Pemerintah Dinilai Kurang Berpihak kepada Nelayan Kecil
Nelayan kecil yang bertahun-tahun mencari ikan dengan peralatan seadanya bakal makin terpinggirkan dengan adanya kebijakan sistem kontrak penangkapan ikan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
DOKUMEN JOHAN
Aksi penolakan terhadap rencana penerapan sistem kontrak penangkapan ikan di Laut Aru dan Laut Arafura. Aksi itu berlangsung di Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, Selasa (15/3/2022).
DOBO, KOMPAS — Kebijakan sistem kontrak penangkapan ikan dinilai hanya akan menguntungkan pemodal dan korporasi besar. Nelayan kecil yang bertahun-tahun mencari ikan dengan peralatan seadanya bakal makin terpinggirkan dengan adanya kebijakan tersebut. Tak heran, pemerintah dinilai kurang berpihak kepada nelayan kecil dan lebih mementingkan korporasi perikanan besar.
Jumain (41), nelayan asal Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, pada Senin (28/3/2022), mengatakan, selama belasan tahun menjadi nelayan, ia belum mampu membeli perahu motor. Perahu motor yang digunakan selama ini milik orang lain dengan perjanjian bagi hasil setelah dikurangi ongkos. Menggunakan perahu kecil berukuran sekitar 1,5 gros ton dengan mesin gantung 15 tenaga kuda (PK), Jumain harus menjelajah hingga 30 mil laut ( sekitar 56 kilometer) di tengah Laut Aru. Sebab, semakin jauh ke tengah laut, peluang mendapatkan ikan semakin besar. Ia pemancing ikan pelagis, seperti tuna dan cakalang, juga ikan karang, seperti kakap dan kerapu. ”Biasanya melaut paling lama satu hari satu malam itu bisa dapat paling banyak Rp 1,6 juta. Biaya untuk bahan bakar dan ongkos orang jual sekitar Rp 800.000, jadi bersih Rp 800.000. Setelah itu bagi dua, jadi saya hanya dapat Rp 400.000. Kadang hasilnya di bawah itu,” ujarnya.
Ia bermimpi memiliki perahu motor. Perahu motor bermesin 15 PK merupakan yang terkecil untuk ukuran nelayan pemancing tuna. Namun, membeli satu set perahu ditambah mesin, butuh modal paling sedikit Rp 70 juta. ”Sampai saya pensiun dari nelayan, saya tidak mungkin bisa beli perahu. Uang dari mana?” ujarnya.
Johan Djamanmona (22), mahasiswa asal Dobo, mengatakan, banyak nelayan di Kepulauan Aru bernasib seperti Jumain. Selama bertahun-tahun, mereka menggunakan perahu dan alat tangkap seadanya. Selama bertahun-tahun pula, mereka menyaksikan kapal-kapal besar mengeruk hasil laut di sana. Oleh karena itu, Johan menolak rencana pemerintah menerapkan kebijakan sistem kontrak penangkapan ikan di sana. Selama 10 hari sejak 15 Maret 2022, Johan memimpin aksi unjuk rasa di Dobo untuk menolak rencana penangkapan terukur. ”Urus dulu nelayan kita yang miskin. Bantu mereka agar bisa mengambil hasil laut. Jangan tiba-tiba mau urus lelang perairan ke investor,” katanya.
JOHAN UNTUK KOMPAS
Poli Pikaem (50), nelayan asal Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, menyiapkan perahu dayung untuk melaut pada Rabu (16/3/2022) petang.
Laut Aru dan Laut Arafura yang mengapit Kepulauan Aru masuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPRI) 718. WPPRI tersebut menempati urutan pertama dengan potensi perikanan terbesar dari total 11 WPPRI di seluruh Indonesia. Tahun 2021, jumlah produksi ikan dari WPPRI 718 mencapai 1,7 juta ton. Jenis ikan yang ada di perairan tersebut antara lain pelagis, demersal, ikan karang, udang, lobster, dan cumi-cumi.Wacana penangkapan terukur gencar diperkenalkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mulai tahun 2021. Hingga kini masih ramai pro dan kontra terkait rencana kebijakan tersebut.
Dalam sistem kontrak penangkapan ikan, perusahan besar akan melakukan kontrak dengan pemerintah terkait penangkapan ikan. Mereka beroperasi di zona tertentu dengan batas kouta penangkapan yang telah diatur. Dalam satu zona, bisa lebih dari satu perusahaan.Setiap perusahan pemegang kontrak diwajibkan mendaratkan ikan di dekat zona penangkapan. Diharapkan industri pengolahan di sekitar pelabuhan pangkalan akan berkembang sehingga menyerap tenaga kerja lokal. Di Maluku, misalnya, terdapat sejumlah pelabuhan pendaratan seperti Ambon, Tual, dan Dobo.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Buruh membongkar ikan hasil tangkapan dari Laut Arafura di Dermaga Pelabuhan Muara Angke, Jakarta, Selasa (1/3/2022). Mulai Maret 2022 Kementerian Kelautan dan Perikanan memberlakukan sistem kontrak penangkapan ikan untuk industri perikanan. Uji coba sistem kontrak ini diterapkan di Laut Arafura.
Ruslan Tawari, pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon, memahami penolakan warga terhadap rencana sistem kontrak penangkapan ikan. Alasannya, nelayan lokal yang tidak diperhatikan selama ini sudah sering menyaksikan kejahatan perikanan di daerahnya. ”Mereka kemudian tidak percaya kepada pemerintah sebab semua yang dijanjikan tidak terwujud,” ucapnya.
Untuk memulihkan kepercayaan itu, pemerintah harus menunjukkan keberpihakan kepada nelayan miskin yang di Maluku, diperkirakan lebih dari 100.000 rumah tangga nelayan. ”Berdayakan mereka dulu. Kasih kapal, alat tangkap, bahan bakar subsidi, dan kemudahan lainnya,” kata Ruslan.