapatkan untung di tahun 2020.
Jika dbandingkan dengan nilai tukar lapangan kerja lain, subsektor perikanan hanya lebih baik dari sektor peternakan yang mengalami keterpurukan dengan nilai tukar peternakan (NTPT) sebesar 98,08. Angka ini berarti pelaku usaha di bidang peternakan mengalami defisit di tahun 2020.
Di tahun 2021, angka indeks subsektor perikanan mengalami perbaikan. NTNP tercatat lebih baik dibandikan bidang tanaman pangan, peternakan, dan tanaman hortikultura. Nilai tukar tertinggi tercatat pada tanaman perkebunan rakyat (NTPR) yang mencapai 120,97.
Sementara itu, nilai tukar nelayan di luar pembudidaya ikan (NTN) menunjukkan perbaikan di awal tahun ini. Badan Pusat Statistik mencatat NTN pada Januari 2022 sebesar 107,22 dan stabil di angka 107, 36 pada Februari. Data ini menjadi secerca harapan di tengah belenggu nasib buntung yang diterima nelayan pada tahun sebelumnya.
Ketidakberpihakan pemerintah dalam hal regulasi diserukan kalangan nelayan dalam dua tahun terakhir ini. Sejumlah poin dalam UU Cipta Kerja justru membatasi ruang gerak nelayan tradisional atau kecil. Sejumlah protes yang disampaikan dianggap belum sepenuhnya direspons pemerintah.
Salah satunya, pada 2020 terekam kegelisahan nelayan kecil menghadapi kemungkinan bersaing dengan pebisnis ikan besar karena pelonggaran definisi nelayan kecil dalam RUU Cipta Kerja. Tahun ini, kegelisahan tersebut menjelma kenyataan.
Penelusuran Kompas di sejumlah daerah, seperti Natuna (Kepulauan Riau), Kepulauan Aru (Maluku), Kendari (Sulawesi Tenggara), serta Indramayu dan Cirebon (Jawa Barat), merekam makin banyaknnya kapal ikan berukuran besar. Sedikitnya 850 kapal berukuran di atas 30 gros ton (GT) beroperasi di Laut Natuna (Kompas, 4/4/2022).
Dalam peringatan Hari Nelayan 2021, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan, nelayan tidak mendapatkan perlindungan dari pemerintah sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 (Kompas, 7 April 2021).
Dari ketidakpastian penghidupan, kemiskinan, hingga regulasi yang kurang memihak nelayan kecil, peringatan Hari Nelayan Nasional tahun ini diharapkan memutus belenggu keterperukan nelayan. Ironis, jika profesi nelayan menjadi simalaka di negeri dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia ini. (LITBANG KOMPAS)