Lebah
Hampir setiap orang pernah bergunjing tentang kehidupan orang lain. Tapi tidak dengan Denok. Dirinya tak pernah mau peduli urusan orang lain.
Setiap orang yang tinggal di kelurahan ini selalu saja ingin tahu urusan orang lain. Tak peduli apakah itu ada hubungannya dengan dirinya ataupun tidak. Dan mereka ini selalu membicarakannya di warung kopi Mang Atep. Ada banyak hal yang mereka bicarakan, entah itu tentang rumah tangga orang lain, tentang nilai sekolah anaknya, tentang istri orang, tentang suami orang, hingga tentang politik yang mereka sendiri tak mengerti.
Hampir setiap orang pernah bergunjing tentang kehidupan orang lain. Tapi tidak dengan Denok. Dirinya tak pernah mau peduli urusan orang lain. Bahkan, dalam acara apa pun yang diselenggarakan di kelurahannya ia tak pernah datang.
Jangankan acara-acara di kelurahan, sekadar menghadiri acara syukuran tetangganya saja ia tak datang. Sehingga dirinya menjadi sorotan dan dianggap fobia sosial oleh tetangganya karena tak mampu bergaul dengan yang lain. Denok dan ibunya, Intan, hanya keluar kalau ke pasar dan terima orderan menjahit baju.
Denok tak tahu kenapa ibunya bersikap demikian. Dirinya merasa tak bisa hidup normal layaknya kebanyakan orang. Hampir dua puluh tahun, dirinya merasa membusuk di rumah. Entah malam ataupun siang, dirinya tak pernah melihat sinar matahari, kecuali jika ia pergi ke pasar. Dia tak punya teman barang satu pun. Hanya ibunya seorang yang ia anggap sebagai teman sekaligus ibu sekaligus guru.
Hal yang dirinya lakukan sehari-hari adalah membuat pola, menggunting, dan menjahit baju seragam karyawan pabrik. Hiburannya adalah menonton TV dan membaca buku. Setiap bulan, ibunya selalu membelikannya buku. Denok ingin segera mengakhiri kehidupan seperti ini, dan menjalani kehidupan normal layaknya manusia sebagai makhluk sosial.
Begitu ibunya meninggal, kini tanda-tanda Denok akan mulai bersosialisasi dengan masyarakat sekitar mulai tampak. Bagi para tetangga, ini adalah keajaiban dunia. Bagaimana tidak, rekam jejak Denok dalam beradaptasi dengan tetangga sangatlah buruk. Kebanyakanpelanggannya yang menggunakan jasa jahitnya justru dari luar kelurahan.
”Jangan-jangan dia hanya berpura-pura memiliki fobia sosial,” komentar tetangganya.
”Dia mungkin gengsi berteman dengan kita,” sahut tetangga yang lainnya.
Denok kini memasang spanduk di depan rumahnya dengan bertuliskan ”Kedai Jahit Denok”. Yang semula pintu rumah dan tirai ditutup sepanjang hari, kini sebaliknya. Denok juga memajang bangku panjang agar para pengunjung bisa duduk di depan kedainya. Rumah itu kini berubah menjadi tempat tongkrongan kedua setelah warung kopi Mang Atep.
Tuti, tetangga pertama yang berkunjung ke kedainya, bukan untuk menjahit, tapi sekadar melihat-lihat. Wanita yang terkenal dengan mulutnya yang ember itu sengaja memancing-mancing amarah Denok dengan mengatakan, ”Apa yang membuatmu mau berubah?” Pertanyaannya itu sengaja dikeraskan agar terdengar oleh tetangga lain yang sedang menjemur pakaian. Denok tak jawab pertanyaannya, ia hanya tersenyum, lalu pergi ke dapur. Kemudian ia menghidangkan aneka macam gorengan, seperti bala-bala, cireng, dan gehu, dilengkapi dengan cabe rawit. Tak hanya itu, ia juga menghidangkan teh tawar panas.
”Silakan dimakan, Ceu Tuti,” kata Denok menawari pengunjungnya untuk mencicipi hidangannya.
”Bolehkah saya bergabung?” tanya Endah, tetangganya.
”Tentu saja boleh, Ceu Endah,” jawab Denok sambil tersenyum juga.
Kemudian ibu-ibu yang lain pun ikut bergabung, hingga bangku tersebut tak muat. Sebagian dari mereka bahkan ada yang berdiri.
”Denok, pertanyaan Ibu tadi belum dijawab,” Tuti mengingatkan.
”Pertanyaan yang mana, Ceu?” Denok pura-pura lupa.
”Kenapa kamu mau berubah?” Tuti mengulang pertanyaannya.
”Karena hidup sendiri itu tak menyenangkan.”
Inilah yang dikhawatirkan mendiang ibunya. Denok akan menjadi bulan-bulanan para tetangga. Intan tak mau kejadian Denok ketika TK terulang.
”Ibu, apakah benar aku ini anak haram?” tanya Denok polos, kala itu.
Intan langsung menebasnya, bahwa tak ada yang namanya anak haram. Intan tahu siapa awal mula yang menyebarkan rumor itu ke telinga anaknya. Tapi dirinya tak bisa berbuat apa-apa selain anaknya keluar dari sekolah dan memutuskan untuk mengajari anaknya sendiri di rumah. Paling tidak berhitung dan membaca dan keterampilan lainnya, seperti menjahit. Ia tak ingin anaknya mengalami perundungan. Yang salah adalah dirinya hamil diluar nikah, seharusnya anaknya tak kena imbas atas perbuatannya. Tapi kenyataannya tak demikian. Oleh sebab itulah, Intan menjadi fobia sosial.
Baca juga : Lelaki yang Membunuh Gorila
Sebulan sebelum Intan meninggal, dia sudah menceritakan semuanya kepada Denok. Intan dihamili oleh teman sekelasnya yang bernama Andri Surandri. Andri tak mau menikahinya karena orangtuanya tak mengizinkannya, sebab Andri masih anak SMA. Andri dan orangtuanya justru menyarankan agar Intan mau menggugurkan kandungannya. Dan orangtuanya justru malah menyebut Intan wanita gatal.Andri pindah sekolah, dan tak ada kabar lagi tentangnya setelah ia memberikan sejumlah uang untuk biaya menggugurkan kandungan. Masa depan Intan hancur, sebab tak ada satu sekolah pun yang mau menerima siswa dalam keadaan hamil.
Intan mengakui kesalahannya, ia tetap membiarkan janin yang ada di rahimnya tumbuh. Ia juga tak membuang bayinya seperti kebanyakan perempuan lainnya yang hamil di luar nikah. Intan tak mau mengulang kesalahan yang sama. Kala itu, ia terbuai oleh bujuk rayu Andri yang mengajaknya bercinta. Jarak antara rumah Intan dan Andri adalah 1 kilometer.
Bagi para tetangga, Denok sangat berbeda dengan ibunya. Tak hanya itu, ia mulai disukai oleh lingkungan sekitar, sebab ia membantu mengurangi pengangguran. Ada sekitar 20 orang dipekerjakan di kedai jahitnya. Bahkan Denok membayar upah mereka di atas rata-rata pekerja konfeksi lainnya. Denok membuat para karyawannya nyaman bekerja di kedainya. Jika ada kesalahan, Denok menegurnya tanpa harus memarahinya. Dengan cara seperti inilah karyawannya rela bekerja lembur tanpa mengeklaim lembur.
Bulan menggeser matahari, membuat seluruh langit berwarna gelap, Denok masih berada di ruang bawah tanah, sekadar mempersiapkan untuk acara syukuran besok. Beberapa bulan lalu, ia tak sengaja menguping pembicaraan pegawainya yang sedang membicarakan dirinya.
”Teh Denok itu anak haram, ya?” tanya Gita, pegawainya.
”Katanya sih gitu, ayahnya tak jelas siapa,” sahut Risna, pegawai yang lainnya.
Denok tak bisa menyalahkan pegawainya. Besok, ia berencana akan meluruskan berita ini. Ia tahu ia berhadapan dengan siapa. Ibunya sudah meninggal pun, mereka masih saja mengganggunya. Besok ia mengundang tiga puluh lima orang di kedainya yang dikemas dengan acara syukuran. Dan yang ia undang adalah orang-orang yang memiliki mulut ember, yang dengan sukarela akan menyebarkan berita apa pun tanpa dibayar.
Kejadian ibunya hamil di luar nikah terjadi 21 tahun yang lalu. Tapi dirinya masih saja kena imbasnya. Ia tak menyalahkan ibunya, sebab ibunya sudah mengakui kesalahannya dan menjelaskan semuanya. Denok seperti lebah, jangan pernah mengusiknya. Tapi bila ada orang yang mengusiknya, ia akan mengejarnya sekalipun engkau bersembunyi di lubang tikus. Denok tak seperti ibunya, yang hanya diam saja kalau orang mengusiknya.
”Bapak, Ibu, Akang, Teteh, saya minta maaf bahwa saya harus meluruskan rumor yang beredar perihal tidak jelasnya ayah biologis saya,” Denok memulai pidato keduanya, setelah pidato pertama basa-basinya selesai. ”Saya memang lahir dari proses di luar nikah. Ibu sendiri sudah menceritakan semuanya kepada saya sebulan sebelum beliau tiada. Saya adalah putri kandung dari Andri Surandri. Yang saat ini beliau mencalonkan diri sebagai kepala desa di desa ini.”
Kemudian Denok pun memutar pemutar kaset yang berisi rekaman perihal Andri dan keluarganya menyuruh menggugurkan kandungan Intan, dan Intan harus tutup mulut soal kehamilannya kepada siapa pun. Tak hanya Andri yang memaksanya, tapi juga bibinya, Tuti, yang sekaligus tetangganya. Denok juga memperlihatkan foto-foto masa pacaran kedua orangtuanya. Juga hasil tes DNA dirinya, Intan, dan Andri. Cocok, mereka terhubung dalam ikatan darah.
Warga dibuat terkaget-kaget, dan mereka melakukan demo besar-besaran agar Andri mundur dari pencalonan kepala desa. Sebab, ia tak layak jadi pemimpin. Andri tak lebih dari seorang pembunuh, bahkan lebih buruk. Sebab ia pembunuh anak kandungnya sendiri. Tuti juga diusir oleh warga karena dianggap merupakan kaki tangan Andri.
Tak hanya itu, warga juga meminta maaf kepada Denok perihal mereka telah menggunjingnya karena memiliki ayah yang tak jelas. Rumor itu ternyata tidak benar. Denok memiliki ayah yang jelas. Jelas tidak bertanggung jawab, tepatnya.
Denok beruntung bahwa ibunya masih menyimpan rekaman obrolan perihal perintah untuk dirinya tidak dilahirkan ke dunia. Dan satu-satunya cara untuk menghentikan agar ayahnya tidak lagi bertingkah adalah dengan membunuh mimpinya. Dan ia tahu apa itu. Menggagalkannya dari pencalonan menjadi kepala desa. Denok hanya ingin membuat ayahnya menyesal karena telah menyia-nyiakan dan memfitnah ibunya. Apalagi disebut perempuan gatal. Seumur hidupnya, ibunya tak pernah menikah karena trauma. Sementara ayahnya hidup enak, nyaman, bisa sekolah hingga sarjana, dan tak pernah mendapat perundungan seperti yang dialami oleh ibunya.
Tuti salah perhitungan, ia menggunakan pola yang sama untuk merundung Denok. Ia pikir begitu menyebarkan isu bahwa Denok anak haram, Denok akan langsung menutup kedai jahitnya dan menjadi fobia sosial seperti ibunya. Denok bukan Intan. Itu yang lupa dari Tuti. Denok adalah lebah.
***
Tetin Sobariah, kelahiran Tasikmalaya. Cerpen pertamanya yang berjudul”Teka-tekiku” dimuat di harian Batam Pos.