Kutatap halaman aplikasi curhat online itu dengan mata basah. Haru bercampur sakit, menciptakan derai yang kian mengalir deras. Haru membaca kisah-kisah pernikahan mereka yang terkesan sangat bahagia. Walau entah siapa, tanpa tertera nama, namun pengalaman nyata mereka membuatku tersenyum tanpa sengaja. Namun, beberapa menit berikutnya, rasa sakit menyeruak, mengingat pernikahan yang terkadang mencipta rasa muak.
Aku tertegun, salah satu dari mereka mengatakan, suaminya sangat cuek, dingin. Bahkan dalam 7 tahun pernikahan hanya sekali memberinya buket bunga dan hadiah. Tersenyum ketir, masih lebih baik dari suamiku yang tak pernah sekali pun memberi bunga.
Kutelusuri beberapa akun lainnya. Tulisannya terlihat sangat panjang, berisi semua hal tentang kebaikan suaminya. Tentang suami yang jago masak dan selalu memasak untuknya setiap hari saat hamil, tentang gaji suami yang sangat layak untuk tinggal di Jakarta, tentang isi saldo ATM kecil suami yang berisi 10 juta, tentang isi ATM besar untuk segala keperluan. Aku termenung. Pikirku, beruntung sekali dia, dengan segala kelebihan dan kebaikan suaminya. Lalu teringat saldo ATM sendiri yang hanya berisi 67 ribu rupiah. Sedang suamiku, dia tak memiliki kartu itu. Kartu ATM milikku pun hanya digunakan saat suamiku mentransfer uang untuk keperluan sehari-hari, yang jumlahnya tak lebih dari 250 ribu rupiah per minggu.
Anganku mulai berkelana, berandai jika aku menjadi wanita dengan saldo ATM berjumlah besar itu. Akan kubeli banyak camilan, agar saat terbangun tengah malam dan perut terasa lapar, tak perlu mengorek-ngorek makanan sisa semalam.
Akan kubeli kompor dua tungku, agar saat repot dan buru-buru bisa mengefektifkan waktu. Akan kubeli minyak goreng untuk persediaan satu bulan, agar tak pernah terjadi lagi kejadian adonan gorengan sudah siap tapi ternyata minyak telah habis.
Lamunanku buyar, karena pergerakan jagoan kecil yang tidur di sisi ranjangku. Kutatap ia lekat, dia salah satu alasan aku bertahan. Penyemangat hari-hari yang kian sepi. Hubungan jarak jauh membuat terkadang pernikahan makin terasa hampa. Tak ada canda tawa apalagi kehangatan raga. Aku kembali menitikkan air mata.
Baca juga: Batavia Tak Sesuai Rencana Lucretia
Masih belum berniat menghentikan pencarian. Kuusap kembali layar ponsel melanjutkan bacaan. Salah satu akun itu kali ini bicara tentang suaminya yang berpendidikan tinggi, dan ia yang hanya lulusan SMA. Dia bilang suaminya tak pernah merendahkan, sangat menghormatinya. Suaminya sangat romantis, hingga setiap hari memanggilnya 'Cantikku' padahal ia tahu, dirinya tak secantik itu. Setiap hari suaminya mengatakan 'I love you' dan dia selalu bahagia mendengarnya. Tersenyum pahit, entah kapan kata keramat itu ia ucapkan secara langsung. Dalam kilasan-kilasan chat pun, hanya sesekali di akhir chat. Itu pun jika aku memulai lebih dulu, mengungkap isi hati kalau aku mencintainya.
Kuusap air mata. Lalu bertanya perlahan pada hati, masihkah cinta itu ada? Atau telah menghilang bersama kehampaan?
Aku masih mencintainya, hanya saja keadaan rumah tangga yang terasa monoton, sikapnya yang terasa biasa, dan masih banyak hal lain yang sering kali membuatku ragu. Apakah aku berarti baginya? Sebagai teman hidup dan seseorang yang akan menua bersamanya? Bukan sekedar teman tidur atau pemuas keinginan saja. Pernah kulukis impian, menjadi seseorang yang ia banggakan. Seorang istri yang dibanggakan karena kesabaran dan kesetiaan, yang menerima segala keterbatasan suami dalam perihal ekonomi dan apa pun yang belum ia mampu. Pernah pula mendamba, menjadi seseorang yang dia inginkan, memberi sedikit pujian dan kejutan, tak perlu mahal, sederhana tapi buat bahagia.
Kuhela nafas dalam. Dia pilihanku saat itu, tanpa paksaan dan tekanan dari siapa pun. Apa pun yang terjadi saat ini, itu konsekuensi atas pilihanku sendiri.
Terkadang cinta memang perlu ditunjukkan, tapi mungkin dia bukan tipe laki-laki pengumbar puji atau rayuan. Tanggung jawab dan kebaikannya menjadi satu-satunya keyakinan, mungkin dia masih mencintaiku. Tak peduli keyakinan itu salah atau tidak, aku hanya berusaha membuat hati lega agar ia tak terlalu hampa. Mataku tak lagi basah. Jauh lebih baik dari sebelumnya. Kututup aplikasi curhat itu dengan senyum kecil. Itu hidup mereka, dengan kebahagiaan mereka, dan ini kehidupanku. Sampai kapan pun dua hal itu tak akan pernah bisa ditukar, tak akan pernah bisa. Jadi, kenapa tak kujalani saja semuanya, tanpa repot berangan menjadi seperti mereka?
Aku masih mencintainya, hanya saja keadaan rumah tangga yang terasa monoton, sikapnya yang terasa biasa, dan masih banyak hal lain yang sering kali membuatku ragu. Apakah aku berarti baginya? Sebagai teman hidup dan seseorang yang akan menua bersamanya? Bukan sekedar teman tidur atau pemuas keinginan saja. Pernah kulukis impian, menjadi seseorang yang ia banggakan.
Kutatap jam di ponsel, lewat tengah malam. Pertengkaran beberapa saat lalu dengannya kembali berputar, membuat rasa kantuk tak kunjung datang. Utang yang menumpuk menjadi akar permasalahan, karena aku yang disalahkan. Kuhela nafas dalam. Berpikir keras, memikirkan cara bagaimana agar hidup kami berubah. Setidaknya, walau tak banyak harta, bisa menjadi lebih baik dari sekarang. Pernah terpikir untuk menjadi Tenaga Kerja Wanita ke luar negeri. Namun, saat ingat wajah mungil anakku, pikiran itu lekas kuusir.
Beban hidup yang kian mengimpit, membuat hati kian sempit. Kenapa kita mesti bertengkar? Haruskah aku pergi dan menyerah? Dengan begitu, kamu akan tahu tak mudah menemukan wanita sepertiku.
Pernah pula terbayang perceraian, namun ketakutan menghantui, takut kasih sayang ayah sambung tak sama dengan kasih sayang ayah kandung. Walau nyatanya, ada ayah kandung yang tega menelantarkan anaknya.
Semua beban hidup dan pikiran itu membuat kepala pening. Belum lagi otot paha yang menegang dan sakit karena terlalu lelah bekerja di sawah. Aku lelah. Perlahan kupejam mata, berharap kantuk segera datang. Dengan tidur, setidaknya semua hal yang berada dalam pikiran dan angan akan berhenti, kecuali denyut nadi.
***
Mie S,wanita sederhana penyuka cerita. Saat ini hanya mengurus rumah tangga. Cerpen dimuat di Kompas.id, Dua Lamaran, dan Ikan-ikan yang Tersesat. Cerpen yang terbit dalam Antologi bersama, Raina, Terkurung Sesal. Novel fiksi yang terbit, Pasangan Hidup Terakhir (2019), Dia Mencuri Mahkotaku (2020).