Enam Dasawarsa Perjuangkan Daya Saing Nelayan Indonesia
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi sumber daya laut yang besar. Namun, potensi besar tersebut belum diimbangi oleh keunggulan daya saing nelayan.
Oleh
Agustina Purwanti
·5 menit baca
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Kapal nelayan yang terbuat kayu, atau disebut juga pompong, berjejer di Pelabuhan Teluk Baruk, Desa Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau (30/3/2022). Mayoritas nelayan di Natuna mengandalkan pompong berukuran antara 3 gros ton (GT) hingga 5 GT untuk menangkap ikan hingga di perairan perbatasan.
Kehidupan nelayan yang lebih baik sudah diperjuangkan sejak enam dasawarsa lalu ketika Hari Nelayan Nasional ditetapkan pada 6 April 1961. Membangkitkan, menggerakkan, dan mendorong nelayan mencapai keadilan serta kemakmuran menjadi cita-cita besar yang hendak diwujudkan melalui momentum tersebut.
Namun, hingga kini harapan itu belum sepenuhnya menjadi kenyataan. Masih ditemukan nelayan Indonesia yang belum hidup sejahtera. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017, dari sekitar dua juta nelayan, terdapat 11,34 persen masih hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan tersebut dialami mayoritas nelayan kecil.
Merujuk definisi nelayan kecil yang dirumuskan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), mereka adalah nelayan yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 gros ton (5 GT). Sementara 69 persen nelayan Indonesia masuk dalam kelompok nelayan kecil. Artinya, dari semua nelayan yang tercatat oleh KKP, 1,4 juta dari mereka hidup berkekurangan.
Masih rentannya kehidupan nelayan juga ditunjukkan oleh kemampuan tukar hasil penangkapan mereka untuk kebutuhan yang belum menentu. Tahun 2019, nilai tukar nelayan (NTN) sudah mencapai level 113,74.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Aktivitas nelayan muara Kali Rawa Malang, Cilincing, Jakarta Utara (16/3/2022). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota akan memprioritaskan nelayan kecil. Kuota dialokasikan untuk nelayan kecil terlebih dulu, lalu sisanya untuk badan usaha dan koperasi.
Capaian itu menjadi yang tertinggi sepanjang delapan tahun terakhir. Pada 2014 daya tukar nelayan baru mencapai 104,63. Hanya saja, pandemi membuat nilai tukar nelayan kembali merosot hingga 100,22 pada 2020 dan baru merangkak naik menuju 104,69 pada 2021.
Deretan fakta itu akhirnya berdampak pada berkurangnya minat menjadi nelayan. Hal itu tecermin dari jumlah nelayan yang kian merosot dari waktu ke waktu. Tahun 2015, masih terdapat 2,28 juta nelayan laut di Indonesia. Data terakhir menunjukkan, pada tahun 2019 hanya tersisa 2,09 juta nelayan yang masih berlayar.
Hal ini menjadi ironi lantaran Indonesia memiliki potensi sumber daya laut yang besar. Berdasarkan data Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat (CIA), luas wilayah perairan Indonesia masuk dalam kelompok 10 besar dari 154 negara di seluruh dunia yang memiliki wilayah perairan.
Dari luas perairan tersebut, KKP menyebutkan, estimasi potensi sumber daya ikan di Indonesia mencapai 12,54 juta ton. Namun, hingga 2020, produksi perikanan Indonesia baru mencapai 7,7 juta ton. Ini artinya produktivitas perikanan belum mencapai dua pertiga dari potensi yang ada. Dengan kata lain, potensi yang ada belum dioptimalkan.
Biaya tinggi
Selain karena faktor kesejahteraan nelayan yang masih minim, skema besar kebijakan pemerintah juga belum sepenuhnya mendukung upaya peningkatan daya saing Indonesia. Hal ini antara lain terlihat dari kebijakan pemerintah yang menetapkan tarif baru penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor perikanan. Kebijakan yang tertuang dalam PP Nomor 85 Tahun 2021 itu berpotensi semakin menghambat daya saing nelayan dan perikanan Indonesia.
Dalam peraturan sebelumnya, tarif PNBP hanya menggunakan skema praproduksi dan dikenakan pada kapal penangkap ikan berukuran 30 GT ke atas. Sementara dalam peraturan baru terdapat tiga skema yang ditetapkan, yaitu praproduksi, pascaproduksi, dan sistem kontrak.
Pada skema praproduksi, jangkauannya lebih luas, yakni mulai dari kapal berkapasitas 5 GT dengan tarif 5 persen hingga kapal berukuran 60 GT. Adapun kapal ukuran 60-1.000 GT dikenai tarif 10 persen, dan 1.000 GT ke atas 25 persen. Skema praproduksi berlaku hingga 31 Desember 2022.
Setelahnya, skema pascaproduksi yang akan diberlakukan dengan ketentuan tarif 5 persen bagi kapal di bawah 60 GT dan kapal berukuran di atas 60 GT dikenai tarif 10 persen. Artinya, kapal-kapal dengan kapasitas 5 GT pun akan dikenai tarif.
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Nelayan mengumpulkan ikan tangkapan di tempat pendaratan ikan di kawasan Gudang Lelang, Kecamatan Teluk Betung Selatan, Kota Bandar Lampung, Lampung (24/7/2018). Pemerintah menetapkan tarif baru penerimaan negara dari sektor perikanan melalui PP 85/2021. Kapal dengan kapasitas 5 GT milik nelayan kecil ikut dikenai pajak.
Padahal, mereka merupakan kelompok mayoritas yang masih hidup berkekurangan. Tarif yang dikenakan pun akan menambah biaya operasional mereka dan membuat mereka semakin sulit keluar dari bayang-bayang kemiskinan.
Persoalan tarif dan pungutan sudah dikeluhkan sejak lama. Kompas mencatat, pada 2009 nelayan menyuarakan penghapusan retribusi bagi nelayan. Jika ditotal, besaran tarif PNBP ditambah dengan pungutan liar yang harus ditanggung nelayan mencapai 15 persen. Bahkan, hal serupa terjadi pada 1970.
Tak hanya itu, ekonomi biaya tinggi juga terjadi akibat polemik bahan bakar minyak sebagai penggerak utama sarana tangkap para nelayan. Baru-baru ini, kelangkaan solar yang terjadi turut berdampak pada nelayan. Untuk mendapatkan solar, mereka harus mengantre cukup panjang di SPBU terdekat.
Namun, tidak semua nelayan mendapatkan jatah solar bersubsidi karena terganjal persyaratan dokumen. Akibatnya, mereka harus membeli solar eceran dengan harga yang lebih tinggi. Praktis, biaya operasional mereka pun kian besar. Padahal, BBM menjadi bagian vital dari aktivitas melaut dan biayanya mencapai 40 persen dari total biaya operasional.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Nelayan di Krueng Raya, Kabupaten Besar, Aceh bersiap melaut (3/4/2022). Nelayan Aceh kerap mengalami kelangkaan solar subsidi akibatnya mereka harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli solar nonsubsidi
Daya saing
Sejumlah faktor lain turut menghambat daya saing nelayan dan perairan di Indonesia. Cuaca ekstrem yang sering terjadi membuat frekuensi nelayan untuk melaut menjadi berkurang. Hasil penangkapan pun menjadi berkurang.
Apalagi, sarana tangkap nelayan Indonesia masih kurang memadai sehingga sangat rentan jika digunakan melaut saat cuaca tidak mendukung. Dari semua kapal tangkap di Indonesia, 90 persen berkapasitas kurang dari 10 GT.
Hingga akhirnya, pemerintah mengeluarkan program penyaluran bantuan 1.000 kapal Inka Mina berbobot mati di atas 30 ton untuk menggantikan kapal berkapasitas kecil. Program dilaksanakan pada periode 2009-2014 senilai Rp 1,5 triliun.
Namun, realisasi di lapangan justru sarat akan kepentingan sejumlah golongan. Bahkan hasil evaluasi menunjukkan program tersebut gagal lantaran kuantitas bantuan tidak sesuai dengan target yang ditetapkan. Fasilitas yang terdapat pada kapal pun tidak memadai dan memiliki standar yang berbeda-beda. Nelayan juga kesulitan mengoperasikan kapal lantaran pemberian bantuan tidak dibarengi dengan pembinaan.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Polda NTT menyerahkan bantuan bahan pokok kepada nelayan, berlangsung di tengah laut (18/42020). Selain bahan pokok juga laat pelampung dan masker bagi 100 nelayan di Kupang dan sekitarnya.
Sejumlah pakar menilai anggaran untuk perikanan masih sangat minim. Selama ini, negara masih cenderung fokus ke darat sehingga nelayan jarang memperoleh subsidi untuk memperkuat daya saing perikanan.
Lemahnya daya saing itu membuat perairan Indonesia diserbu ribuan kapal asing. Penangkapan ikan ilegal pun marak terjadi. Apalagi, kapal-kapal tangkap negara lain jauh lebih memadai daripada kapal nelayan Indonesia.
Belum lagi, serbuan ikan impor juga masih terjadi meski Indonesia menjadi salah satu net eksportir ikan. Pada 2021, nilai impor perikanan Indonesia mencapai 0,5 miliar dollar AS, naik 16,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai ekspornya pun naik, tetapi lebih kecil, yakni hanya 9,42 persen menjadi 5,70 miliar dollar AS. Meski sama-sama mengalami tren peningkatan, pertumbuhan nilai impor perikanan Indonesia jauh lebih curam daripada pertumbuhan ekspornya.
Kehadiran teknologi menjadi tantangan baru dalam upaya meningkatkan daya saing perikanan di Indonesia. Kesenjangan teknologi hulu-hilir antara nelayan dan industri pengolahan membuat nelayan Indonesia yang didominasi nelayan kecil akan semakin tertinggal.
Bagaimanapun, sejumlah upaya masih tetap harus dilakukan. Kebijakan yang lebih harmonis perlu kembali dirumuskan. Selain itu, nasib nelayan harus tetap diperjuangkan karena mereka adalah garda terdepan penjaga potensi bahari dalam negeri. (LITBANG KOMPAS)