Nelayan kecil kian terdesak kapal ikan berukuran besar. Kuota tangkapan ikan yang akan diberikan kepada nelayan lokal di zona industri perikanan diproyeksikan 2,8 juta ton per tahun.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nelayan kecil dan tradisional kian terdesak oleh keberadaan kapal-kapal ikan berukuran besar yang belakangan makin menjamur di perairan-perairan Nusantara. Para nelayan kecil seolah dibiarkan berkompetisi bebas dengan kapal-kapal ikan besar yang kadang menggunakan alat tangkap tak ramah lingkungan. Sumber penghidupan nelayan kecil pun terancam.
Penelusuran Kompas sepanjang pekan lalu di sejumlah daerah, seperti Natuna (Kepulauan Riau), Kepulauan Aru (Maluku), Kendari (Sulawesi Tenggara), serta Indramayu dan Cirebon (Jawa Barat), merekam berbagai kegelisahan nelayan kecil yang tangkapannya kian berkurang.
”Saat ini sedikitnya sudah ada 850 kapal berukuran di atas 30 gross ton (GT) yang beroperasi di Laut Natuna atas izin pusat,” kata Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri saat ditemui pekan lalu.
Pantauan Kompas, kapal berukuran 30 GT ke atas sudah banyak beroperasi di perairan yang berjarak sekitar 55 kilometer ke atas dari pesisir timur Pulau Natuna Besar. Saat malam, langit perairan itu terang benderang karena banyak kapal besar dari luar provinsi berkerumun.
Menurut Hendri, kondisi ini makin mengimpit nelayan Natuna yang sebelumnya juga sudah terdesak oleh aktivitas kapal-kapal cantrang dan pencurian ikan oleh kapal asing.
Di tengah kondisi tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan berencana menerapkan sistem kontrak penangkapan ikan yang akan mendorong lebih banyak lagi kapal berukuran besar menangkap ikan di perairan Nusantara, termasuk di Laut Natuna.
Sistem kontrak penangkapan ikan di zona industri perikanan merupakan bagian dari kebijakan penangkapan terukur di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Dalam sistem ini, kuota penangkapan ikan tidak hanya ditawarkan kepada badan usaha atau koperasi dalam negeri, tetapi juga investor asing.
”Kalau laut ini jadi dilelang pemerintah, hancur sudah hidup kami. Alat kapal-kapal besar jauh lebih canggih. Kami akan mati kalau bersaing dengan mereka,” kata Rustam (48), salah seorang nelayan tradisional di Kecamatan Bunguran Timur, Natuna.
Seperti Rustam, mayoritas nelayan di Natuna mengandalkan kapal berukuran antara 3 GT dan 5 GT. Alat tangkap mereka juga masih tradisional berupa pancing yang ramah lingkungan.
Menurut Hendri, pemerintah seharusnya memprioritaskan pemberdayaan nelayan tradisional di Natuna. Hal itu bisa dimulai dengan meningkatkan armada kapal nelayan dari sebelumnya 3-5 GT menjadi 15-20 GT.
Para nelayan kecil dan tradisional di Kepulauan Aru, Maluku, juga menolak penerapan sistem kontrak penangkapan ikan. Nelayan kecil yang bertahun-tahun mencari ikan dengan peralatan seadanya bakal makin terpinggirkan dengan adanya kebijakan tersebut. Apalagi belakangan makin banyak kapal ikan besar yang beroperasi di Laut Aru dan Arafura. Sebagian dari kapal-kapal itu bahkan menggunakan alat tangkap pukat atau trawl yang merusak lingkungan perairan.
Jumain (41), nelayan asal Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, yang ditemui, Senin (28/3/2022), mengatakan, akibat penghasilan yang terus tergerus, selama belasan tahun menjadi nelayan, ia belum mampu membeli perahu motor. Perahu motor yang digunakannya selama ini milik orang lain dengan perjanjian bagi hasil setelah dikurangi ongkos.
Menggunakan perahu kecil berukuran sekitar 1,5 GT dengan mesin gantung 15 tenaga kuda (PK), Jumain harus menjelajah hingga 30 mil laut (sekitar 56 kilometer) ke tengah Laut Aru untuk mendapatkan ikan. Di sana, ia memancing ikan pelagis, seperti tuna dan cakalang.
Diutamakan
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini mengemukakan, total kuota tangkapan yang bakal dilelang ke pelaku usaha dan investor dalam sistem kontrak sebesar 4 juta ton per tahun. Pemerintah juga mencadangkan kuota tangkapan sebesar 2 juta ton yang pemanfaatannya akan disesuaikan dengan hasil evaluasi kebijakan penangkapan terukur.
Ia menambahkan, sistem kontrak akan diutamakan bagi pelaku usaha dalam negeri. Pelaku usaha yang sudah memiliki surat izin usaha perikanan dari pemerintah pusat mendapatkan prioritas kuota sesuai kebutuhan. Sementara itu, nelayan lokal perseorangan dengan wilayah tangkapan di atas 12 mil untuk sementara dapat memperoleh kuota tangkapan tanpa perlu mengikuti sistem kontrak, dengan syarat membentuk koperasi.
Kuota penangkapan ikan yang ditawarkan kepada badan usaha sejumlah 100.000 ton per tahun atau disesuaikan dengan potensi yang masih tersedia. Masa kontrak berlaku 15 tahun dan dapat diperpanjang.
”Berapa pun kebutuhan (kuota tangkapan) nelayan lokal akan kami penuhi. Sisanya, (kuota) kami tawarkan kepada pelaku usaha dalam negeri. Selebihnya, kami buka ke investor baru,” kata Zaini, Rabu (30/3).
Saat ini, pihaknya telah mendata nelayan lokal, kapal pelaku usaha perikanan, dan produktivitas tangkapan sebagai dasar penentuan kuota tangkapan. Kuota tangkapan yang akan diberikan bagi nelayan lokal pada zona industri perikanan direncanakan 2,8 juta ton per tahun. Untuk sistem kontrak, dari alokasi kuota sebesar 4 juta ton per tahun, pelaku usaha perikanan dalam negeri diperkirakan mampu mengisi 1,8 juta ton. Sisanya dilepas kepada investor. Hingga kini sudah ada 21 calon investor baru dari dalam dan luar negeri serta koperasi perikanan yang berminat mengikuti sistem kontrak dengan usulan kuota sebesar 2 juta ton.
Sebagian investor itu bekerja sama dengan mitra perusahaan asing serta badan usaha koperasi. Selain itu, pelaku usaha yang pernah mengoperasikan kapal-kapal buatan luar negeri (eks asing), tetapi terkena kebijakan moratorium kapal eks asing pada tahun 2014.
”Kalau (kuota tangkapan) bisa terisi semua dengan kapal dalam negeri, kita tidak perlu lagi mengundang orang luar untuk sistem kontrak. Namun, karena masih ada potensi yang belum dimanfaatkan, kami undang orang (investor) baru. Tidak ada niat menghambat pelaku dalam negeri,” kata Zaini.