Hidup Mati Nelayan di Laut yang Tergadai
Kapal asing pernah diizinkan beroperasi di perairan Indonesia saat Orde Baru. Kini, kebijakan serupa kembali menggiring nelayan tradisional terjun ke pertarungan bebas dengan pengusaha perikanan skala besar.

Kapal nelayan yang terbuat kayu, atau disebut juga pompong, berjejer di Pelabuhan Teluk Baruk, Desa Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Rabu (30/3/2022).
Matahari masih muda saat sebuah kapal kayu berukuran 4 groston (gt) mulai berlayar. Laki-laki berkulit legam dan berambut kaku membawa kapal itu meliuk-liuk di antara belasan kapal nelayan lain yang parkir di Pelabuhan Teluk Baruk, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Sabtu (26/3/2022).
Nelayan di kapal kayu itu adalah Rustam (48). Dengan kapal kayu atau pompong, ia pergi ke laut untuk mencari ikan tongkol di perairan yang berjarak sekitar 45 kilometer (km) dari pesisir timur Pulau Natuna Besar.
Mesin disel bertenaga 16 daya kuda di kapal itu meraung dan mengeluarkan bunyi klotok-klotok seperti kapal mainan anak-anak yang dijual di pasar malam. Bau solar perlahan merayap dari sela-sela papan di lantai kapal.
”Memang tak bisa ngebut, tapi mesin ini tak pernah mogok sekali pun,” kata ayah tiga anak itu dengan senyum bangga terkembang.

Rustam (48) berangkat ke laut untuk menangkap ikan tongkol dari Pelabuhan Teluk Baruk, Desa Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Sabtu (26/3/2022).
Rustam menjadi nelayan sejak usia 18 tahun. Ia mengalami dampak gonta-ganti kebijakan perikanan dari zaman Presiden Soeharto sampai Presiden Joko Widodo.
”Zaman Pak Harto, kapal ikan dari Thailand, Vietnam, dan lain-lain, boleh nangkap ikan di sini. Nelayan (kecil) seperti saya susah sekali karena ikan habis dikeruk kapal-kapal asing,” ujarnya membuka bercerita.
Pada 1985, pemerintah mengizinkan kapal ikan asing (KIA) beroperasi di perairan yang berjarak 12 mil ke atas dari pesisir atau disebut zona ekonomi eksklusif (ZEE). Hal ini menimbulkan banyak masalah.
Baca juga: Pemerintah Jangan Abaikan Nelayan Tradisional
Hingga 1989, jumlah KIA yang beroperasi di ZEE Indonesia tercatat 1.200 buah (Kompas, 15/5/1990). Namun, jumlah yang sesungguhnya diperkirakan jauh lebih besar dari data resmi yang dikeluarkan pemerintah.
Waktu itu, tak sedikit KIA beroperasi di perairan Indonesia dengan izin kedaluwarsa, atau hanya fotokopi izin, dan bahkan tanpa izin sama sekali. Selain itu, banyak KIA juga melanggar zona tangkap dengan beroperasi di bawah 12 mil (Kompas, 18/3/1996).

Sebuah perahu kayu nelayan bergerak menghindari hujan saat menangkap ikan tongkol di perairan yang berjarak sekitar 45 kilometer di sebelah timur Pulau Natuna Besar, Kepulauan Riau, Sabtu (26/3/2022).
Membaik
Menurut Rustam, jumlah KIA yang beroperasi di Laut Natuna perlahan berkurang setelah Orde Baru runtuh. Meski demikian, sebagian KIA masih terus menangkap ikan secara ilegal di perairan perbatasan Indonesia.
Intrusi KIA baru benar-benar surut saat pemerintah membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal pada 2015. Saat itu, ditetapkan prosedur penenggelaman langsung terhadap kapal ikan ilegal.
”Dua (atau) tiga tahun lalu enak, kapal asing tak ada (dan) ikan pun banyak. Mau nangkap (ikan) sampai ke perbatasan juga tak khawatir, banyak kapal aparat yang jaga,” ucapnya.
Matahari tegak lurus dengan langit saat GPS di pompong Rustam menunjukkan posisi kapal berada di perairan yang berjarak 45 km dari Pelabuhan Teluk Baruk. Ikan-ikan tongkol melompat-lompat di sekitar pompong.

Rustam (48) menyiapkan umpan yang terbuat dari beberapa jenis benang untuk memancing ikan tongkol di perairan yang berjarak sekitar 45 kilometer di sebelah timur Pulau Natuna Besar, Kepulauan Riau, Sabtu (26/3/2022).
Dengan sigap Rustam memasang mata pancing, lalu menganyam umpan tiruan dari benang wol. Ia kemudian mengikat dua joran di bagian kiri dan kanan kapal. Di setiap joran dipasang lima mata pancing. Lalu ia juga memegang satu senar dengan lima mata pancing yang diturunkan dari buritan.
Rustam membawa pompong-nya mengitari kawanan tongkol. Hanya beberapa menit kemudian, salah satu umpan disambar seekor tongkol. Dengan cekatan, ia menarik senar. Tongkol itu menggelepar kuat saat diangkat dari laut.
”Kalau siang begini (tongkol) sudah mau makan umpan, biasanya nanti dapat agak banyak,” katanya tersenyum sambil menaruh ikan ke dalam kotak es.

Rustam (48) menangkap ikan tongkol di perairan yang berjarak sekitar 45 kilometer di sebelah timur Pulau Natuna Besar, Kepulauan Riau, Sabtu (26/3/2022).
Setelah itu, ia meraih radio dan mengabarkan posisinya kepada nelayan lain. Satu per satu pompong lain mendekat. Enam pompong lain itu lalu ikut berputar-putar di jalur yang sama dengan Rustam.
Dari kejauhan, terlihat siluet para nelayan di buritan pompong masing-masing yang sibuk berkali-kali mengangkat ikan dari laut. Hal itu berlangsung terus menerus sampai matahari beranjak dari cakrawala.
Rustam menghitung tangkapan, dan berseru ”dapat 24 ekor nih,” Ikan yang ia tangkap hari itu kira-kira total beratnya 40 kilogram (kg). Tongkol itu nanti bakal ia jual ke pengepul dengan harga Rp 18.000 per kg.
Untuk modal menangkap tongkol, Rustam membeli solar Rp 150.000 dan es batu Rp 20.000. Setelah dihitung-hitung, nanti ia bakal mengantongi untung sekitar Rp 550.000 setelah ikan-ikan itu dijual kepada pengepul.
Baca Juga: KKP Gencar Promosikan Kontrak Penangkapan Ikan

Ikan tongkol tangkapan nelayan menunggu ditimbang di Pelabuhan Teluk Baruk, Desa Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Sabtu (26/3/2022).
Langkah mundur
Dalam perjalanan pulang menuju Pelabuhan Teluk Baruk, di kejauhan terlihat cahaya terang benderang di langit malam. Puluhan kapal pukat cincin (purse seine) berkerumun bak sebuah pulau yang penuh lampu.
”Sekarang makin banyak kapal besar dari luar daerah seperti itu. Kalau begitu terus, lama-lama habis ikan di laut kami ini,” ujarnya getir.
Belakangan Rustam juga mendengar tentang rencana baru pemerintah soal penangkapan ikan di Laut Natuna. Kawan-kawan Rustam bilang, pemerintah akan melelang laut untuk pengusaha besar dan kapal ikan asing.
”Kalau benar akan dilelang laut ini, (maka) hidup kami pasti hancur. Kapal-kapal besar alat tangkapnya lebih canggih, apa enggak mati kami kalau harus bersaing dengan mereka," ucapnya geram.

Perahu kayu Rustam (48) bergerak pulang saat matahari terbenam setelah menangkap ikan tongkol di perairan yang berjarak sekitar 45 kilometer di sebelah timur Pulau Natuna Besar, Kepulauan Riau, Sabtu (26/3/2022).
Yang dikhawatirkan Rustam itu adalah sistem kontrak penangkapan ikan untuk industri dalam negeri dan penanaman modal asing. Itu adalah bagian dari kebijakan penangkapan terukur di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI.
Dalam sistem kontrak itu, kuota penangkapan ikan yang ditawarkan kepada setiap badan usaha perikanan minimal 100.000 ton per tahun dengan masa kontrak berlaku 15 tahun dan dapat diperpanjang. Pemerintah berencana menerapkan kebijakan itu di enam zona pada 11 WPP, termasuk di WPP 711 yang mencakup Laut Natuna dan Laut China Selatan.
Dalam keterangan pers pada 17 Februari 2022, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyatakan, kebijakan penangkapan terukur perlu diterapkan untuk meningkatkan pendapatan negara. Kini, pendapatan negara dari sumber daya perikanan hanya ratusan miliar rupiah per tahun.
Menengok sejarah, pemerintah juga pernah menggunakan alasan yang sama ketika mengeluarkan kebijakan lisensi KIA untuk beroperasi di ZEE Indonesia pada 1985. Armada perikanan dalam negeri dinilai tidak memadai untuk memanen potensi perikanan nasional.
Namun, kenyataannya kebijakan itu menimbulkan segudang masalah. Lebih dari 60 persen KIA yang beroperasi di ZEE Indonesia melakukan transfer ikan di laut tanpa dokumen ekspor. Alih-alih menambah pendapatan negara, langkah itu justru mengakibatkan kerugian yang tak sedikit (Kompas, 18/3/1996).

Ketua Aliansi Nelayan Natuna, Hendri, saat ditemui di Pelabuhan Teluk Baruk, Desa Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (25/3/2022).
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri menilai, pemerintah sedang melakukan langkah mundur di sektor perikanan seperti yang pernah terjadi pada 1985 sampai akhir 1990-an. Kebijakan penangkapan ikan terukur akan memaksa nelayan tradisional kembali terjun ke pertarungan bebas dengan pengusaha perikanan skala besar.
”Sesuai namanya, kebijakan penangkapan terukur seharusnya mencegah penangkapan ikan yang berlebihan. Namun, yang akan terjadi justru sebaliknya, karena kebijakan itu ternyata adalah strategi pemerintah untuk melelang laut kepada pengusaha besar,” kata Hendri, Selasa (29/3/2022).
Langkah pemerintah yang kini bersiap memberlakukan sistem kontrak penangkapan ikan membuktikan politik belah bambu yang pernah ditulis 23 tahun lalu di Kompas masih juga terjadi di Laut Indonesia. Nelayan tradisional yang lemah terus diinjak, sedangkan pengusaha perikanan skala besar yang kuat semakin diangkat.
Baca Juga: Kebijakan Penangkapan Terukur untuk Siapa