Lonceng Gereja
Dalam perjalanan pulang, kepala Herman dipenuhi oleh bayangan sosok istri dan anaknya.
Herman memutuskan untuk pulang dari perjalanan panjangnya setelah sekian lama.
**
Dalam perjalanan pulang, kepala Herman dipenuhi oleh bayangan sosok istri dan anaknya. Ia mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali ia berkumpul bersama Lestari dan Kinanti anaknya. Namun, Herman kesulitan mengingat waktu-waktu yang telah lewat. Begitu banyak hal yang terlupakan, Herman merasa seperti amnesia.
”Ah bukankah hal itu tak seberapa penting. Toh, sebentar lagi aku akan bertemu dengan istri dan anakku,” gumam Herman pada diri sendiri.
Di perhentian terakhir, Herman melangkah turun dari kendaraan yang ditumpanginya. Herman memutar leher meneliti wajah kota tempat tinggalnya. Cukup lama ia memperhatikan kota tempat tinggalnya, namun entah mengapa kota itu terasa begitu asing. Kota itu begitu hening.
”Ini hanya perasaanku saja,” Herman membatin, menyaksikan keheningan kota yang cukup lama ia tinggalkan. Sungguh aneh pikir Herman, karena ingar-bingar di kota ini pergi menghilang, dan baginya itu merupakan hal yang mustahil, walaupun kini nyatanya kota yang ada di hadapannya begitu sepi bagai kuburan.
Herman melangkahkan kakinya menyusuri jalanan dan perlahan ia mendapati beberapa orang di kota itu, tetapi Herman tak mengerti mereka semua terlihat asing sama asingnya dengan kota itu, bukan karena Herman tak mengenali satu pun penduduk kota kecil itu. Bahkan Herman mengingat wajah setiap orang yang ditemuinya, akan tetapi tak satu pun nama mereka yang Herman ingat. Herman melempar senyum pada setiap orang yang bersitatap dengannya, tetapi tak satu pun dari mereka menanggapi senyum ramah Herman. Hati Herman kecut.
”Mungkin orang-orang ini sadar bahwa aku lupa nama mereka,” lagi-lagi Herman bergumam untuk dirinya sendiri.
Tak ambil pusing, Herman meneruskan langkahnya. Sepanjang jalan Herman melamunkan adegan bahagia yang penuh haru ketika anak dan istrinya mendapati kepulangan Herman. Herman tersenyum sendiri. Orang-orang yang melihatnya masih tetap acuh. Herman terbangun dari lamunannya setelah hampir mingslup karena tersandung batu, ia menyadari telah hampir satu jam berjalan kaki dan tak juga sampai ke rumahnya sendiri. Herman celingukan mencoba mengingat jalan pulang.
”Sial kini aku lupa ke mana jalan pulang.”
Herman berbalik arah kembali menuju jalanan yang cukup ramai. Di tengah-tengah perjalanannya, Herman menghampiri seorang lelaki paruh baya.
”Tuan, ke manakah arah menuju St Evenue?” tanya Herman. Lelaki itu tak menjawab pertanyaan Herman. ”Tuan, apakah Anda dapat memberi tahu saya ke mana arah menuju St Evenue?” ulang Herman, namun lelaki itu tetap tak menggubris Herman. Herman memandangi lelaki itu, mungkin kini dia sudah menjadi tuli, gumamnya dalam hati.
Herman beranjak dari lelaki paruh baya itu. ”Nyonya, dapatkah Anda tunjukkan jalan menuju St Evenue?” Kini Herman bertanya pada seorang perempuan tua, ia mengingat wajah perempuan itu, namun lupa namanya. Perempuan tua itu bersikap sama dengan lelaki paruh baya tadi, tak menghiraukan pertanyaan Herman. Sekali lagi Herman coba bertanya, ”Nyonya, mohon maaf. Apakah Anda dapat menunjukkan jalan menuju St Evenue?” Namun, perempuan tua itu tetap tak menjawab. Mungkin wanita tua ini pun sudah menjadi tuli, pikir Herman.
Baca juga : Pohon di Tengah Telaga
Kini Herman berjalan menghampiri dua orang pemuda dan pemudi. ”Apa kalian dapat menunjukkan jalan menuju St Evenue?” Pemuda dan pemudi itu bersikap sama, tak menggubris pertanyaan Herman. Wajah Herman merah padam, ingin ia memaki. Namun sebagai seorang Katolik yang taat, ia mengurungkan niatnya. Herman tak mau ambil pusing, biarpun ia begitu jengkel, ia tetap melanjutkan perjalanannya, ia menyusuri blok-blok sepanjang jalan yang semakin terasa asing. Setelah hampir dua jam ia menyusur dan menyisir jalan beraspal abu-abu itu, senyumnya terkembang, ia gembira karena menemui sebuah plang bertulis St Evenue.
Herman buru-buru berjalan ke arah utara, ia mengamati bentuk bangunan yang berada di hadapannya setelah tiga blok ia lewati. ”Sial, di mana gedung tempatku tinggal?” tanya Herman pada dirinya sendiri.
Karena lupa, Herman terpaksa menaiki dan menyusuri setiap gedung yang ada di blok itu. Setelah cukup lama mencari-cari akhirnya ia menemukan sebuah rumah dengan papan namanya yang tergantung di depan pintu. Ia merogoh saku celana jeans-nya yang kumal, tak ia temukan kunci rumahnya. Herman mengetuk pintu rumahnya yang terkunci. Tak ada orang. Herman terpaksa menunggu, padahal ia telah tak sabar menemui kedua orang yang paling ia cintai. Setengah jam berlalu, senyum Herman terkembang melihat Lestari dan Kinanti berjalan menghampirinya dari arah seberang.
Namun, tiba-tiba hati Herman kecut. Kedua orang yang paling ingin ia temui melewatinya begitu saja dengan wajah sembab. Ketika Herman hendak mengejar istri dan anaknya yang mengenakan pakaian serba hitam ke dalam rumah, lonceng gereja berdentang terdengar begitu nyaring, bunyi lonceng itu mengingatkan Herman pada sesuatu, sesuatu selain Lestari dan Kinanti.
”Ah, hari ini adalah hari peringatan kematianku,” seru Herman pada dirinya sendiri.
***
Jagad Wijaksono, aktif di komunitas Ngamparboekoe Cimahi. Menulis cerpen dan puisi, beberapa puisi terbit di media lokal dan termuat dalam antologi berjudul 3 Dermaga dan Bintang di Pulau Garam (Sastra Bunga Tunjung Biru, 2017)