Ada usulan agar ASEAN lebih banyak mendengarkan suara rakyat Myanmar. Jalurnya, antara lain, lewat AICHR. Aspirasi itu bisa jadi bahan pengambilan keputusan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Sudah setahun krisis politik, yang dipicu kudeta militer pada 1 Februari 2021, melanda Myanmar. Perhimpunan Bangsa- bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pun sudah berupaya mencari jalan keluar dan upaya penyelesaian atas konflik di negara itu. Lima poin konsensus para pemimpin ASEAN tanggal 24 April 2021 hingga kini menjadi panduan yang disepakati, termasuk oleh Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing, penguasa de facto di Myanmar, untuk menyelesaikan krisis tersebut.
Namun, sembilan bulan berlalu, tak juga ada kemajuan dalam implementasi lima poin konsensus itu. Hingga kini, ter- lihat junta Myanmar tidak menunjukkan niat dan kemauan melaksanakan lima poin konsensus ASEAN. Jika terus-menerus seperti ini, adakah jalan alternatifnya?
Sebelum membahas jalan alternatif itu, perlu kiranya mengingatkan isi lima poin konsensus ASEAN: penghentian kekerasan dan sikap menahan diri oleh semua pihak di Myanmar, dialog konstruktif semua pihak, penunjukan utusan khusus ASEAN, bantuan kemanusiaan, dan kunjungan utusan khusus untuk bertemu semua pihak. Dari kelima poin itu, baru satu terlaksana, yakni penunjukan utusan khusus ASEAN, yang tahun ini dijabat Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn seiring posisi negaranya sebagai ketua ASEAN.
Akankah ada kemajuan dalam implementasi lima poin konsensus? Penting bagi negara-negara ASEAN lain, terlebih Indonesia, yang kerap diposisikan sebagai pemimpin tradisional di kawasan, untuk terus mengawasi dan mengontrol langkah Kamboja. Jangan sampai posisi keketuaan ASEAN dimanfaatkan Kamboja untuk memberi angin kepada Tatmadaw.
Tepat peringatan Presiden Joko Widodo kepada Perdana Menteri Hun Sen, sebelum dan setelah kunjungannya menemui Min Aung Hlaing di Myanmar, 7 Januari lalu, agar Kamboja berpegang teguh pada lima konsensus ASEAN. Tepat pula, peluang kehadiran ”menlu junta” Wunna Maung Lwin ditolak pada pertemuan menlu ASEAN, 16-17 Februari ini.
Jalan alternatif ASEAN untuk menyelesaikan krisis Myanmar itu, antara lain, dikemukakan Perwakilan Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) Yuyun Wahyuningrum. Ia melontarkan gagasan, selain jalur diplomasi resmi, ASEAN perlu membuka ruang lebih luas untuk mendengarkan keluh kesah warga Myanmar. Dalam hal ini, AICHR diharapkan bisa menjadi saluran aspirasi rakyat Myanmar. Laporan AICHR nantinya bisa digunakan sebagai basis ASEAN mengambil langkah atas isu Myanmar.
Diakui, gagasan itu tidak mudah direalisasikan mengingat masih ditutupnya akses langsung pada pihak-pihak di Myanmar. Namun, di tengah pampatnya diplomasi untuk mengimplementasikan lima poin konsensus ASEAN, berbagai terobosan perlu dicoba dan dipertimbangkan, termasuk wacana yang berkembang di kalangan pengamat mengenai pembekuan sementara keanggotaan Myanmar di ASEAN.