Makin merosotnya minat menjadi nelayan tak lepas dari semakin menurunnya potensi ekonomi profesi ini. Harapan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dengan mengandalkan hasil melaut terasa semakin berat.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Nelayan di sekitar Sungai Cibeureum, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, mendapatkan bantuan berupa alat konverter bahan bakar minyak ke gas, 21 Oktober 2020. Seorang nelayan di antaranya sedang berdiri di dekat perahu miliknya.
Perikanan merupakan sektor ekonomi yang amat menjanjikan. Sayangnya, persoalan terkait nelayan kecil masih belum mendapat perhatian serius. Tak pelak, masalah klise nelayan masih saja terjadi meski sudah coba dipecahkan berdekade-dekade silam.
Di atas kertas, perikanan merupakan bidang yang amat menjanjikan. Kontribusi subsektor perikanan pada produk domestik bruto (PDB) nasional terus naik. Peningkatannya bahkan lebih tinggi daripada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (PKP) secara umum.
Selama 10 tahun terakhir, sumbangan perikanan pada PDB konsisten bertambah dari 2,09 persen pada 2010 hingga mencapai 2,65 persen pada 2019. Sementara itu, kontribusi sektor PKP justru turun dari 13,93 persen pada 2010 menjadi 12,72 pada 2019.
Secara makro, PKP menyumbang 15,46 persen PDB pada triwulan II-2020. Sektor PKP menjadi lapangan pekerjaan yang tetap tumbuh positif kala pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi. Menurut Indikator Ekonomi Juli 2020, sektor PKP tumbuh 16,24 persen di tengah PDB yang tumbuh negatif 4,19 persen pada triwulan II-2020 berbanding triwulan sebelumnya (q to q).
Potensi perikanan juga ditunjukkan dalam indikator lain, misalnya indeks harga produsen (IHP) dan nilai tukar nelayan (NTN). IHP menggambarkan kenaikan atau penurunan harga barang dan jasa di tingkat produsen sekaligus mencerminkan daya beli pelaku ekonomi.
Adapun NTN menjadi salah satu indikator untuk mengukur surplus ataupun defisit pendapatan nelayan. Angka lebih dari 100 berarti nelayan mengalami surplus atau pendapatan lebih besar daripada pengeluaran.
Mengacu tahun dasar 2010, IHP perikanan pada triwulan II-2018 tercatat 138,51. Angkanya naik menjadi 141,77 pada triwulan II-2019 dan mencapai 143,77 pada triwulan II-2020. Sementara NTN pada September 2014 tercatat 106,38. Angkanya naik hingga mencapai 114,79 pada September 2019.
Meski demikian, selayang data agregat tersebut tidak serta-merta bermakna semua baik-baik saja. Nelayan pada khususnya masih saja dihantam berbagai kendala yang menjerat mereka dalam kemiskinan.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Nelayan merapat di dermaga Muara Angke, Jakarta Utara, seusai memanen kerang hijau di Teluk Jakarta, 4 Oktober 2020.
Guru Besar Ekonomi Sumber Daya Perikanan Universitas Padjadjaran Zuzy Anna, dalam orasi ilmiahnya pada 8 November 2019, menyebut nelayan sebagai profesi paling miskin di Indonesia. Berlandaskan pada Survei Ekonomi dan Sosial Nasional 2017, ia menemukan 11,34 persen orang di sektor nelayan tergolong miskin. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian lain.
Hal ini senada dengan analisis Endang Retnowati dalam Nelayan Indonesia Dalam Pusaran Kemiskinan Struktural yang diterbitkan Jurnal Perspektif Vol XVI, Nomor 3 Tahun 2011. Endang menyebut kemiskinan pada nelayan disumbang oleh berbagai faktor, di antaranya sistem bagi hasil antara nelayan dan juragan yang timpang serta kurang adil bagi nelayan. Kemiskinan menjadikan nelayan lemah baik secara sosial maupun politik.
Tak mengherankan jika kita lihat profesi nelayan menjadi kurang diminati, terutama bagi generasi muda. Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat, ada penurunan jumlah nelayan laut dan nelayan perairan umum daratan (PUD).
Pada 2010, jumlah nelayan laut 2,16 juta orang. Angka dua jutaan bertahan stabil hingga 2017. Penurunan yang signifikan mulai tampak pada 2018, jumlah nelayan laut tercatat tinggal 1,68 juta orang. Nelayan PUD juga turun dari 457.835 orang pada 2010 menjadi 325.437 pada 2018.
Tak mengherankan jika kita lihat profesi nelayan menjadi kurang diminati, terutama bagi generasi muda.
Penurunan yang sama diikuti oleh jumlah rumah tangga penangkap ikan. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, ada penurunan jumlah, baik rumah tangga penangkap ikan di perikanan laut maupun PUD. Pada 2000, terdapat 2,05 juta rumah tangga penangkap ikan. Angka 2 juta bertahan hingga 2003, kemudian anjlok menjadi setengahnya pada 2004. Terakhir pada 2016, hanya ada 965.756 rumah tangga perikanan tangkap.
Masalah nelayan
Makin merosotnya minat menjadi nelayan tidak lepas dari semakin menurunnya potensi ekonomi dari profesi ini. Artinya, harapan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dengan mengandalkan dari hasil melaut, terutama
bagi nelayan-nelayan kecil, terasa berat dengan kondisi saat ini. Nelayan dihadapkan pada masalah yang sampai hari ini harus menjadi beban mereka, baik di level hulu maupun hilir, terkait kebijakan, serapan bantuan, peralatan, hingga konflik perebutan wilayah tangkap.
Kendala-kendala tersebut makin membatasi ruang gerak nelayan dalam mencari nafkah. Misalnya saja, nelayan kecil menghadapi kemungkinan bersaing dengan pebisnis ikan besar karena pelonggaran definisi nelayan kecil dalam RUU Cipta Kerja yang disetujui untuk disahkan menjadi UU oleh DPR pada 5 Oktober 2020.
Pada RUU yang sama, lapangan kerja untuk nelayan sebagai anak buah kapal (ABK) juga terancam hilang karena tidak ada lagi ketentuan kapal asing yang menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) untuk menggunakan ABK Indonesia paling sedikit 70 persen.
Nelayan kecil seperti luput dari radar. Bantuan pemerintah belum terserap, terutama di level bawah. Buruknya pendataan nelayan juga berpotensi pada pemberian bantuan yang salah sasaran. Kementerian Kelautan dan Perikanan juga melaporkan hingga triwulan I-2020, realisasi penyaluran baru 6,16 persen dari kuota 1,92 juta kiloliter.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Anak buah kapal membongkar ikan tenggiri dari hasil melaut di perairan Selat Karimata saat bersandar di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta, 4 Oktober 2020.
Di tengah pandemi Covid-19, nelayan lagi-lagi masih diabaikan. Survei Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) terhadap 2.068 pelaku usaha perikanan di Medan, Semarang, Gresik, Lombok, dan Aceh pada 15 Mei-19 Juni 2020 menunjukkan, separuh responden mengalami penurunan pendapatan dan tidak menerima bantuan sosial (Kompas, 1/8/2020).
Kini, nelayan, terutama mereka yang selama ini berada di kelas bawah dan berharap pada laut sebagai sumber pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, membutuhkan uluran tangan pemerintah. Hal yang sangat dinantikan ialah perlindungan dan jaminan bagi mereka untuk melaut dengan akses yang memudahkan mereka.
Perubahan kebijakan pemerintah di sektor kelautan, terutama sejak periode kedua pemerintahan Jokowi, semestinya tetap memberikan jaminan bagi nelayan kecil untuk tak dirugikan ketika berhadapan dengan pemain besar di sektor perikanan ini. Balada nelayan, terutama kelas-kelas bawah, semestinya mulai dikikis dengan komitmen penuh pemerintah untuk menjamin penghidupan yang layak bagi nelayan di sektor kelautan. (Litbang Kompas)