Penerapan penangkapan terukur melalui sistem kontrak perikanan masih menuai kontroversi. Kebijakan mengundang investor asing diterapkan ketika kapasitas koperasi nelayan dan pelaku dalam negeri masih sangat terbatas.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Kapal ikan eks asing.
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan penangkapan ikan terukur melalui sistem kontrak penangkapan berbasis kuota dinilai tidak berpihak pada nelayan kecil dan menengah. Pemerintah mensyaratkan pembentukan koperasi atau konsorsium bagi pelaku usaha yang ingin mengikuti sistem kontrak. Namun, opsi itu dinilai masih sulit diterapkan.
Kebijakan penangkapan terukur akan diuji coba di wilayah pengelolaan perikanan atau WPP 718. WPP 718 yang meliputi Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian timur yang merupakan wilayah produktif ikan sekaligus masih rawan praktik penangkapan ikan ilegal. Beberapa pelabuhan disiapkan untuk uji coba tersebut, yakni pelabuhan perikanan swasta di Benjina dan Tual (Maluku), serta pelabuhan perikanan milik pemerintah di Tual, dan Merauke.
Zona industri perikanan yang menerapkan sistem kontrak penangkapan ikan meliputi empat zona di tujuh wilayah pengelolaan perikanan (WPP), yaitu WPP 718, WPP 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan), WPP 716 (Laut Sulawesi), dan WPP 717 (Teluk Cenderawasih dan Samudra Pasifik). Selain itu, ada WPP 715 (Laut Maluku dan Laut Halmahera) serta WPP 572 (Samudra Hindia sebelah barat) dan WPP 573 (Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara).
Dalam sistem kontrak itu, kuota penangkapan ikan yang ditawarkan kepada setiap badan usaha perikanan minimal 100.000 ton per tahun dengan masa kontrak berlaku 15 tahun dan dapat diperpanjang. Pelaku usaha perorangan disyaratkan membentuk badan usaha, koperasi, atau berbentuk konsorsium. Dengan sistem itu, negara menargetkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari perikanan tangkap meningkat hingga Rp 4 triliun tahun 2023.
Pengurus Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin), Muhammad Bilahmar, mengemukakan, sistem kontrak masih membingungkan pelaku usaha. Dengan keterbatasan kapal, pilihannya adalah membentuk koperasi ataupun konsorsium. Namun, pembentukan koperasi tidak mungkin dilakukan oleh perusahaan atau perseroan terbatas karena koperasi menaungi perorangan-perorangan. Adapun pembentukan konsorsium memerlukan kerja sama antar-perusahaan swasta, sedangkan alat tangkap berbeda-beda, ukuran kapal dan jenis tangkapan ikan berbeda, dan keragaman daerah tangkapan sehingga sulit menyatukan perusahaan dalam badan hukum.
”Sulit menentukan komposisi saham antarsejumlah perusahaan dan penentuan kuota tangkapan antar-perusahaan dalam konsorsium. Kita belum pernah punya pengalaman konsorsium perusahaan untuk kontrak sumber daya ikan berbasis kuota,” katanya.
Ia menyoroti pertimbangan pemerintah menerapkan sistem kontrak penangkapan ikan guna menggenjot PNBP. Ia menilai, optimalisasi PNBP seharusnya dilakukan dengan mendorong produktivitas perikanan kapal-kapal ikan dalam negeri. Produktivitas kapal dalam negeri yang masih rendah harus dibangkitkan sehingga lebih kuat dan berdaya saing melalui perbaikan sarana dan prasarana produksi.
”Kita seharusnya mendorong industri perikanan dalam negeri lebih modern dan bukannya membiarkan kapal-kapal dalam negeri tetap kecil dan mengundang kapal-kapal besar dari luar negeri dan investor asing masuk,” kata Bilahmar, saat dihubungi, Senin (28/3/2022).
Pertarungan bebas
Secara terpisah, koordinator Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Muhammad Abdi Suhufan, menilai, pemerintah kerap menyebutkan akan mengutamakan nelayan lokal untuk mendapatkan sistem kontrak. Namun, persyaratan sistem kontrak penangkapan terukur sangat memberatkan nelayan-nelayan lokal dan pelaku usaha skala menengah, di antaranya persyaratan modal usaha minimal Rp 200 miliar.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pekerja membongkar ikan tuna tangkapan di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta, Jumat (17/9/2021).
Di sisi lain, draf Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Tata Cara Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI dengan Sistem Kontrak menyamaratakan persyaratan bagi koperasi nelayan dan korporasi besar. Tidak ada kemudahan persyaratan bagi nelayan lokal yang bergabung dalam koperasi perikanan untuk mengikuti sistem kontrak, padahal kapasitas koperasi perikanan di Indonesia masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan perusahaan besar ataupun investor asing.
”Ini akhirnya menciptakan pertarungan bebas antara pelaku usaha kelas besar dan kelas kecil di tengah lemahnya kapasitas koperasi nelayan saat ini. Belum terlihat komitmen pemerintah untuk mengutamakan kuota (sistem kontrak) ke koperasi nelayan,” katanya.
Abdi menambahkan, koperasi nelayan yang kuat dan sukses hingga saat ini sangat sedikit dan didominasi di Pulau Jawa. Sebaliknya, kapasitas koperasi nelayan di Maluku dan Papua yang beroperasi di WPP 718 masih sangat minim. Pendampingan terhadap koperasi untuk peningkatan kapasitas juga masih rendah. Ketimpangan ini memungkinkan potensi konflik antara nelayan lokal dan korporasi besar.
Hal senada disampaikan Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin. Hingga saat ini, sangat sulit menemukan nelayan di luar Jawa yang terkonsolidasi dalam koperasi. Sementara penerapan sistem kontrak berlangsung di luar perairan Pulau Jawa. Upaya membangkitkan koperasi seharusnya sejak lama didorong sebagai mandat undang-undang dan bukan dalam rangka kebijakan penangkapan terukur.
”Ketika penguatan koperasi hanya untuk merespons kebijakan penangkapan terukur, maka akan mendorong kompetisi yang tidak seimbang antara nelayan skala kecil dan korporasi,” katanya.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, hingga pertengahan Februari 2022, pelaku industri yang sedang menjajaki sistem kontrak penangkapan ikan pada empat zona industri perikanan sebanyak 20 perusahaan. Jumlah kuota penangkapan yang diminta berkisar 4,1 juta ton.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Zaini mengemukakan, sebagian pelaku usaha perikanan itu bekerja sama dengan mitra perusahaan asing dan badan usaha dalam negeri, seperti koperasi di Juwana, koperasi di Bali, serta dua korporasi di Bali.