Kemuning
“Kautahu kenapa Ibu dan Bapak menamaimu Kemuning?“ “Kami ingin kau tumbuh menjadi sosok yang selalu bahagia dan bermanfaat untuk semua. Seperti pohon Kemuning tua di rumah Eyang.“
“Kau tahu kenapa Ibu dan Bapak menamaimu Kemuning?“
“Mungkin karena Ibu menyukai warna kuning. Atau pada saat Muning lahir, Bapak sedang mengajarkan topik imbuhan sisipan kepada para siswa di sekolah.“ Meskipun Ibu terlihat sangat serius dengan pertanyaannya, Kemuning menjawab asal sambil cekikikan. Tapi, memang warna favorit Ibunya adalah kuning dan Bapak seorang guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA di Jakarta.
Ibu dan Bapak ikut tersenyum. Itu hampir 20 tahun yang lalu, saat dirinya baru lulus SMA dan mendapatkan beasiswa kuliah ke Inggris.
Kemuning masih mengingat masa-masa bahagianya dulu. Ingatan yang membuat isakannya semakin kentara.
“Kemuning, kau yakin akan menikahi lelaki itu? Bukan hanya akidah kalian yang berbeda, tetapi budaya dan latar belakang keluarga juga harus kaupikirkan baik-baik. Kau sudah dewasa. Apalagi dengan gelar S-3 yang kaumiliki dan jabatan sebagai peneliti di universitas ternama. Tapi, Ibu mohon Kemuning, pertimbangkan dengan bijaksana keputusanmu ini!“
Memorinya bergerak cepat dan tak tertebak. Kemuning teringat air mata di wajah Ibu, 6 tahun yang lalu, saat dia mengungkapkan pada keluarganya di Indonesia bahwa dia akan menikahi John. Ibu gamblang menunjukkan ketidaksetujuannya, sementara Bapak memilih diam. Namun Kemuning bisa melihat gurat kekecewaan di wajah Bapak. Kemuning sama sekali tidak membantah, meskipun pada akhirnya dia tetap menikah dengan John. Dan semenjak saat itu, Ibu dan Bapak tidak lagi menjawab telepon atau pun membalas pesan Whatsapp darinya. Pun keluarga besarnya yang lain. Semua seolah beranggapan bahwa Kemuning sudah mati.
John tidak percaya keberadaan Tuhan. Sementara dirinya adalah seorang Katolik. Setidaknya itu yang tertulis di KTP. Kemuning sendiri sudah lupa kapan terakhir kalinya dia ke gereja. Dia bertemu dengan John melalui salah satu aplikasi dating. Padahal dia tidak terlalu serius saat mendaftar di aplikasi tersebut. Ketidakseriusan yang kemudian mempertemukan dia dengan John. Memilih John berarti memutuskan hubungannya dengan Ibu, Bapak, dan keluarganya yang lain. Kemuning seolah tidak diperbolehkan untuk memilih keduanya.
Pernah dia pulang ke Indonesia bersama Mirabelt, yang waktu itu baru berusia 2 tahun, untuk menemui Ibu dan Bapak dan sekaligus memperkenalkan Mirabelt dengan keluarga besarnya di Indonesia. Ibu terlihat semakin ringkih, sedangkan Bapak berbaring setengah sadar akibat stroke yang sudah hampir setahun dialaminya. Kemuning menangis sesenggukan, bersujud di kaki Ibunya. Semenjak mengandung dan melahirkan Mirabelt, Kemuning mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang Ibu. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Ibu. Bahkan dia menolak untuk memeluk atau menyapa Mirabelt.
Kemuning merasa dipojokkan. Saat kembali ke Inggris, dia mulai mengalami gangguan tidur dan sama sekali tidak bisa fokus dengan pekerjaannya. Setelah berdiskusi panjang dengan pihak lembaga research tempat dia bekerja, Kemuning memutuskan untuk mengundurkan diri dan memilih terbang ke pedalaman Afrika. Salah satu kawan dekatnya saat kuliah S3 dulu berasal dari Gambia. John tidak menentang keputusannya. Dia malah sama sekali tidak berkomentar. Kebisuan yang membuat Kemuning merasa diabaikan. Hanya tangisan Mirabelt saat John mengantarnya ke bandara yang sempat membuatnya ragu.
Air matanya mengalir kian deras.
Hampir enam bulan semenjak Kemuning memilih mengasingkan diri di Gambia, di antara orang-orang yang sama sekali tak dia mengerti, baik bahasa atau pun budaya mereka; namun Kemuning masih belum mampu menenangkan badai di hatinya. Semua upaya yang dia lakukan untuk berdamai dengan keluarganya di Indonesia seolah berakhir sia-sia. Kemuning masih tidak bisa mengerti, seberapa sulit bagi keluarganya untuk menerima John. Bahkan keluarganya di Indonesia menolak untuk mengakui Mirabelt sebagai bagian dari mereka. John sempat menyarankan dia untuk move on dari keluarga besarnya. Topik pembicaraan yang kemudian menjadi sumber keriuhan antara dia dan John. Kemuning bahkan mulai meragukan jika John masih tulus mencintainya. John sama sekali tidak menghubunginya.
Baca juga: Kronik Bukit Api
Panas yang menyengat dan aroma tanah liat seolah menjadi identitas baru Kemuning selama berbulan-bulan di sini. Namun di tengah lamunan dan isakannya, Kemuning tersentak oleh tangisan anak perempuan yang terdengar nyaring di tengah kegelapan pedalaman Afrika. Wajah Mirabelt tiba-tiba memenuhi benaknya. Rindu yang menyeruak mengaburkan matanya oleh tetesan yang semakin tak terbendung.
Tanpa memberitahu John, Kemuning kembali ke Inggris. Bandara masih terlihat sepi, khususnya antrean untuk warga negara asing. Meskipun sudah menikahi John secara resmi, Kemuning tetap mempertahankan statusnya sebagai warga negara Indonesia. Seolah masih ada ragu tentang masa depannya di sini. Pun kecintaannya pada tanah air tidak bisa dia abaikan begitu saja.
Hampir pukul 7 pagi, tetapi matahari masih belum terlihat. Gigil musim dingin di penghujung Desember menyambut Kemuning saat menapakkan kakinya di luar bandara, menuju antrean taksi.
Kemuning mematung. Ruang tamu berantakan dengan botol minuman keras di mana-mana. Juga terlihat beberapa pakaian dalam wanita yang terselip di antara celah sofa atau tergeletak di lantai begitu saja. Hati kecilnya menyuruhnya segera pergi, tetapi keingintahuannya malah menyeret kakinya menuju ke ruang tidur utama. Suara desahan semakin jelas terdengar.
Tangisan Kemuning bercampur amarah. Dia membanting pintu kamar sekuat tenaga dan bergegas menuruni tangga. Seketika Kemuning teringat Mirabelt. Dia kembali menuju ke lantai atas. Kamar Mirabelt tepat di samping ruang tidur utama. Tapi John sudah berdiri di sana, hanya memakai celana pendek dan masih terlihat mabuk.
Kemuning sigap menyeka air matanya.
“I want to see Mirabelt!“ Suara Kemuning terdengar asing, bahkan untuk dirinya sendiri.
John menatapnya tajam. Kemuning berusaha mencari rasa bersalah di sana, tetapi hanya ada amarah. John seperti terlahir kembali sebagai sosok yang baru.
“She is not here. But why suddenly do you care? You already got your black men out there!“
Kemuning tiba-tiba merasakan sakit yang luar biasa. John menuduhnya berselingkuh? Tuduhan yang seolah menjadi pembenaran untuk perselingkuhannya sendiri.
“No, John! Do not blame me for all this shit! I was in Gambia to heal myself. You know that!“ Kemuning berteriak, melawan perih yang kian ganas menyayat ulu hatinya.
“Whatever! I have nothing to do with you anymore or with your arrogant family. Do whatever you want. Mirabelt stays with me, forever!“ John berbalik, berjalan menuju ke arah kamar. Suara bantingan pintu yang jauh lebih keras seakan mempertegas semuanya. Bahwa kisah mereka sudah berakhir.
Sepanjang perjalanan menuju ke hotel Kemuning hanya menangis. Rindunya pada Mirabelt, amarahnya pada pengkhianatan John, dan sakit hatinya terhadap tuduhan perselingkuhan yang John luapkan padanya. Semuanya saling berkecamuk. Tuhan! Apakah ini balasan yang kauberikan karena tak mendengar perkataan Ibu dan Bapak? Kemuning berusaha mengumpulkan setiap inci kewarasan yang masih dimilikinya. Foto Mirabelt dipeluknya lebih erat.
Kemuning menuntut hak asuh Mirabelt melalui pengadilan. Namun dia kalah telak. Status kewarganegaraannya, kondisinya yang saat ini tanpa pekerjaan, dan foto-foto dari John sebelum Kemuning memutuskan untuk berangkat ke Gambia yang menunjukkan kerapuhan mental dia. Semua itu cukup menjadi bukti bagi pengadilan untuk melimpahkan hak asuh Mirabelt kepada John. John sama sekali tidak mengizinkan Kemuning untuk menemui Mirabelt.
Bercerai dari John, Kemuning kehilangan hak tinggalnya di Inggris. Dia bisa saja mendapatkan status permanent resident karena sudah tinggal di sini lebih dari 10 tahun, tetapi Kemuning memutuskan kembali ke Indonesia.
Di saat yang bersamaan, kondisi Bapak semakin parah. Setibanya di Indonesia, Kemuning bergegas ke rumah sakit. Dia mencium tangan Bapak dengan takzim dan memijat kakinya. Ibu sama sekali bergeming dari kursinya, namun sama sekali tidak menolak saat Kemuning memeluknya. Dua hari kemudian, Bapak pun pergi, tak lagi kembali.
Untuk pertama kali setelah bertahun-tahun, Ibu menangis dalam pelukannya dan itu membuat Kemuning menangis lebih kencang.
“Kautahu kenapa Ibu dan Bapak menamaimu Kemuning?“
Pertanyaan yang sama. Namun, kali ini Kemuning membisu. Hanya isakannya yang terdengar dengan jelas.
“Kau dulu perempuan tegar, Kemuning. Bahkan sejak kecil tak pernah kami dengar kau menangis, meskipun kawan-kawan di sekolahmu selalu mengolok-olok rambutmu yang keriting atau kulitmu yang hitam legam. Kau tak pernah menyerah untuk meraih mimpimu menjadi seorang peneliti di luar negeri. Padahal saat itu, nilai Bahasa Inggrismu adalah yang terendah di kelas. Bahkan ketika kami semua menentang pernikahanmu dengan John, Ibu tidak pernah melihat kebimbangan di matamu. Kau seolah bangunan kokoh yang bergeming di tengah amukan badai.“
Kemuning masih membisu.
Senja semakin mendekati malam. Para tamu yang datang mengunjungi rumah duka tak lagi seramai sebelumnya. Kemuning seolah masih membaui aroma kemboja yang bermekaran di pemakaman tempat Bapak berbaring untuk selamanya.
“Kami ingin kau tumbuh menjadi sosok yang selalu bahagia dan bermanfaat untuk semua. Seperti pohon Kemuning tua di halaman rumah Eyang, sebelum ditebang oleh Pamanmu karena alasan didatangi hantu.“ Ibu menatapnya dalam.
“Tapi apa yang Ibu dan Bapak lakukan terhadap Muning sangat tidak pantas. Ibu bahkan menolak memeluk Mirabelt, cucu Ibu sendiri. Selama ini Kemuning berusaha kuat karena dukungan semua keluarga. Sepahit apa pun masalah yang Muning hadapi, Muning tidak takut. Itu karena Muning yakin Ibu dan Bapak akan selalu ada mendukung Muning.“ Kemuning terdengar ragu-ragu, seolah takut menyakiti hati Ibunya.
“Cintamu terhadap pria itu yang menghancurkan dirimu sendiri, Muning!“
“Apakah salah jika Muning mencintai John?“
Baca juga: Kisah Wanita-wanita Tanpa Nama
“Tidak ada yang salah dengan cinta. Kau hanya mencintai lelaki yang salah. Dan kau lebih memilih lelaki itu dibandingkan kami semua di sini. Kaupikir mudah bagi kami untuk mengabaikanmu begitu saja? Aku Ibumu, Muning! Berbulan-bulan aku mengandungmu dan berdarah-darah saat melahirkanmu. Kaupikir Ibu dan Bapak pernah merasakan bahagia sedetik pun saat kau memutuskan menikahi lelaki itu? Bahkan hingga Bapakmu meninggal, kaulah satu-satunya yang terus dia khawatirkan.” Air mata di wajah Ibu yang semakin deras menghadirkan perih di hati Kemuning.
Kemuning memeluk Ibunya.
“Maafkan Muning, Bu!“ Meskipun masih terisak, Kemuning tiba-tiba merasakan kelegaan yang perlahan memenuhi hatinya. Rasa damai yang sudah menjauhinya selama bertahun-tahun akhirnya kembali. Namun hanya sesaat.
Bayangan Mirabelt menyerbu benaknya secara membabi-buta dan membuat matanya kembali memanas. Dia mengepalkan tangannya sekuat tenaga hingga buku-buku jemarinya memerah. Ibu seolah paham dan memeluknya lebih erat. Isakan keduanya menandai malam yang semakin pekat.
***
- I want to see Mirabelt: Aku ingin bertemu dengan Mirabelt
- She is not here. But why suddenly do you care? You already got your black men out there: Dia tidak ada di sini. Tapi, kenapa tiba-tiba kaupeduli? Bukankah kau sudah punya para lelaki kulit hitam di luar sana.
- No, John! Do not blame me for all this shit! I was in Gambia to heal myself. You know that: Tidak John. Jangan menyalahkanku untuk semua ini. Aku ke Gambia untuk memulihkan diri. Kamu tahu itu!
- Whatever! I have nothing to do with you anymore or with your arrogant family. Do whatever you want. Mirabelt stays with me, forever: Terserahmu. Aku tidak punya urusan apapun lagi denganmu atau dengan keluargamu yang arogan itu. Lakukan apa saja yang kauinginkan. Mirabelt akan selalu bersamaku.
***
Rinal Sahputra,saat ini bekerja sebagai peneliti di Universitas Manchester, Inggris. Kumpulan cerpennya, Para Perempuan di Tanah Serambi, terpilih sebagai salah satu finalis penghargaan Sastra Rasa 2022.