Lelaki yang Membunuh Gorila
Gorila itu mengerang, mengingatkannya pada ekspresi wajah bosnya yang brengsek. Mulutnya terus mendengus, mengingatkannya pada peristiwa siang tadi di kantor. Lelaki gemuk itu berteriak keras padanya.
Ia bangun dan bertanya pada diri sendiri mengapa tangan dan kausnya berlumur darah. Sebagian sudah mengering dan membuat kaus putihnya kaku. Darah siapa ini?. Sebagian bercak darah mengenai selimut dan seprai. Ia melepas kaus putihnya dan mencuci tangan di keran. Harusnya ia mengusap wajah dengan air untuk menyegarkan diri. Namun itu tak dilakukannya. Demam semalam masih menyisakan keringat dingin di tubuhnya.
Ia memanggil Bi Inah, pembantu yang mengurusnya selama ini. Orang tuanya meninggal lima belas tahun lalu. Sebuah kecelakaan beruntun merenggut orang tua dan dua adiknya. Saat itu ia berada di luar kota, baru saja lulus kuliah dan sedang mencari pekerjaan. Kehilangan yang begitu tiba-tiba itu membuatnya terguncang. Ia memutuskan untuk pulang dan tinggal di rumah itu bersama Bi Inah. Bi Inah bekerja di rumahnya sejak ia masih SD. Ia tak punya anak maupun keluarga lain. Bi Inah sudah dianggapnya seperti orang tuanya sendiri. Meski geraknya sudah semakin lamban, namun perempuan tua itu masih kuat membersihkan rumah dan menyiapkan makanan untuknya.
Ia masih bertanya-tanya mengapa aroma anyir darah masih tercium di udara meski ia sudah mencuci tangannya dengan sabun. Ia kembali memanggil Bi Inah. Bi Inah tak menyahut. Mungkin ia sedang membeli sayur, pikirnya. Beberapa waktu ini pendengaran dan penglihatan Bi Inah mulai berkurang. Sering ia tak mendengar panggilannya meskipun mereka berada di jarak dekat.
Ia duduk di kursi makan. Bi Inah biasanya sudah membuatkan kopi untuknya di meja. Namun pagi itu tak ada kopi atau makanan apapun di meja. Ia membuka koran kemarin yang tergeletak di meja sambil mengingat-ingat kejadian semalam. Semalam ia pulang kantor dalam keadaan demam tinggi. Cuaca memang sedang tak menentu. Perubahan cuaca bisa terjadi sewaktu-waktu. Matahari sangat terik di siang hari, tapi lantai dan air yang mengalir dari keran terasa sangat dingin layaknya air es. Ia minum obat flu dan menyerahkan diri untuk tidur lebih awal. Hanya tidur yang membebaskannya dari demam dan kepala yang berputar-putar.
Ia merapatkan selimut hingga ke dada. Sesekali ia membuka mulut untuk bernapas, hidungnya pun buntu dan tenggorokannya kering. Ia ingin segera memejamkan mata. Namun dilihatnya seekor laba-laba raksasa di langit kamar. Benar-benar raksasa, karena besarnya melebihi antena parabola. Laba-laba yang tenang dengan kaki dan sungut panjang seperti di film-film. Ia acuh saja. Tubuhnya lemas seolah tak punya tenaga. Serangga itu berayun-ayun, lalu meluncur ke arahnya. Ia terjingkat dari tempat tidur dengan jantung yang berdegup kencang.
Ia salah, yang dilihatnya bukan laba-laba, melainkan gorila. Rumbai yang semula terlihat seperti kaki laba-laba ternyata adalah rumbai bulu-bulu gorila. Dari mana datangnya gorila ini? Ia berpikir keras. Rumah ini berada di tengah kota. Hutan terdekat tujuh mil ke selatan, kebun binatang tiga mil ke arah tenggara. Tak ada kelompok sirkus yang berkunjung di kota ini. Lalu dari mana datangnya primata purba ini?
Gorila itu mengerang, mengingatkannya pada ekspresi wajah bosnya yang brengsek. Mulutnya terus mendengus, mengingatkannya pada peristiwa siang tadi di kantor. Lelaki gemuk itu berteriak keras padanya di hadapan semua karyawan. Apa saja kerjamu? Tumpukan kertas ini kau sebut sebagai laporan? Suaranya menggaung ke seluruh ruangan. Ia membayangkan dinding-dinding akan runtuh karena suaranya. Tapi tidak. Harga dirinyalah yang seketika runtuh. Dalam hati ia hanya bisa merutuk. Tak hanya itu, lelaki itu mengoceh tentang kinerjanya di hadapan semua orang di kantor.
Gorila itu tampak tak bersahabat. Wajah berbulunya menyeringai seolah memiliki rencana menghabisinya. Seketika ia bergidik ngeri, seolah berada di film Jumanji yang sudah ratusan kali tayang di televisi.
Ia mencoba mengingat benda-benda di sekitarnya. Benda yang bisa digunakannya untuk melawan gorila itu. Di atas meja ada pisau lipat. Ia mengupas mangga sebelum tidur karena buah itu mengandung banyak vitamin C yang bagus untuk meredakan flu. Kulit dan biji buah mangga masih berserakan di atas meja. Biasanya Bi Inah yang membereskannya. Mungkin aroma mangga itu yang mengundang primata ini, pikirnya.
Ia masih mengingat-ingat benda-benda yang ada di sekitar jangkauannya. Ia menggeleng, tak mungkin bertarung melawan primata raksasa itu dengan pisau lipat. Ia teringat peristiwa beberapa bulan lalu saat ia duduk di taman untuk melepas lelah sepulang kantor. Seekor monyet kecil merebut donat yang dimakannya. Ia terlonjak kaget dan berteriak-teriak seperti orang kesurupan, menggegerkan orang-orang yang sedang pacaran, sementara munyuk itu melonjak kegirangan. Ia segera pergi dan tak mau berurusan lagi dengan monyet itu. Hingga beberapa waktu ia menghindari taman dan lebih memilih duduk di kafe untuk melepas penatnya.
Ia menggeleng. Tak mungkin mengalahkan gorila dengan pisau lipat, sementara teringat munyuk kecil itu saja ia sudah gentar. Ia masih mengingat-ingat benda-benda di sekitarnya yang bisa digunakannya sebagai senjata. Lalu ia ingat gulungan plastik sampul buku di pojok ruangan. Ia memiliki banyak buku dan dengan telaten menyampulinya sebelum membaca. Gulungan plastik itu satu-satunya benda yang bisa diharapkan untuk menghadapi primata besar itu. Namun kembali ia menggeleng. Benda itu terlalu berat, dan binatang itu sangat kuat. Bisa jadi aku celaka saat menggunakannya untuk menyerang. Gulungan plastik itu memiliki diameter yang besar. Cukup merepotan menggunakannya.
Ia terus berpikir dan mengingat benda-benda di sekitarnya. Kamus, album foto, gunting kecil, penggeret solasi. Ia mulai menyebutkan satu persatu benda-benda di dekatnya. Ia mulai putus asa. Tak ada benda yang bisa dijadikannya senjata.
Ia menyerah. Seharusnya ia memiliki satu senjata api. Senjata yang bisa digunakan untuk saat-saat seperti ini. Lalu ia teringat tombak dan senapan yang tergantung di dinding ruang tamu. Ia pernah bertanya pada kakek untuk apa memajang senjata itu di sana. Ada senapan dan tombak yang dipajang di dinding ruang tamu.
Kakek tersenyum lebar memamerkan gigi tembakaunya. Kakek memang suka mengisap tembakau. Tak seperti rokok-rokok keluaran pabrik, rokok tembakau yang digulung kakek mempunyai aroma yang khas. Kesukaannya merokok itu membuat giginya sewarna tembakau yang diisapnya. Untuk berjaga-jaga dari apa saja yang menyerang tiba-tiba, kata Kakek. Ia tak mengerti. Ujung tombak yang runcing dan berkilat itu membuatnya ngeri membayangkan tubuh-tubuh yang ditembus senjata itu. Dan meskipun senapan itu tak lagi terisi peluru, ia sering membayangkan tubuh-tubuh yang ditembus peluru. Entah sejak kapan ia tak menyukai bayangan itu. Bayangan kisah perang ataupun tragedi pembunuhan membuatnya bergidik ngeri. Sekali lagi kakek terkekeh. Justru harusnya kita merasa nyaman, karena tak ada yang berani mengusik kita.
Ia tetap menggeleng tak mengerti, dan memahami bahwa kakek memasang senjata itu di sana hanya karena alasan nostalgia. Kakek seorang pejuang. Ia mengikuti perjuangan merebut Merah Putih di bawah komando Jenderal Sudirman. Dua senjata itu menjadi saksi masa-masa perjuangannya. Kakek meninggal di usia delapan puluh, saat itu ia masih kelas dua SMA. Hingga kakek dikuburkan, kekhawatiran kakek tak pernah terjadi. Atau mungkin juga kakek benar, tak ada maling atau sejenisnya yang berani mengusik mereka karena tahu bahwa senjata itu masih tersimpan apik di sana. Ia tak tahu. Sampai saat ini tombak dan senapan itu masih dipajang di dinding ruang tamu. Mungkin memang sedikit berdebu dan berkarat karena waktu, namun keberadaan dua benda itu sebagai senjata di rumah ini masih sama. Kini ia tahu mengapa setiap orang harus memiliki senjata. Ia baru menyadari kakeknya benar, pentingnya memiliki senjata di rumah untuk menjaga dari hal-hal yang tidak terduga seperti saat ini.
Ia terus menatap gerak-gerik gorila itu. Kepalanya berat dan pandangannya mulai berputar-putar. Gorila itu mendengus, cuping hidungnya mengendus-endus udara. Ia berpikir keras cara untuk bergerak cepat, meski tubuhnya terlalu lemah untuk melakukannya. Tak mungkin menggunakan tombak maupun senapan untuk melawan gorila itu. Tombak dan senapan di ruang tamu terlalu jauh dari jangkauan. Gorila itu akan menyerangnya sedetik setelah ia turun dari tempat tidur. Kepalanya semakin pening. Ia menyerah dan memutuskan akan menggunakan gulungan plastik sampul di pojok kamar kalau monyet besar itu menyerang. Belum sempat meraih gulungan plastik, gorila itu sudah mengambil pisau lipat di atas meja. Gorila itu melihat ke arahnya layaknya kelinci percobaan. Entah kekuatan dari mana, ia bangkit dan merebut pisau lipat dari tangan kera raksasa itu. Ia mengayunkan pisau lipat itu ke sembarang arah, melindungi diri.
Gorila itu terus menghindar dari tikaman yang dilayangkannya. Ia kembali mengayunkan pisau lipat, menyerang timbunan lemak di perutnya. Gorila itu berlari keluar kamar. Entah keberanian dari mana, ia mengejar dan menangkap gorila itu tanpa ampun, menarik bulu-bulu panjangnya dan berusaha menikamnya. Ia menikam tubuh gorila itu dengan pisau lipat sambil membayangkan menikam tubuh besar bosnya yang brengsek di kantor. Akhirnya gorila itu rubuh. Ia terengah-engah. Gorila itu tak lagi bergerak. Ia meninggalkan gorila itu di ruang tengah dan membiarkannya tetap di sana.
Baca juga: Kisah Wanita-wanita Tanpa Nama
Kepalanya berat berputar namun perasaannya berangsur lega. Ia berjalan kembali ke kamar, menuju dipan dengan tubuh terhuyung. Angin masih bertiup kencang di luar. Tangannya berlumuran darah. Ia membayangkan air keran yang dingin dan mengurungkan niat mencuci tangan dan tubuhnya. Dirapatkannya selimut hingga menutup kepala. Di sanalah gorila dan bayangan bosnya menghilang.
Pagi itu ia bangun dengan kepala lebih ringan meski masih ada hawa dan keringat dingin di sebagian tubuhnya. Ia sudah mengganti kaus dan mencuci tangannya, namun aroma anyir darah masih mengikutinya. Ia duduk di meja ruang makan. Angin masih bertiup dari jendela, meniupkan anyir darah ke seluruh ruangan. Lelaki itu kembali memanggil-manggil Bi Inah, dan memintanya membawakan secangkir kopi seperti biasanya.
Agustus 2022
****
Karisma Fahmi Y, lahir di kota Pare, Kediri, Jawa Timur. Aktif mengajar di SD Takmirul Islam Inovatif Surakarta. Esai, cerpen, dan puisi-puisinya pernah dimuat di harian Kompas, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Majalah Sastra Horison, Koran Tempo, harian Media Indonesia. Buku kumpulan cerpennya adalah Pemanggil Hujan dan Pembaca Kematian diterbitkan oleh Penerbit Basabasi, dan satu cerpennya ada dalam buku Antologi Kumpulan Cerpen Koran Tempo 2016.