Semangkuk Mi Ayam dan Kenangan
Aku baru mengetahui. Selama ini yang ku ketahui bahwa aku adalah roh gentayangan yang tersesat. Tersesat di dunia yang seharusnya sudah aku lewati.

Hujan sayup-sayup mulai membasahi jalanan kota kecil ini, lampu-lampu jalanan terang benderang menerangi kegelapan malam, dedaunan jatuh dari pohon asem setelah dihempas angin kencang dari arah timur. Jalanan sepi, para manusia sibuk kembali ke bilik kehangatan; rumah-rumah yang hangat bersama keluarga, para tukang gorengan dan ojek pengkolan juga sudah pulang setelah seharian mencari rezeki.
Aku masih sibuk mencari tempat di mana harus berteduh. Mencari kehangatan di tengah malam yang hujan setelah kilatan petir dan gemuruh sejak hari menjelang petang tadi. Mencari rumah-rumah kosong ke sana-sini, tempat-tempat yang terbengkalai atau rumah-rumah warga kota sekalipun yang bisa aku tumpangi setiap hujan datang.
”Sial. Kenapa harus setiap malam hujan sih,” gerutuku, terus terbang mencari tempat berteduh. Tidak semua tempat kosong bisa dijadikan tempat berteduh, bukan karena tempatnya tidak enak atau jelek, tetapi entitas yang sudah menempati terlebih dahulu enggan berbagi tempat denganku. Dan aku masih berkeliling kompleks perumahan mencari tempat berteduh.
Aku singgah ke sebuah rumah bergaya arsitektur peninggalan Belanda di persimpangan jalanan sudut kota, sedikit remang dengan lampu bohlam yang meredup. Sekujur badanku sudah basah—itu sudah jelas—dan aku tak menyukai ini. Kesiur angin tenang menambah dingin cuaca malam ini. Aku menyeka air yang membasahi badanku dengan tanganku, walaupun sebenarnya aku tidak tahu apa ini berefek padaku atau tidak. Berdiri di depan teras rumah Belanda ini; mengoceh tak jelas.
Aku bosan. Itu saja. Bagaimana tidak, setiap hujan mengguyur kota kecil ini aku terus saja kesusahan mencari tempat berteduh. Sebagai roh gentayangan yang tak memiliki tempat berlindung; seperti hujan misalnya, aku terus merasakan dikucilkan bahkan di alam yang berbeda sekalipun. Untungnya, malam ini setidaknya ada rumah tanpa penjaga atau entitas yang kuat yang bisa mengusirku tanpa ba-bi-bu seperti biasanya. Aku sedikit penasaran, tapi tidak memiliki keberanian lebih. Rumah ini sedikit membuatku penasaran.
Kolam ikan mas di sebelah taman cukup membuat ingin memberinya makan, mereka terlalu lucu dengan mulut yang terus menguap-uap kelaparan. Rumah ini tampak terawat, menjaga kemurnian arsitekturnya yang masih klasik berkonsep hunian tropis. Ah, bagaimana bisa aku masih memikirkan siapa yang merancang sedemikian rupa rumah ini.
”Kok aku baru tahu ada rumah sebagus ini?” gumamku terkesima dengan isi rumahnya yang rapi; terlihat deretan buku-buku mengisi rak lemari, sofa kayu jati dan hiasan berbahan keramik. Aku yang masih di luar rumah ini hanya bisa mengaguminya.
”Drek”, bunyi gerendel pintu terdengar dari arah samping. Aku mengintip, tampak seorang pria menggunakan celana pendek sebatas lutut, mengenakan hoodie berwarna biru dengan payung yang menutupi bahu sampai ke wajahnya keluar dari rumah.
”Mau ke mana dia malam-malam begini?” Gerutuku, aku tak banyak pikir karenanya. Ketika aku memilih berteduh karena tak memiliki tempat berlindung, tetapi pria itu malah keluar rumah ketika hujan cukup deras. Dasar aneh!
Masih sama, aku leyeh-leyeh sambil memperhatikan diriku di depan jendela kaca yang transparan. Aku menatap diriku sendiri, wajah pucat-pasi, pipi sedikit gembul dan rambut yang dikuncir ke belakang, mengenakan baju potongan yang tak senada antara baju dan celana. Aneh, aku sempat berpikir apakah selera pakaianku saat aku hidup sejelek ini? Sampai-sampai ketika aku menjadi roh gentayangan pun menggunakan pakaian sejelek ini.
”Kenapa aku mati?” ucapku. Menatap jendela kaca itu sekali lagi. Suasana menjadi hening. Bagaimana aku bisa lupa dengan kematianku sendiri. Apa penyebabnya dan kenapa aku terjebak di dunia ini? Ini semua masih tanda tanya untuk diriku saat ini. Di tengah rasa ketidaktahuanku, pria yang keluar dari rumah ini kembali datang dengan sebungkus plastik berwarna hitam. Tercium bau makanan tak asing di hidungku.
”Ah. Mie ayam.” Semringah, aku bisa melihat senyumku di pantulan jendela. Aku merasa aneh melihat senyum ini ketika aku sudah mati. Ah, biarlah. Lagian, siapa yang peduli aku sudah mati. Tapi mie ayam itu sanggat menggodaku.
Aku masih mengintip dari luar rumah, pria itu mengenakan hoodie yang awalnya seperti baju kaos biasa. Lalu membuka isinya, dua bungkus mie ayam yang kuah dan mie terpisah. Dua mangkok tersedia di atas meja. Aku ngiler, benar-benar ingin merasakan mie berkuah itu. Aku hanya bisa mengecap lidahku sendiri. Meratapi nasibku sebagai hantu perawan yang ingin makan mie ayam itu.
Sebentar, dia membeli dua bungkus mie ayam? Lalu satu bungkusnya buat siapa? Aku mengerutkan dahi. Sedari tadi aku mencoba mendeteksi isi rumah peninggalan Belanda ini dengan merasakan energi kehidupan. Dan hanya menangkap satu energi kehidupan, yaitu pria yang mengenakan hoodie itu saja yang ada di rumah ini. Tiba-tiba ia menoleh ke arahku.
Deg! Mata kami saling menatap beberapa detik. Bertautan. Kali ini aku bisa melihat jelas wajahnya yang tirus, rahang yang kuat dan hidung yang mancung dengan mata bulat menatapku seperti mengetahui keberadaanku. Sial. Bukannya senang karena aku bisa dilihat olehnya, aku malah gelagapan, lekas pergi dari rumah ini secepat kilat.
Brrrr! Dengan jurus baruku di dunia gaib ini aku terbang melarikan diri. Ini kali pertamanya seseorang menatapku tanpa rasa takut atau mengintimidasi diriku yang sudah berbeda alam. Berbeda dengan manusia lainnya.
”Sial. Kenapa dia bisa melihatku. Bisa-bisanya aku seperti gadis yang ketahuan mencuri mata ke dia…," menghakimi diri sendiri sambil terbang mencari tempat berteduh yang lain di tengah hujan malam.
**

”Aku lapar,” menatap gerobak mie ayam di ujung gang jalan Petamburan. Aku menopang dagu, duduk di tepi jalan sendirian. Meratapi diriku yang sudah menjadi hantu ke sekian kalinya. Tiba-tiba angin pelan datang mendekat. Ya, aku sudah mengenalnya. Bahkan bisa dibilang kami sudah berteman sebagai sesama hantu. Dia Brendo, si Poci yang mengenalkan dirinya sebagai anak STM yang hobi tawuran. Itu hidupnya dulu, sebelum akhirnya satu gir motor menancap di kepalanya yang menyebabkan dia tewas di tempat. Gir motor itu sampai saat ini masih tertancap di kepalanya bahkan ketika ia menjadi hantu poci; pocong.
”Sendirian aja neng. Abang temenin ya,” godanya, duduk di sebelahku dengan tangan terikat. Melihatnya lalu kembali ke acara memantau gerobak Mang Eko berharap diantar semangkuk hangat mie ayam buatannya. Aku pernah berpikir, apakah si Brendo ini dulunya buaya darat pas semasa hidup ya? Bahkan sifatnya ini sampai ke bawa jadi hantu seperti ini.
”Pengen mie ayam aku, Ndo…,” keluhku tak menggubris godaannya. Dia tampak tak memberi respons lebih dari permintaanku, permintaan tak masuk akal bagi hantu perawan sepertiku. Kami duduk berdua sambil melihat orang-orang membeli mie ayam yang dijual Mang Eko yang terkenal enak. Di tengah lamunanku ini, si Brendo lantas mengungkap satu kemungkinan yang bisa membuatku bisa mencicipi kuah kental dan kaldu ayam itu.
”Satu-satunya cara biar lu bisa makan mie ayam lagi. Lu harus menemukan orang yang secara ikhlas memberimu Kin…,” Brendo memandang kosong ke depan. Melihat orang hilir mudik di jalanan.
”Benarkah? Tapi siapa yang mau memberiku secara ikhlas mie ayam itu, Ndo,” aku malah semakin menjadi. Ah, gara-gara rasa penasaranku pada mie ayam itu, aku malah galau bukan main. Merindukan rasa nikmat mie ayam hangat itu selama menjadi roh gentayangan. Entah kenapa, mie ayam seperti memiliki kenangan yang begitu melekat pada diriku.
”Sebentar,” aku mengingat sesuatu. ”Apa aku minta ke dia ya?” Pikirku pelan, apakah aku yakin dengan ide gilaku ini. Aku bergeming sendiri.
”Hah?” Brendo hanya menanggapi tanpa ekspresi lebih.
Wush! Aku pergi meninggalkan teman hantuku ini sendirian. ”Kenapa lagi dia ini…”.
**
Baca Juga: Kejadian di Tambang Pasir
Aku kembali lagi. Ke rumah Belanda yang beberapa hari lalu ku singgahi. Aku tidak berniat jahat atau yang lainnya; apalagi mengganggu seperti yang manusia pikirkan kepada kami. Aku berdiri di depan jendela kaca transparan yang memperlihatkan isi dalam rumah itu dengan jelas. Di mana pria yang kemarin itu? Mataku mondar-mandir ke kanan-kiri mencari keberadaan pria berjaket biru itu.
”Drek…”. Derap suara langkah kaki di belakangku.
”Dia di belakangku.” Aku ketahuan. Ini kedua kalinya aku tertangkap basah.
**
Entah bagaimana aku menceritakan ini semua. Sebagai hantu pun aku masih tak bisa berpikir ini nyata terjadi. Aku terus saja menelan air liur karena tenggorokanku terasa kering kerontang. Bisa-bisanya aku gugup kepada manusia padahal kami sudah berbeda dunia. Setelah selesai menyampaikan kemauan dan keinginanku kembali lagi ke rumah Belanda ini. Aku malah dibuat kebingungan.
Argh. Kenapa aku bisa mempercayai manusia ini? Dan dia mempercayai kata-kataku!
Aku duduk di atas meja di dekat ruang buku, duduk berdua bersamanya. Tempat dimana aku melihatnya dari luar rumah kemarin, pria yang beberapa hari lalu, dimana aku ketahuan mengintipnya. Kalo boleh jujur, dia tampan ketika dilihat dari dekat, kini aku bisa melihat dengan jelas binar matanya yang terlihat ramah dan perhatian. Duh, Brendo harus tahu orang ini.
”Satu porsi mie ayam dengan kerupuk pangsit. Tanpa bawang goreng dan sayuran…,” ungkapnya menyebutkan pesananku padanya. ”Dan lagi, ceker ayam,” lanjutnya menyebutkan dengan benar semua kemauanku. Aku bisa melihat satu mangkok berisi kemauanku yang disebutkan sebelumnya. Tanpa rasa ragu atau ketakutan, pria yang tidak kuketahui namanya ini tenang seperti sudah biasa menemui hantu sepertiku. Dan lagi, ceker ayam? Bagaimana dia tahu kesukaanku ceker ayam, padahal aku tidak menyebutkannya tadi?
”Ada lagi?” Tanya kepadaku, aku sendiri bingung harus berkata apa padanya.
”Cukup…!” Jawabku lantang, sebenarnya aku sudah tak sabar menyantap kuah lezat ini. Tapi aku masih menjaga imej hantu yang polos seperti biasanya.
”Semoga kamu bisa merasakan kembali kenangan yang ada di mangkok mie ayam itu…. Pria itu menatapku dalam; aku bisa melihat diriku dari pantulan matanya yang jernih diterpa lampu yang terang.
Dia manusia yang baik. Setelah sekian lama aku menjadi sosok hantu perawan yang bergentayangan tak jelas di dunia fana ini. Dia satu-satunya manusia yang membuatku tersentuh dengan tindakannya. Aku hanya bisa menunggu dan menunggu hari dimana aku bisa melanjutkan prosesku, sebagai roh yang telah mati. Air mata merembes di pipiku, aku tidak tahu kenapa tiba-tiba aku merasa emosional seperti ini. Apakah ini gara-gara semangkuk mie ayam ini atau manusia yang baik hati ini? Aku tidak tahu. Kemudian aku menyerap saripati makanan di depanku dengan air mata yang terus luluh.
**
Baca Juga: Seekor Buaya di Sungai Karang Tambak
Aku baru mengetahui. Selama ini yang kuketahui bahwa aku adalah roh gentayangan yang tersesat. Tersesat di dunia yang seharusnya sudah aku lewati. Aku tidak tahu, selama ini aku adalah Kinanti Mariana, seorang siswi yang meninggal akibat peristiwa tabrak lari ketika pulang les dengan sekantong plastik hitam yang masih hangat yang berisikan mie ayam. Di akhir hayatku, bukan rasa sakit yang teramat menyakitkan tubuhku-badanku remuk, kakiku patah dan benturan keras di kepalaku mengakhiri kehidupanku-tetapi isi kantong plastik ini yang akan kuberikan kepada adikku yang menungguku di rumah malam ini. Malam yang dingin setelah hujan reda, badanku tersapu genangan air yang meluap di jalan, membasahi tubuhku yang kaku karena tidak mendapatkan pertolongan.
Aku masih bengong, memikirkan apa yang harus aku lakukan saat ini. Pria tampan yang baru kukenal telah memberikanku kenangan pahit sekaligus manis bersamaan. Karenanya, aku bisa mengingat kembali bapak dan ibu yang menyayangiku dan adik yang sangat aku rindukan. Aku menangis ketika baru mengetahui bahwa kematianku membuat luka yang teramat dalam bagi mereka berdua. Semua kenangan manis terlupakan ketika peristiwa itu merenggut nyawaku dan menyisakan ketidaktahuanku selama ini.
”Terima kasih,” ucapku, berterima kasih kepadanya telah membantuku mengingat kembali kehidupanku sebelumnya. Satu kata yang hanya bisa aku berikan kepadanya, dari lubuk hatiku terdalam. Pria baik yang tidak diketahui namanya itu tersenyum sebelum akhirnya aku berpamitan pergi menuju proses yang semestinya mengakhiri diriku yang tersesat di dunia ini yang telah lama.
**
Brendo duduk menyendiri di tepi jalan kota yang padat sambil menatap Mang Eko yang sedang melayani pelanggan mie ayam jualannya. Dengan wajah yang biasa-biasa saja-sedikit menyeramkan- tanpa sebuah permintaan, dia terus menunggu kehadiran seseorang yang beberapa hari ini tidak ia temui. Brendo duduk sebisa mungkin di atas kursi besi buatan pemerintah dengan nyaman. Setidaknya, dia bisa bersantai dengan tangan terikat.
”Brendo?” Panggilnya, suara serak-parau membuyarkan kegabutannya.
”Siapa?” jawabnya. Mencari sumber suara yang memanggil namanya. Awalnya, dia berpikir itu sesama hantu penghuni ruas jalan kota ini. Dia sendiri merupakan sosok yang paling hype-menyeramkan sepanjang jalan Petamburan. Nyatanya ada yang lebih mengejutkan.
”Anjir, lu manusia?” Dia terkejut melihat sosok pria jangkung menatapnya tanpa ragu. ”Kok bisa liat gue? Lu setan juga kah?” Masih dengan khas gayanya yang slengekan, Brendo malah yang ketakutan.
”Aku Kino, adik mbak Kinanti.” Jawab pria menggunakan hoodie berwarna biru menghampirinya.
***
Sudi Setiawan adalah penulis kelahiran Bangka yang sedang mengenyam pendidikan S-1 Manajemen di Universitas Bangka Belitung. Karya cerita pendeknya yang berjudul Marthapram (2022) telah dibukukan dalam Antologi Cerita Pendek Pulpen Saya Jilid II dan cerita pendek berjudul Benreeck : Misteri Kampong Bubung Tujuh (2022) diterbitkan secara daring dan juga memiliki ketertarikan pada bidang penulisan dan sejarah.