Kronik Bukit Api
Kematian anak Marsilam memicu ledak amarah. Para tetangga bersaksi, anak itu, remaja perempuan yang sedang riang-riangnya berkawan, masih terdengar bernyanyi-nyanyi di rumahnya sepulang sekolah.
Akhirnya ada jawaban untuk menampik cerita perihal bukit api. Cerita perihal Laung dan keluarganya yang disebut masih gentayangan dan senantiasa siap menuntut balas pada warga desa yang 21 tahun lalu menyerbu rumah mereka; membacok, menikam, menebas, menyeret-nyeret, dan melempar mereka ke dalam api yang berkobar.
Togu menghempas napas. Ada rasa kesal yang membuncah di dadanya. Ada marah, sedih, tapi sekaligus lega juga. Sembilan di antara penyerbu telah menemui ajal. Berturut-turut satu tiap malam pasca-kejadian. Waktu itu ia masih 16 tahun. Togu ingat, pertemuan para pemuka desa di rumahnya membulatkan kata walau tak berujung mufakat. Laung dan keluarganya harus dihabisi!
Kematian anak Marsilam memicu ledak amarah. Para tetangga bersaksi, anak itu, remaja perempuan yang sedang riang-riangnya berkawan, masih terdengar bernyanyi-nyanyi di rumahnya sepulang sekolah. Dia berlatih untuk keikutsertaan di festival menyanyi lagu perjuangan tingkat kabupaten. Namun, berselang setengah jam lonceng gereja berdentang mengabarkan kematian. Kata Marsilam di antara sedu sedan, anaknya mendadak terpekik. Matanya melotot dan napasnya tersengal, lalu ambruk tak bangun lagi.
Serangan jantung? Marsilam histeris mencecar sumpah, keluarganya tak punya riwayat penyakit ini. Lalu apa? Ini kematian mendadak ketujuh dalam kurun dua bulan. Kematian tanpa tanda-tanda, tanpa gelagat, dan bagi warga desa hanya ada satu jawaban: ulah begu ganjang, hantu jahat bertubuh tinggi yang bisa diperintah meneror mencelakai, sampai mati.
Namun, kenapa Laung? Dalam ingatan Togu, orang tua ini (73 tahun ditulis koran-koran saat itu), tak tampak meyakinkan sebagai parbegu. Satu-satunya hal yang membuatnya berbeda dari warga lain adalah dia tidak menanam padi atau jagung atau kentang atau jeruk di ladangnya. Laung menanam tumbuhan obat. Padahal dia bukan datu partaor, ahli ramuan penyembuh penyakit dan penangkal racun. Tatkala pemerintah di tahun-tahun awal Orde Baru membangun puskesmas dan menempatkan dokter di sana, dia termasuk yang paling getol mendukung. Konon inilah pergesekan pertama Laung dengan Guru Saut, orang pintar, tempat warga melabuhkan segenap adu dan tanya. Tak terkecuali saat ada yang sakit. Guru Saut sebenarnya datu, tapi dipandang telah mencapai tingkatan lebih tinggi. Hampir semua warga percaya, tak peduli penyakit apa, sekedar sentuhan tangan Guru Saut dapat menyembuhkannya.
Keberadaan dokter puskesmas mengguncang eksistensi Guru Saut, tapi tak lama. Kematian tiga bocah akibat diare menyusutkan ketakjuban warga. Campur tangan Guru Saut menggesernya jadi kebencian. Dokter itu tak tahan dan memilih angkat kaki.
Hampir berseiringan mencuat isu begu ganjang. Walau tak pernah ada bukti, sampai bertahun kemudian nama Laung tetap disebut. Akibatnya, ingatan tentang Laung sebagai pemelihara begu makin kuat dan lambat laun bergeser jadi kepercayaan.
Ingatan ini pula yang membuat Togu paham kenapa usulan Amang, ayahnya, untuk mengusir Laung dan keluarga ditolak mentah-mentah. Guru Saut dan Marsilam meradang. Pun Amangboru, dua tulang Togu, dan beberapa orang lain yang berada di ruang tamu rumahnya malam itu. Bilang mereka, parula-ula; pemelihara begu, dan semua yang berhubungan dengannya tak boleh dibiarkan hidup.
Walau kalah suara Amang berkeras mengambil jalan berbeda. Selain kepala desa, Amang juga sintua, pemuka agama. Kata Amang mengutip Alkitab, pembalasan, dalam bentuk apa pun, adalah hak Tuhan.
Guru Saut mengambil alih komando. Tidak ada basa-basi lagi. Laung yang tertatih keluar rumah langsung disergap. Bertubi pukulan dan hujaman bermacam senjata mendarat di tubuhnya yang renta. Istrinya menjerit, tapi segera senyap setelah kepalanya dihantam kayu balok. Anak Laung menghunus golok, menerjang kerumunan mengelebatkan tikaman dan sabetan membabi buta. Upaya sia-sia. Jumlah pengeroyok terlalu banyak. Tusukan kelewang dari arah belakang menghentikan perlawanan.
Para penyerbu makin dirasuk kegilaan. Tubuh Laung, istri, dan anaknya yang sudah tak berdaya diseret ke pinggang bukit. Di satu tempat terbuka mereka menumpuk kayu dan menyulut api dan melemparkan ketiga tubuh itu ke sana.
Menantu Laung bersama anak dan keponakannya lari ke hutan. Namun jejak mereka cepat terlacak. Cerita didengar Togu, sembari menangis menjerit-jerit menantu Laung memungut dahan kayu seukuran lengan dan mengayun-ayunkannya dengan liar. Perlawanan sia-sia. Tikaman susul-menyusul pada pinggang, dada, dan punggung menghentikannya. Cucu Laung, perempuan dan laki-laki yang usianya tak berselisih jauh dari mendiang anak Marsilam, bernasib serupa.
Keponakan menantu Laung sedikit merepotkan. Togu ingat-ingat lupa namanya. Mungkin Parulian. Mungkin Pandapotan. Pastinya, menurut cerita beredar, laki-laki muda ini (waktu itu baru setahun lepas SMA) punya kemampuan tarung yang tak sekadar. Pengeroyoknya kerepotan. Begitu pun lama-kelamaan dia terdesak juga. Kakinya tertebas parang. Dia tersungkur tapi cepat bangkit, lalu terpincang-pincang berlari. Tiba di tepi sungai, ketika para pengeroyok menyangka dia sudah terjebak, laki-laki-laki itu mendadak melentingkan tubuh lantas melompat ringan dari batu ke batu. Namun luka di kaki agaknya mempengaruhi keseimbangan. Dia terpeleset, tercebur ke sungai dan digulung arus.
**
Togu mengempas napas lagi. Dari balik kabut yang makin tebal bukit itu kelihatan seperti bayang-bayang punggung raksasa yang tertidur. Kelam dan muram.
Kematian Guru Saut, Marsilam, Amangboru dan dua tulang Togu, serta empat orang lainnya secara beruntun selama sembilan hari pasca-kejadian, membuat warga percaya dari alam kematian Laung dan keluarganya menjalin persekongkolan dengan begu ganjang untuk melakukan pembalasan. Beberapa jam setelah penemuan mayat kesembilan, sejumlah warga yang menemui datu-datu dari desa lain kembali dengan nasihat yang sama: lantaran perdamaian dengan Laung dan begu ganjang tak mungkin dilakukan, maka satu-satunya cara untuk memutus pembantaian adalah dengan memalingkan pandangan. Bilang mereka, jangan pandang bukit itu! Memandang berarti mengundang begu ganjang datang.
Warga menurut dan kematian beruntun memang berhenti. Kematian kembali jadi kabar sedih tanpa kengerian. Termasuk kematian Amang yang menggiring Togu memboyong keluarganya pulang untuk mengurus ladang dan lapo peninggalannya tiga tahun lalu. Namun sejak itu pula kematian-kematian terjadi lagi. Kematian yang didahului gejala aneh: sulit bicara, sulit berjalan, ingatan melemah, pandangan kabur dan telinga jadi pekak. Ada yang sering kejang, mual, dan sakit kepala berkepanjangan. Ada juga yang tangannya kerap kesemutan hingga bahkan sulit untuk sekadar memasang kancing baju sendiri.
Sejumlah perempuan melahirkan bayi tak normal. Ada yang ususnya di luar perut. Ada yang ukuran kepalanya kecil. Ada yang matanya hanya satu. Bayi-bayi ini tak berumur panjang. Rata-rata hanya bertahan kurang dari tiga hari.
Tipikal kematian-kematian ini sebenarnya berbeda. Ada tenggat waktu. Ada tahapan gejala, dari ringan ke berat sampai akhirnya meninggal dunia. Namun warga terlanjur menaruh curiga dan menuding Togu melanggar nasihat datu. Bukan tanpa sebab. Sejak kepulangannya Togu berulang kali menyebut begu ganjang cuma tipu-tipu.
”Kau jangan sok tahu, Togu!”
Togu tidak merasa sedang sok tahu. Di perantauan ia mendalami antropologi. Begu, termasuk begu ganjang, memang ada dan jadi bagian kepercayaan. Namun berbagai naskah yang dipelajarinya mencuatkan satu benang merah: kemunculan begu ganjang nyaris selalu diawali perseteruan berlatar cemburu dan dendam.
Togu sebenarnya menyimpan satu rahasia. Hanya Togu yang tahu bahwa 21 tahun lalu keponakan menantu Laung yang bernama entah Parulian entah Pandapotan itu tidak mati tergulung arus. Malamnya dia kembali ke desa, mengendap-endap mendatangi rumah Togu untuk menghabisi Amang yang disangkanya sebagai penggerak massa. Togu memergokinya saat melompati jendela belakang dan sempat bergelut dengannya dan tentu saja ia kalah. Saat hampir kehabisan napas lantaran lehernya dicengkeram jari-jari sekuat besi, Togu menyebut Amang tak bersalah. Amang justru hendak mencegah pembantaian. Adalah Guru Saut, Marsilam, Amangborunya, juga dua tulangnya, yang jadi otak penyerbuan.
Laki-laki itu percaya dan urung menghabisi Amang. Dia melompati jendela dan segera menghilang ke balik kegelapan, dan esoknya, terbetik kabar Guru Saut ditemukan mati di tempat tidurnya dengan mulut ternganga dan mata membeliak.
Hari berikut Marsilam pula yang mati, lalu beruntun Amangboru Togu, kedua tulangnya, dan empat laki-laki yang konon ikut mengeroyok laki-laki itu di hutan. Kemudian kematian terputus. Bukan lantaran nasihat para datu, melainkan kedatangan polisi untuk melakukan penyelidikan. Barangkali laki-laki itu takut dan lari bersembunyi ke hutan, lalu memutuskan pergi. Sejumlah warga desa yang bekerja di ibu kota kabupaten mengaku melihat seseorang mirip dia menyetop dan naik truk pengangkut barang tujuan Jakarta.
”Sekarang begu itu minta nyawa lagi, Togu!”
”Matilah kita, Togu!”
Seorang warga menyusul mati sepekan lalu. Setelah beberapa hari tergolek lemas, warga itu, seorang lak-laki paruh baya yang sehari-hari bekerja mencari ikan di sungai, menuntaskan napas penghabisan dengan sengal-sengal yang keras. Togu sempat dibekap ragu. Setelah sekian lama berlalu, apakah ia memang keliru?
**
Baca juga: Lelaki yang Membunuh Gorila
Togu duduk di lapo, menatap ke bukit dengan penuh kesal dan marah, sedih, tapi sekaligus lega juga. Pagi tadi tersiar lagi kabar kematian. Delapan perempuan, enam dewasa dua usia remaja, terkubur dalam lubang yang ambruk di pinggang bukit itu. Togu tidak mengenal mereka. Pun warga lain. Kasak-kusuk terdengar nyaring.
”Mereka penambang!”
”Apa yang ditambang?”
”Emas.”
”Sejak kapan di sana ada emas?”
Togu dan sejumlah warga desa, untuk pertama kalinya setelah 21 tahun, menginjakkan kaki kembali di bukit itu, dan mendapati betapa pinggang bukit dan hamparan luas di bawahnya telah berlubang-lubang seperti sarang semut.
Medan, 2020-2022
***
T Agus Khaidirlahir di Bima, Nusa Tenggara Barat, 4 Februari 1977. Menulis beberapa puluh cerpen yang sebagian besar telah tersebar dan dimuat di berbagai media cetak, daring, ataupun sejumlah buku antologi bersama. Kini tinggal di Medan sebagai wartawan. Masih memotret, sesekali melukis, mengerjakan desain grafis, membuat sketsa, ilustrasi. Juga masih bermusik, dan tentu saja bermain sepak bola.