Seekor Buaya di Sungai Karang Tambak
Amir Sareh melambaikan tangan, sementara matanya tetap awas mengamati kimpul pancingnya yang tidak juga bergerak mengabarkan pertanda baik. Sudah nyaris satu jam ia duduk mencangkung di tempat itu.

-
Bangkai seekor belanak terapung di arus tenang dan berputar perlahan di sekitar tempat Amir Sareh melemparkan kail. Amir Sareh yang mulai bosan, mendorongnya dengan ujung joran hingga bangkai ikan itu hanyut terbawa arus yang lebih deras. “Sudah penuh belum kepis-nya?”
Amir Sareh menepuk-nepuk kepis bambu yang tergantung di pinggangnya, memperlihatkannya kepada Pangat yang tengah berdiri mengamati tidak jauh darinya. “Masih kosong!” ujarnya kemudian.
“Ndak ada seekor pun?” Pangat tampak penasaran.
Amir Sareh melambaikan tangan, sementara matanya tetap awas mengamati kimpul pancingnya yang tidak juga bergerak mengabarkan pertanda baik. Sudah nyaris satu jam ia duduk mencangkung di tempat itu. Namun, tidak ada seekor ikan pun yang benar-benar datang untuk menyambar umpan. Padahal, ia telah memasang kroto pilihan ke mata kail, berharap ikan-ikan nilem akan segera mengisi kepis barunya yang masih kosong melompong.
“Mungkin umpannya harus diganti,” celetuk Pangat.
“Ndak perlu,” tanggap Amir Sareh. “Saya cuma mau ikan nilem. Jadi penasaran, kenapa ikan-ikan ini ndak mau makan. Apa mereka sudah kenyang?”
“Bukannya kenyang, ikan-ikan itu sepertinya masih mabuk obat,” sahut Pangat. Kening Amir Sareh seketika mengedut. Ujaran Pangat itu tiba-tiba mengingatkannya pada ikan-ikan mati yang terapung di aliran Sungai Karang Tambak. Bukan hanya ikan belanak, sebelumnya ia juga menemukan beberapa ekor jenis ikan lainnya. “Mungkin sebelum mati, ikan-ikan itu teler karena sampah kulit kopi,” ujar Pangat seolah-olah meralat apa yang baru saja diujarkannya.
Sekilas, Amir Sareh membenarkan apa yang diujarkan Pangat. Ketika musim panen, pabrik pengolahan kopi memang kerap membuang limbahnya ke sungai. Namun, musim panen masih lama—bahkan pohon-pohon kopi di perkebunan belum menampakkan bunga-bunganya. Lagi pula, terakhir kali musim panen pihak perkebunan mulai mengarahkan limbah pembuangannya ke areal penampungan khusus yang cukup jauh dari sungai.
“Tapi sungai sedang bersih dan musim panen masih lama,” ujar Amir Sareh. “Pasti ada penyebab lainnya.”
Pangat tidak begitu menggubris. Kini ia mulai berjongkok di antara hijauan kolonjono. Rumput kolonjono tumbuh subur di beberapa bagian bantaran Sungai Karang Tambak dan warga kampung memanfaatkannya sebagai pakan ternak. Namun, sudah nyaris sebulan, jarang ada warga kampung yang menyabit rumput di pinggiran sungai. Cerita soal kemunculan seekor buayalah yang menjadi penyebabnya. Cerita itu disampaikan pertama kali oleh Matosen—itu sore yang gerimis dan Matosen baru saja berjongkok di bibir sungai untuk membuang hajat.
Ketika mulai mengejan, tiba-tiba moncong seekor reptil muncul dari kedalaman arus tenang, bersiap menggasak pantat Matosen. Banyak orang kampung yang percaya dengan cerita itu, kecuali Pangat dan beberapa yang lainnya. Pangat malah sering berseloroh, bahwa Matosen tidak bisa membedakan antara anakan buaya dan seekor biawak. Sejak peristiwa itu, kebiasaan Matosen pun berubah: ia tidak pernah lagi memasang bubu. Padahal, Matosen selama ini dikenal sebagai orang yang paling rajin memasang bubu.
“Ngomong-ngomong, ke mana perginya Matosen? Akhir-akhir ini saya jarang lihat dia. Apa dia sudah benar-benar membuang semua wuwu-nya?”
“Dia sudah ndak berani pasang wuwu. Takut sama anak buaya itu. Sekarang dia pasangnya ke daerah utara. Kemarin dia bawa pulang setimba ikan. Hampir penuh…”
“Satu timba?” Amir Sareh tampak tidak percaya. “Memangnya berapa wuwu yang dipasang Matosen? Yang benar saja!”
“Saya melihatnya langsung. Dia juga memberi saya tiga ekor mujair gemuk,” jelas Pangat, mencoba meyakinkan Amir Sareh.
Amir Sareh tetap sangsi. Dia curiga, Pangat hanya membesar-besarkan apa yang dilihatnya. Dalam banyak hal, Pangat memang kerap seperti itu. Ia bisa menyulap hal-hal kecil menjadi besar dalam obrolannya dan orang-orang merasa tidak perlu mengonfirmasi kebenaran cerita-ceritanya.
“Kimpul-nya terus bergerak!” ujar Pangat tiba-tiba. “Umpan disambar ikan besar!” Kali ini Pangat tidak berlebihan. Kimpul kayu itu memang bergerak ke sana-kemari. Lalu, pada saat yang tepat, Amir Sareh menyentakkan joran bambu di tangannya dan raut mukanya berubah kecewa. Bukan ikan besar seperti tebakan Pangat, melainkan hanya ikan badar yang kurus dan kecil. Amir Sareh segera membebaskan mulut ikan mungil itu dari mata kail dan melepaskannya kembali ke arus sungai. “Ini hari yang kurang baik. Lebih baik saya pulang saja,” ujar Amir Sareh.
“Kapan-kapan ikutlah Matosen, mancing ke daerah utara. Dijamin, pulangnya kepis-mu akan penuh.”
Amir Sareh menatap Pangat sejenak. Penyabit rumput itu sedang memasukkan kolonjono segar ke keranjang bambu miliknya. Amir Sareh terpikir untuk mengikuti saran dari tetangganya itu. Namun, kalau pun harus melakukannya, ia akan melakukannya dengan caranya sendiri. Maka, sembari berjalan pulang ke rumahnya petang itu, ia mulai menyusun rencana kecilnya.
***

-
“Matosen datang bersama Matayib, adik laki-lakinya,” ujar Pangat lirih.
Amir Sareh mengusap-usap matanya dan berusaha mengusir rasa kantuknya. Hari itu, di samping ingin mengetahui lokasi Matosen memasang bubu, ia benar-benar penasaran dengan cara Matosen menangkap ikan.
“Coba lihat apa yang mereka bawa,” ujar Amir Sareh. “Hanya dengan alat-alat semacam itu, mereka bisa dapat setimba ikan?”
Pangat memperhatikan kedua sosok yang baru saja tiba. Matosen menenteng sebuah timba berukuran sedang; dua buah gagang penyauk ikan menyembul di bibir timba bekas wadah cat tembok itu. Sedangkan Matayib hanya menenteng sebilah sabit.
Kakak-beradik itu berhenti di sebuah kelokan bantaran sungai. Di ujung kelokan, sebuah cabang sempit membentuk selajur kanal yang mengalir beberapa puluh meter ke areal perkebunan kopi. Ketika kemarau panjang, kanal kecil itu mati suri; airnya hanya sebatas mata kaki, tapi tetap menjadi lahan subur bagi bertumbuhnya gulma genjer dan eceng gondok. Namun, selama hujan masih turun sesekali, debit airnya cukup tinggi dan menjadi persembunyian yang aman bagi ikan-ikan. Apalagi di pangkal kanal itu tumbuh sebatang pohon lo tua. Banyak orang percaya bahwa pohon bertajuk rindang itu memiliki penunggu yang tidak kasat mata. Meskipun demikian, tampaknya Matosen dan Matayib memilih mengabaikan hal semacam itu. Begitu pula dengan Amir Sareh dan Pangat yang menunggu dengan gelisah di bawah pohon angker itu.
“Kita akan tahu, di mana mereka memasang wuwu,” bisik Pangat.
Jarak antara mereka dengan kakak-beradik itu semakin dekat. Dan tidak ada bubu yang harus diangkat seperti dugaan Amir Sareh dan Pangat. Entah di mana Matosen menyembunyikan alat penangkap ikan itu—ia mulai menceburkan diri ke kanal dan tubuhnya terendam sampai ke pangkal paha. Setelah berjalan beberapa langkah, Matosen merogoh kantung celananya dan mengeluarkan sebuah botol kaca berwarna gelap. Matosen membuka tutup botol berukuran kecil itu dalam sekali putar lalu menuangkan isinya sedikit demi sedikit ke sejumlah titik. Dirasa cukup, Matosen melemparkan botol itu kepada Matayib. Matayib memeriksa botol itu sekali lagi, sebelum kemudian berjalan ke pangkal kanal, tepat di bawah naungan tajuk rindang pohon lo. Lantas, di bawah akar gantungnya yang nyaris menyentuh air, Matayib menuang sisa cairan terakhir sebelum kemudian melemparkan botol kosong itu ke bawah pohon. Pada saat itulah, Amir Sareh dan Pangat mulai mencium bau khas pestisida.
Amir Sareh menatap Pangat sejenak. Penyabit rumput itu sedang memasukkan kolonjono segar ke keranjang bambu miliknya. Amir Sareh terpikir untuk mengikuti saran dari tetangganya itu. Namun, kalau pun harus melakukannya, ia akan melakukannya dengan caranya sendiri. Maka, sembari berjalan pulang ke rumahnya petang itu, ia mulai menyusun rencana kecilnya.
Amir Sareh nyaris memperlihatkan dirinya untuk menegur mereka. Namun, Pangat berusaha menahannya. Kedua teman karib itu kembali bergeming, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika cahaya fajar berangsur terang, seluruh bagian kanal mulai dipenuhi suara kecipak air. Beberapa ekor ikan muncul ke permukaan; mereka sekarat setelah berlarian ke sana kemari dimabuk racun pestisida. Matosen dan Matayib pun bertindak dengan cepat. Mereka menangkap ikan-ikan malang itu dengan serokan dan sabit—begitu mudahnya, seolah-olah mereka telah melakukan hal semacam itu setiap hari. Dan kali ini, Amir Sareh tidak bisa menahan diri lagi. Ia muncul tepat ketika Matayib memamerkan kutuk sebesar pangkal lengan ke Matosen.
“Bagaimana orang bisa mancing kalau begini caranya? Kalian memang bajingan!” Wajah kakak-beradik itu memucat seketika, seolah berhadapan dengan sosok penunggu pohon lo yang siap menyemburkan kutukan. Sebentar kemudian, Matosen tersadar bahwa yang berdiri di hadapannya hanyalah seorang tetangganya.
“Aduh, rasanya hampir modar saya!” ujar Matosen, mulai salah tingkah. “Ayolah, mumpung masih pagi dan ndak banyak yang lihat. Turun ke sini, kita bagi-bagi rezeki!”
Seraya menahan geram, Amir Sareh menunjukkan botol thiodan yang baru saja dipungutnya. “Rezeki matamu itu!” umpatnya.
Matosen berusaha membela diri. Ia menganggap dirinya melakukan hal yang biasa, tidak jauh beda dengan orang-orang kampung yang menangkap ikan dengan potas atau tuba.
“Apa bedanya? Toh, ikan-ikan di sungai ini ndak habis-habis!”
“Ndak ada bedanya, karena kalian sama-sama serakah. Sama-sama ndak pakai otak!”
Perang mulut pun semakin sengit. Saking sengitnya, mereka tidak menggubris ketika Pangat muncul untuk melerai. Sementara itu, Matayib pelan-pelan menyingkir ke ujung kelokan bantaran sungai. Ia duduk mencangkung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Satu-dua ekor ikan yang mabuk, berusaha meloloskan diri ke mulut kanal, lantas terbawa arus Sungai Karang Tambak. Tiba-tiba permukaan air yang tenang itu bergelombang. Lantas, nyaris bersamaan dengan bunyi kecipak, sesosok reptil bertubuh gelap muncul ke permukaan dan menyambar tubuh kurus Matayib. Hanya dalam hitungan detik, setelah jeritan pendek paling memilukan, tubuh Matayib lesap ke dasar sungai. Lalu perang mulut pun berhenti. Matosen, Pangat, dan Amir Sareh berlarian ke mulut kanal. Namun, semuanya sudah terlambat.
**
Baca juga:Di Tengah Guyuran Hujan
Siang harinya, tubuh Matayib ditemukan tidak utuh, mengambang di sebuah kedung yang jaraknya ratusan meter dari mulut kanal. Warga kampung gempar. Kegemparan itu menularkan kekhawatiran ke mana-mana, bahkan sampai berbulan-bulan setelah jasad Matayib dikuburkan. Matosen begitu terpukul dengan peristiwa itu, begitu pula dengan Amir Sareh dan Pangat. Butuh waktu lama bagi Amir Sareh dan Pangat untuk bisa berbicara dengan Matosen. Apalagi, Amir Sareh tetap yakin, bahwa penyebab utama peristiwa nahas itu adalah Matosen. Namun, Amir Sareh tidak bisa menolak, ketika pada suatu hari Matosen mendatanginya untuk menceritakan sebuah rahasia.
“Soal anak buaya itu, sebenarnya karangan saya saja. Sore itu, seekor biawak melintas sewaktu saya kebelet berak. Saya benar-benar ndak pernah bertemu anak buaya.”
“Yang harus kamu tahu,” tanggap Amir Sareh, “buaya itu benar-benar ada. Saya sudah pernah melihatnya. Tapi saya ndak habis pikir, kamu mengarang cerita untuk menakut-nakuti warga, biar kamu bebas meracuni sungai. Terus, apa yang kamu dapat akhirnya?”
“Ikan-ikan itu saya jual. Kamu tahu, saya harus memberi makan tiga adik saya. Empat dengan Matayib…”
Mata Matosen mulai basah. Itu pertama kalinya ia bisa menyebut nama Matayib, setelah berbulan-bulan mulutnya terkunci.
“Buaya itu marah padamu,” tanggap Amir Sareh seolah tidak peduli. “Air sungai beracun dan binatang itu merasa terganggu. Ikan-ikan yang biasa jadi santapannya, kamu bunuh semua. Coba saja kamu yang duduk di mulut kanal itu…” Kini mulut Matosen terkunci. Itu pertama kalinya ia tidak bisa membantah apa pun yang keluar dari mulut Amir Sareh.
Ampenan, 20 Oktober 2022
Catatan:
Kepis (Jawa): bakul kecil tempat untuk menaruh ikan hasil tangkapan.
Kimpul (Jawa): pelampung pancing, untuk mendeteksi pergerakan ikan saat menyentuh kail.
Kroto (Jawa): telur semut rangrang.
Pohon Lo (Jawa): ficus racemosa, di Indonesia ada yang menyebutnya sebagai pohon ara.
Wuwu (Jawa): bubu, merupakan alat penangkap ikan tradisional.
Kutuk (Jawa): ikan gabus.
***
Tjak S. Parlan, lahir di Banyuwangi, Jawa Timur. Menulis cerita pendek, esai, resensi, sejumlah feature perjalanan, dan novel. Sejumlah bukunya telah terbit, antara lain Kota yang Berumur Panjang (Basa-basi, 2017—Kumpulan Cerita Pendek), Berlabuh di Bumi Sikerei (Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, 2019—Feature Perjalanan), Sebuah Rumah di Bawah Menara (Rua Aksara, 2020—Kumpulan Cerita Pendek), Cinta Tak Pernah Fanatik (Rua Aksara, 2021—Kumpulan Puisi). Selain menulis, ia menekuni perwajahan (desain) buku dan media cetak (koran, majalah, bulletin, jurnal, zine). Saat ini mukim di Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.