Pohon di Tengah Telaga
Ranggas telah tertawan tubuh dan jiwanya oleh jin-jin penunggu hutan Madapi. Ranggas berburu binatang liar sampai ke hutan, dan tak bisa menemukan jalan pulang.
Mimpi itu mendatangimu setiap malam. Membuat jiwamu seperti dialiri kedamaian dan kesejukan yang tak pernah kau rasakan selama ini. Ah, mengapa pagi begitu cepat menyibak malam. Kau berharap agar siang yang kerontang ini segera berlalu. Sore hanya singgah sesaat. Dan malam yang pekat tapi menenangkan itu akan kembali tiba.
Sungguh, betapa kau merindukan cengkeraman malam, sesuatu yang jauh hari sebisa mungkin kau enyahkan dari siklus waktu hari-harimu.
Ya, aku tahu, semua itu bermula dari kepergian Ranggas dari hidupmu. Kata orang-orang asli daerah ini, Ranggas telah tertawan tubuh dan jiwanya oleh jin-jin penunggu hutan Madapi. Ranggas berburu binatang liar sampai ke hutan yang paling dalam, dan tak bisa menemukan jalan pulang. Ia telah melanggar larangan adat untuk tak merambah daerah itu.
”Itu omong kosong. Lelaki itu bukannya tak bisa pulang. Ia lebih memilih peri Madapi daripada perempuan pendatang sepertimu,” kata perempuan paruh baya itu.
”Lupakan dia, Wilis!”
Kau tak membantah kata-kata ibumu. Kau hanya menebak-nebak maksudnya. Namun, ia adalah orang yang begitu kau percaya. Keluarga satu-satunya yang kau punya di tanah yang bagimu terasa asing ini.
Dan kemudian kau mulai melewati hari-hari tanpa Ranggas. Membuang jauh segala kenangan bersama lelaki bertubuh kurus itu. Sampai kemudian satu demi satu seperti menghilang dan menjauh dari dirimu.
Ibumu menyusul kakek dan nenekmu—berpulang ke alam baka ketika kau masih belia, tanpa sakit atau tanda apa pun sebelumnya. Mungkin ia menanggung beban pikiran terlalu berat yang tak mau ia bagi denganmu. Hidupmu kemudian bergerak tanpa arah. Kau limbung. Tak tahu harus bersandar kepada siapa ketika pikiranmu kusut tak berkesudahan.
**
Kau memang lahir di daerah ini, tapi benihmu disemai di negeri jauh. Tanah Jawa bagian selatan yang konon masih merupakan bagian dari pusat sebuah kebudayaan besar. Semua cerita tentang riwayatmu kau peroleh secara samar dari orang-orang yang dulu merantau secara bedol desa. Ibumu ada dalam rombongan itu. Tetapi perempuan itu selalu menutup rapat mulutnya jika kau tanya tentang riwayatmu. Terutama tentang siapa ayahmu.
”Tak penting kau tahu siapa dia. Ia telah terkubur di dasar telaga. Kita memulai hidup baru di sini,” kata-kata ibumu selalu terngiang di telinga. Ada kabut di mata yang berusaha ia tahan agar tak tumpah menjadi derai air mata.
Kau pun tak bertanya lagi tentang hal itu. Hari-hari kau lalui seperti biasa. Setelah tamat sekolah menengah atas, seperti kebanyakan perempuan di daerah trans ini, bekerja di kota atau menikah. Kau memilih bekerja di kota. Tak betah dengan upah yang tidak seberapa tetapi tenaga dikuras tiada henti, kau akhirnya pulang. Ibumu berpeluh keringat di ladang seorang diri. Meski seorang perempuan, kau ingin menemaninya menggarap lahan. Itu membuat keputusanmu berhenti bekerja di kota menjadi semakin terang.
Lalu laki-laki itu menawarkan harapannya kepadamu. Ia orang asli Padang Ulak Tanding. Tauke karet yang mempunyai pengaruh besar di kawasan ini. Dengan pengaruh dan kekayaannya, laki-laki itu akan membuat hidupmu lebih mudah. Tak perlu terlalu bekerja keras mengurus lahan, kau dan ibumu bisa lebih tenang menjalani hidup.
Tetapi itu cuma sebatas impian saja. Awalnya, pernikahanmu dengan Tisman disambut dengan sukacita, walau tentu saja, kau hanya menjadi perempuan kesekian baginya. Kau memasuki gerbang istana kebahagiaan yang kau idam-idamkan semenjak kecil. Kau berusaha setia dan tulus melayani laki-laki itu. Tetapi nyatanya, istana itu hanya fatamorgana semata. Laki-laki itu lupa dengan kata-katanya. Ia hanya menginginkan tubuhmu. Setelah bosan, ia melepasmu dari istana itu. Beruntung kau tak sempat punya darah daging darinya.
”Sudahlah, Wilis. Tak perlu menyesal. Seorang perempuan harus tangguh membawa nasibnya sendiri!” kata ibumu ketika kau dilihatnya meneteskan air mata untuk pertama kalinya.
Kau memang perempuan tangguh. Tanpa ingin membuktikan kepada siapa pun, kau bisa segera melupakan semua itu. Yang ada dalam benakmu hanyalah kebersamaan dengan ibumu. Bagaimana kau bisa terus menemani dan membuatnya bahagia meniti hari-hari.
Tubuhmu dulu terlihat berisi dengan kulit sawo matang yang bersih, kini kurus dan menghitam karena banyak terpanggang matahari siang yang garang. Kau dan ibumu merawat lahan trans itu dengan sepenuh hati. Kau hayati petuah ibumu, menjadi petani yang tahan banting melawan cuaca dan nasib. Mungkin jiwa ulet itu tanpa kau sadari turun dari leluhurmu di tanah jauh sana. Meski tak mudah, namun hidupmu berjalan tanpa gejolak yang berarti.
Hingga Ranggas hadir dalam hidupmu. Ia seperti halnya Tisman, orang asli daerah ini. Tetapi pada Ranggas kau temukan sosok yang lain. Ia lebih muda darimu, namun dari perlakuannya, kau rasakan sebuah ketulusan yang tak dibuat-buat.
”Aku ingin menikahimu, Wilis…,” kata-kata itu selalu terngiang di telingamu.
”Aku seorang janda. Keturunan perantau yang miskin. Hidupku ditelikung kesusahan…,” kau sebenarnya tak berharap banyak pada Ranggas. Namun kau senang, bahwa lelaki itu tanpa diminta sering membantumu di lahan.
”Kau mungkin ragu padaku. Tapi kelak aku akan membuktikan ucapanku. Tunggulah sampai semuanya siap. Aku akan segera meminangmu,” kau tahu ada kesungguhan di bibir Ranggas, tapi kau selalu ingat kata-kata ibumu.
”Sudahlah, Ranggas. Kita jalani saja hidup ini apa adanya. Aku senang kau selalu ada di dekatku….”
”Lebih dari itu, Wilis. Kelak kita akan bersatu. Kau adalah bintang di antara gemintang, dan aku adalah pekat malam. Kau adalah bintang yang bersinar menghiasi malam, membuatnya indah dan tak menakutkan bagi siapa pun yang mengarunginya,” kata-kata Ranggas itu membekas di hatimu setelah kepergiannya yang tiba-tiba.
Beberapa tahun kau benar-benar menghayati malam. Waktumu kau gunakan sepenuh hati untuk menanti Ranggas. Kau merasa malam yang kadang gerah, kadang juga dingin menusuk tulang adalah Ranggas yang memelukmu dalam suka dan derita. Sampai mentari menyibak gelap, kau baru sadar penantianmu sia-sia.
Kehadiran Ranggas sangat berarti bagimu. Sesuatu yang dari dulu berusaha kau ingkari, tapi sesungguhnya sangat berat kau lepaskan. Kau melihat Ranggas sebagai bayang-bayang malam yang tak dapat kau temui di kenyataan. Perlahan, kau mulai membenci malam. Kau ingin lepas dan berlari dari cengkeramannya. Tentu saja hal itu tak mungkin dapat kau lakukan. Malam makin menyiksamu. Orang-orang berpikir jiwamu telah pergi jauh dari tubuhmu. Meski kau kadang berkata-kata, menjerit panjang atau bahkan tertawa sepanjang malam, tapi jiwamu telah melayang bersama kepergian Ranggas, dan kematian ibumu setelah itu.
Mereka tak banyak menolongmu, hanya membuat tubuhmu semakin rapuh dengan beberapa cibiran dari mulut-mulut yang sempat kau dengar lewat embusan angin di tanah trans yang kau rasa semakin asing ini.
Tetapi tanpa kau sangka perlahan malam berubah menjadi sebuah anugerah. Awalnya kau berpikir itu hanya kebetulan semata. Tak akan berulang pada malam-malam setelahnya. Sungguh, di luar perkiraanmu yang terus didera rasa putus asa, mimpi itu ternyata berulang. Dan terus berulang setiap malam. Bahkan tak ada malam yang terlewat dari mimpi yang nyaris sama itu.
Mimpi yang menenangkanmu. Melupakan harapan-harapan yang kandas. Mengusir rasa sepi yang berlarat-larat. Membuat semangatmu kembali nyala menghadapi hidup yang tak mudah sepeninggal orang-orang yang kau cintai.
Angin bertiup pelan dan terasa nyaman ketika menerpa tubuhmu. Kau terbang mengikuti kata hati. Menerobos hutan-hutan kecil yang menghijau. Melampaui bukit-bukit yang bertebaran. Kicauan burung dan aneka suara satwa kadang sayup terdengar di telinga. Sampailah kau di tengah gugusan bukit. Terlihat sebuah telaga dengan air yang begitu jernih. Telaga itu dari atas terlihat berkelok di antara kaki bukit dengan hamparan yang lebih luas di sebuah ceruk yang menyerupai lembah. Oh, sungguh sebuah lanskap alam yang belum pernah kau lihat selama ini.
Matamu terasa nyaman dan mengerjap di bawah arakan awan yang teduh. Menatap seleret tanah di hamparan telaga. Sebatang pohon tumbuh di atasnya. Engkau tak tahu pohon apa itu. Mungkin trembesi, tapi kau rasa bukan. Pohon itu lebih tinggi dan rimbun daripada trembesi. Tampak menghijau dari kejauhan. Ada sesuatu yang menarik hatimu di antara rimbun pohon itu. Matamu terus mengamati sesuatu di tengah telaga. Engkau ingin menuju ke sana, menggapai rahasia yang ada di dalamnya. Tetapi tak pernah bisa. Engkau selalu tergeragap bangun ketika tubuhmu melayang hampir mendekatinya. Begitu terbangun, ada sesuatu yang tak bisa kau jelaskan tentang perasaanmu. Kedamaian dan kesejukan melingkupi jiwamu sampai pagi tiba.
Rasa penasaran pun mulai menggelayutimu. Mimpi itu pasti bukan kebetulan. Kau seperti mengenal tempat itu, tapi entah di mana. Ada sesuatu di balik mimpi itu. Sesuatu yang kau tak tahu bagaimana harus mengurainya. Kau berusaha mencari benang merah antara mimpi itu dengan peristiwa-peristiwa yang ada dalam hidupmu. Namun tetap saja tak dapat kau temukan jawabnya.
Sampai akhirnya kau memberanikan diri menemui laki-laki itu. Ia berasal dari daerah yang sama dengan ibumu, bahkan konon masih kerabat jauh, namun kau tak pernah akrab dengannya. Pakdhe Giyatno adalah salah satu yang dituakan di antara para transmigran di daerah ini. Ia juga pernah menjadi perangkat desa di Taktoi.
”Aku bahagia kau mau datang padaku, Wilis. Dari dulu aku sebenarnya ingin membantu keluargamu. Tetapi ibumu tak pernah mau menerimaku. Aku prihatin dengan beberapa peristiwa yang menimpamu. Aku senang kau bisa melewatinya,” lelaki itu menyambutmu dengan raut muka tenang.
”Saya sekarang seorang diri, Pakdhe. Tak punya siapa-siapa. Saya hanya ingin tahu beberapa hal tentang hidup saya…,” kau berusaha menata hatimu di hadapan laki-laki tua itu.
Pakdhe Giyatno seperti berusaha menarik ingatan dari masa lalu. Rokok yang sedari tadi diisap segera ia matikan di asbak.
”Beberapa tahun lalu ada rombongan pemerintah daerah dari suatu kabupaten datang ke sini. Diantar oleh para pejabat Rejang Lebong, mereka ingin menemui orang-orang trans dari daerah mereka. Ya, mereka adalah para tokoh dari daerah asal kita. Rombongan itu ingin merekatkan kembali tali persaudaraan sekaligus mengucapkan terima kasih atas pengorbanan kami dahulu, merelakan segalanya demi sebuah pembangunan. Kami pun menyambut mereka dengan baik. Mereka berharap suatu saat bisa membawa kita menengok kampung halaman yang katanya sekarang telah makmur dengan dibangunnya waduk itu. Tetapi aku sudah tua, belum tentu aku bisa sampai ke sana…,” bibir Pakdhe Giyatno tampak sedikit gemetar mengucapkan kalimat demi kalimat. Matanya berkaca-kaca.
”Apakah daerah itu bernama Kulon Progo, Pakdhe?” kau berusaha menyelisik lebih lanjut.
”Benar, Wilis. Tetapi aku tak bisa bercerita banyak. Mumpung kau masih muda, datanglah ke tempat itu. Beberapa pertanyaan yang selama ini mengganjal dalam benakmu, mungkin akan kau temui jawabnya disana,” itu kalimat terakhir Pakdhe Giyatno sebelum menutup pembicaraan. Ia tak mau lagi menjawab tanyamu kemudian.
Angin berembus pelan di Desa Taktoi. Awan putih di langit biru berarak ke timur seperti ingin mengabarkan kepada semesta tentang keinginanmu menelusuri silsilah hidup di tanah seberang. Semua sudah kau siapkan jauh hari. Tapi aku tahu kau mempunyai rencana lain.
**
Baca juga : Adakalanya Malaikat Menangis
Akhirnya kau tiba di tanah leluhurmu, orang juga menyebutnya dengan nama Bumi Menoreh. Dengan pesawat terbang jarak Rejang Lebong dan Kulon Progo sebenarnya tidaklah terlalu jauh. Mungkin hanya dua jam. Kau bisa turun di bandara baru yang ada di pinggir laut, beberapa menit dari Waduk Sermo.
Tapi kau ingin merasakan jejak mereka dahulu. Maka kau pilih bus kelas ekonomi. Dua malam tiga hari kau terguncang-guncang di atasnya. Itu masih lebih bagus dari cerita mereka. Hari itu, tanggal 27 Desember 1990, dengan sepuluh bus rombongan itu meninggalkan Hargowilis yang sekarang telah menjadi waduk besar ini. Dengan ikhlas dan semangat baru mereka merelakan tanah dan pekerjaan yang mereka miliki, melayarkan harapan ke tanah seberang. Melewati pergantian tahun yang sunyi. Mereka baru tiba pada tanggal 4 Januari 1991 di Rejang Lebong.
Engkau Wilis, saat perjalanan panjang itu sudah ada dalam perut ibumu.
”Lalu siapa ayah kandungku? Di mana ia, masih hidup atau sudah tiada?”
Orang tua yang tak kau kenal itu hanya tersenyum. Ia yang menuntunmu lewat tanda-tanda ganjil hingga ke tempat ini.
”Dia lenyap bersama timbulnya waduk.”
Banyak tanya berkecamuk dalam hatimu.
”Mengapa ayahku tidak ikut ibu ke Rejang Lebong?”
”Kakek dan nenekmu, orangtua ibumu, tidak merestui hubungan itu. Tetapi mereka nekat melakukannya.”
”Mengapa kakek dan nenek tidak merestui?”
”Ayahmu keturunan orang merah. Ia banyak mempertanyakan hal-hal yang menurut pikirannya jauh dari rasa keadilan dan kemanusiaan. Tapi percayalah, ayahmu akhirnya mendukung sepenuhnya pembangunan waduk ini. Untuk itulah, ia melenyapkan dirinya di antara derasnya air pada awal pembangunan waduk….”
Kau tak percaya kata-kata orang tua itu. Engkau menganggap orang tua itu hanya halusinasi semata. Banyak hal yang kau temui tidak menemukan titik terang. Tetapi saat ini, tak ada sesuatu yang bisa kau lakukan.
Malam itu kau berjalan di bibir waduk. Dermaga sunyi dan lengang. Purnama penuh di atas waduk. Air berkilauan tertimpa cahaya rembulan. Bintang bertebaran di angkasa. Kau mendayung sampan itu ke tengah seorang diri. Sebuah daratan kecil samar terlihat di kejauhan. Sebatang pohon rimbun itu ada di sana. Kau mereka-reka wajah ayahmu. Mengingat kakek dan nenekmu. Juga ibumu dan Ranggas yang selalu kau rindu.
Kau terus mendayung sampan ke tengah waduk. Terus mendayung. Kedamaian dan kesejukan itu merasuk dalam jiwamu. Kau tak pedulikan semuanya. Terus mendayung sampan hingga senyap yang singup itu melenakan segalanya.
Aku yang bercerita ini adalah dirimu yang lain. Kakang kawah adi ari-ari yang menemanimu di mana pun kau berada. Malam itu adalah malam paling indah di Waduk Sermo.
**
Sebuah cerita buat para pencinta malam.
***
Imam Wahyudi, seorang ASN yang gemar menulis dan membaca. Cerpen-cerpennya dipublikasikan di beberapa media cetak, seperti Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Lampung Post, Jurnal Medan, Jurnal Nasional, Magelang Ekspres, dan Suara Merdeka. Buku antologi cerpen yang memuat karyanya antara lain Kumcer Joglo 7 (Mengeja September), Tiga Peluru (Kumpulan Cerpen Pilihan Minggu Pagi), Kota Tanpa Wajah (Antologi Cerpen Bengkel Sastra Surakarta), Tepung (Antologi Cerkak Dinas Kebudayaan DIY)