Kejadian di Tambang Pasir
Air sungai mengalir tipis menyusuri jalurnya yang ditimpa tanah, pasir, dan batu. Di sisi sungai, beberapa kuli tambang pasir berkumpul menikmati kopi dan rokok. Kepala desa pemilik tambang meminta mereka berjaga.

-
Malam gelap dan berawan di langit Merapi. Sepanjang garis sungai tumpukan pasir seperti benteng hancur oleh serbuan brutal. Perut bukit hitam berlobang oleh mulut pengeruk pasir. Di atasnya pohon-pohon berdiri di antara kecemasan mati dan hidup. Suara serangga berdengung. Air sungai mengalir tipis menyusuri jalurnya yang ditimpa tanah, pasir, dan batu. Di sisi sungai, di bawah tebing - beberapa kuli tambang pasir berkumpul di depan tenda menikmati kopi dan rokok. Kepala desa pemilik tambang meminta mereka untuk berjaga dan bekerja lembur. Pukul sembilan malam tampak kilat petir membelah langit, ketika beberapa pekerja tiba-tiba berteriak ketakutan dan berlarian. Esok harinya mereka memutuskan untuk tidak ikut lagi menambang di hulu sungai.
"Dasar bodoh! Kalian takut apa?," kepala desa membentak murka.
"Tapi benar, kami melihat pocong," kata salah satu penambang.
"Pocong matamu siwer! Tak ada pocong!"
"Kami melihat sendiri, Pak," kata lainnya mencoba meyakinkan. "Ini sudah tiga kali."
"Terserah kalian! Kalau tidak mau bekerja, tak usah mengemis pekerjaan lagi!" Kepala desa itu bicara jengkel. Putus asa, dan mengusir mereka tanpa memberi sisa upah.
"Tutup saja tambang itu, Pak," kata anak satu-satunya setelah mereka pergi.
"Kamu mengigau, bocah ingus?"
"Serius, Pak, lebih baik ditutup saja. Itu hulu sungai, harusnya tak boleh ditambang. Bisa rusak semua nanti."
"Kamu gila, bocah tengik! Dari dulu kamu bicara soal menutup tambang, bicara soal lingkungan dan melupakan isi perutmu berasal dari mana."
"Bukan begitu, Pak, tapi alam memang sudah marah. Pocong itu pertanda. Kuli-kuli itu tidak mungkin bohong."
"Ah, kamu sama saja! Tak ada pocong di sana, kecuali orang-orang pengecut."
**
Baca juga: Hantu Lapar
Tak ada pekerjaan yang tuntas dalam beberapa bulan. Itu membuat kepala desa panik. Semua pemesan mengeluhkan kelambanan, dan setoran uang untuk pihak-pihak tertentu menjadi berkurang. Mereka marah dan mengancam. Semua ini gara-gara semua pekerjanya ketakutan. Setiap itu terjadi, anaknya selalu memberinya saran untuk menghentikan tambang. Saran itu terdengar sama menjengkelkannya dengan pocong yang selalu menakut-nakuti pekerjanya. Namun, setelah putus asa oleh keadaan, seorang temannya menganjurkannya mengundang paranormal yang dulu pernah membantunya menjadi kepala desa.
"Kalau masalah gaib, pasti dia bisa mengatasinya," kata temannya.
Ketika paranormal itu datang, semua yang dipikirkannya tentang pendapat anaknya agak berubah. Mungkin saja anaknya benar tentang pocong itu. Paranormal itu bahkan mengatakan persis yang dipikirkan anaknya. Semua tempat di Merapi ada penghuni gaibnya, kata orang itu. Seharusnya semua dimulai dengan meminta restu dahulu sebelum memulai pekerjaan. Orang itu juga mengatakan mungkin para penghuni gaib di sekitar tambang marah karena terganggu. Menambang di hulu sungai harusnya tak dilakukan. Sulit untuk memperbaiki.
"Dari sana air mengalir ke bawah. Ke hilir," kata paranomal menjelaskan seolah kepala desa itu belum paham. Lalu, dia menambahkan, "Air dibutuhkan semua makhluk yang terlihat dan tidak."
"Bagaimana itu?" kepala desa bertanya.
"Makhluk gaib seperti jin, sebagian dari mereka hidup di air. Merepotkan bila tempat mereka kering," jelas paranormal. Kepala desa itu tertawa. Paranormal itu mengambil tembakau. Meramunya dengan klembak dan menyan. Lantas menggulung kertasnya di telapak tangan. "Memang begitu," katanya kemudian. "Di surah Ah-Rahman, ada larangan merusak keseimbangan alam juga."
Kepala desa kali ini diam dan mencoba merenungkan itu. Tapi pasir yang bagus ada di sana, dia menjawab akhirnya. Semua membutuhkan, dan semua orang mendapatkan yang diinginkan. Jadi, pekerjaan harus tetap berjalan. Paranormal itu memandangnya. Tatapannya tenang, diliputi asap rokok berbau menyan. Lalu, dia bicara hal-hal yang diabaikan kepala desa.
"Merapi itu bagian dari sumbu spiritual Jawa. Langsung berhadapan dengan keraton dan Laut Kidul. Tak bisa sembarangan. Alam butuh keseimbangan."
"Jadi, apa jalan keluarnya?"
"Biar nanti saya tangani. Sementara jangan ada aktivitas dulu."
"Baik, saya ikut, yang penting selesai"
Hujan gerimis di malam bulan November. Kepala desa itu lebih suka meringkuk di ranjangnya, sebenarnya, atau minum kopi sembari melihat sinetron, bila tak harus mengikuti ritual bersama paranormal. Dengan tatapan masgul, matanya memandang kosong bayangan tumpukan pasir dan traktor yang sudah mangkrak beberapa bulan. Dia sadar berapa yang harus dia bayar. Uang sewanya mahal, dan kini semuanya menjadi sia-sia. Tak ada suara di sana, kecuali serangga malam dan mantra yang dibisikkan. Setelah setengah jam, paranormal itu memintanya duduk di belakangnya. Paranormal itu kemudian bicara dengan nada suara penuh hormat dan khidmat, entah dengan siapa. Dia memperkenalkan nama kepala desa, kemudian menyebut semua orang-orang suci di masa lalu, kemudian ditutup dengan permohonan dan perlindungan. Ritual itu selesai di tengah malam.
"Setelah ini tak akan ada gangguan lagi," kata paranormal itu dengan penuh keyakinan.
"Tapi jangan terlalu banyak mengambil," tambahnya. Kepala Desa itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih sembari menyerahkan amplop cokelat tebal.
**
Ketika paranormal itu datang, semua yang dipikirkannya tentang pendapat anaknya agak berubah. Mungkin saja anaknya benar tentang pocong itu. Paranormal itu bahkan mengatakan persis yang dipikirkan anaknya. Semua tempat di Merapi ada penghuni gaibnya, kata orang itu. Seharusnya semua dimulai dengan meminta restu dahulu sebelum memulai pekerjaan. Orang itu juga mengatakan mungkin para penghuni gaib di sekitar tambang marah karena terganggu. Menambang di hulu sungai harusnya tak dilakukan. Sulit untuk memperbaiki.
Benar saja. Setelah ritual itu, semua pekerjaan lancar. Semua kuli tambang bisa bekerja siang dan malam tanpa gangguan. Traktor bergerak mengeruk pasir, juga gigir bukit sekitar hulu sungai yang menganga seperti gua. Truk-truk berjajar, turun naik jalan mengangkut pasir menuju depo-depo besar. Kepala desa tersenyum lega, semua bisnis berjalan normal. Ketika anaknya pulang di akhir pekan, dia menyambutnya dengan nada riang. Katanya, nanti akan beli mobil untuk hadiah.
"Biar kuliahmu menyenangkan."
"Saya lebih senang menutup tambang."
"Kamu suka bapakmu bangkrut?"
"Bapak punya pekerjaan lain, bukan bangkrut."
"Setan kamu! Semua ini buat hidupmu!"
"Lalu buat anak cucuku apa kalau semua rusak? Bapak tidak memikirkan masa depan keturunan kecuali diri sendiri."
"Anak Dajal! Bicaramu sembarangan!"
Pikiran kepala desa itu kacau oleh tuduhan serius anaknya. Itu menyakiti hatinya. Di ruang makan dia tak mau bicara, dan meninggalkan ruangan ketika istrinya bertanya mengapa wajahnya muram dan setebal tembok candi berwarna hitam. Tapi dia kembali lagi dan mengatakan dengan suara kesal. "Ajari anak lakimu itu sopan santun" Istrinya bingung dengan kemarahan suaminya. Tapi wanita itu segera sadar apa yang terjadi.

-
**
Dua minggu kemudian, tiba-tiba semua kembali terulang. Para pekerja yang berjaga melaporkan melihat pocong di area tambang. Laporan itu membuat kepala desa kaget dan khawatir.
"Tak mungkin," katanya seolah bicara pada dirinya sendiri. Dia mencoba mengingat-ingat semua syarat yang diberikan paranormal itu. Tapi dia merasa semua syarat sudah terpenuhi. Khawatir bisnisnya rusak, dia meminta anak buahnya merahasiakan.
"Kalian diam saja," katanya mewanti-wanti. "Kalian tak usah bekerja dulu. Upah kalian nanti tetap aku bayar."
Setelah itu, dia lantas mengambil pekerja baru untuk menggantikan. Dengan cara itu dia berharap bisnisnya tetap berjalan. Tapi, semua itu tak mampu menghentikan pocong. Bahkan mahluk itu kini selalu muncul di setiap minggu. Didera oleh rasa cemas - dia mencoba mencari jalan keluar. Sambil berpikir keras, kepala desa itu berjalan menuju tambang di sore hari. Matanya melihat kekosongan jalur sungai, tebing dan pohon-pohon yang mulai jarang di sekitar. Setelah merenung cukup lama, dia melangkah menuju kuburan di atas lembah. Berdiri di bawah pohon kamboja dan memandang kuburan muram yang diselimuti rumput-rumput liar. Matanya juga melihat bangunan kecil tempat bandosa dan perlengkapan pemakaman disimpan. Tapi dia tak mendapatkan sesuatu kecuali seonggok kain kafan di pojok teras. Sambil berdiri dan merokok, dia terus memikirkan semua yang menimpanya. Dan, akhirnya, didorong oleh rasa penasaran, dia memutuskan untuk terus menjalankan tambang. Dia akan mengambil kuli dari luar. Kali ini, dia akan ikut berjaga di malam hari.
**
Malam itu pekan ketiga, Kepala desa ikut menginap di lahan tambang setelah pamit pada istri dan anaknya yang mendiamkannya. Sejauh ini tak ada sesuatu yang terlihat aneh, kecuali udara yang basah, suara air yang menipis, suara jangkrik dan ular yang berderik, burung hantu, burung cabak, dan tawa para pekerja yang bemain kartu. Ketika para kuli itu sibuk bermain, kepala desa itu berjalan ke ujung sungai, lalu kencing di antara sela-sela batang pohon sembari melihat langit yang hitam kelam oleh mendung. Di saat tangannya mengancingkan celana, tiba-tiba dia dikejutkan oleh jeritan dari arah tenda.
"Pocoong!"
Bergegas dia berlari menuju tenda, mencari tahu apa yang terjadi. Dia melihat beberapa pekerjanya berlarian tak karuan. Satu di antaranya pingsan. Darahnya berdesir keras ketika matanya melihat sosok putih berdiri di antara pepohonan dan menghilang di kuburan. Seluruh tubuhnya merinding, sedangkan dadanya seperti disodok oleh sesuatu yang keras. Dia berdiri kaku, dan berpikir untuk lari. Tapi, rasa amarahnya tiba-tiba bangkit. Bergegas dia mengambil golok dan nekad mengejar makhluk itu. Ketika sampai di area kuburan, matanya segera menangkap sosok putih yang bergerak panik di teras bangunan. Tanpa berpikir panjang, dia bergerak cepat disertai teriakan marah yang menutupi rasa takutnya. Dengan ayunan membuta, goloknya membacok sosok yang tengah mencoba melepaskan kain kafan dari tubuhnya. Dalam sekian detik, mata tajam golok menebas. Kras! Tubuh pocong itu roboh. Tapi, ketika dia mendengar suara rintihan, jantungnya seolah berhenti. Dia pingsan begitu mengenali pocong itu adalah anaknya.
***
Ranang Aji SP menulis fiksi dan nonfiksi. Karya-karyanya diterbitkan pelbagai media cetak dan digital. Dalang Publishing LLC USA menerjemahkan dua cerpennya ke dalam bahasa Inggris. Menjadi nominator dalam Sayembara Kritik Sastra 2020 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud. Buku kumpulan cerpennya Mitoni Terakhir diterbitkan penerbit Nyala (2021).